Surat Aneh

26 5 0
                                    

Menggigil. Gigi putihku-yang mungkin sekarang sudah menguning, karena jarang disikat-beradu satu sama lain. Aku sempat berpikir kalau gigiku ini sedang berperang, tapi itu hanya khayalanku. Di tengah musim hujan ini, seorang anak malang penderita rhinitis sedang kesulitan melawan suhu. Selimut lembut pemberian ibuku beberapa bulan lalu-saat aku ulang tahun-mendekap hebat tubuhku. Tak mengizinkan satupun hembusan angin untuk masuk dan mengenai tubuhku yang-hanya kali ini saja-lemah.

"Waktunya makan!" Sudah kebiasaan yang sedikit 'menyebalkan', ibuku masuk tanpa mengetuk pintu. Kalau di film-film ataupun novel, kita melihat para orang tua yang ingin memasuki kamar anaknya, dengan sopan mengetuk pintu. Tapi sepertinya itu hanya bualan. Bahkan saat kutanyakan, teman-temanku pun merasakan sesuatu yang sama. Memang sudah takdir. "Bagaimana keadaanmu sayang?"

"Sekiranya lebih baik dalam kesendirian," aku bergumam pelan di balik selimut. Entah dengan ilmu apa, ibuku mendengar jelas.

"Kau tau, banyak di luar sana yang kesepian, terlebih di usiamu yang sedang pubertas ini"

"Ayolah bu! ... pubertasku sudah berlalu tiga tahun lalu."

"Ayolah sayang! ... aku tidak datang untuk beradu argumen denganmu," dengan logat yang sama persis.

Ibu meletakkan bubur herbalnya yang belum-atau bahkan tidak akan pernah-masuk list makan favoritku, di atas laci kotak dengan cat coklat yang sudah rapuh karena tua.

"Ibu keluar ya. Ada yang kamu inginkan sayang?" Di ambang pintu yang terbuka lebar itu ibu menatapku lembut.

"Tidak ad ...." Hidung pesek ini tampaknya sedang mencari perkara denganku. Rasa gatal yang sangat-sampai-sampai aku tidak bisa menggambarkannya-mengerumuni rongga hidungku. (Mereka) menjalar dan memberikan rasa gatal yang sama pada tenggorokan kering ini. Secara otomatis mata sayuku berair.

Sebuah suara yang memekakkan telinga terdengar. Suaranya terkurung di kamar penuh sesak, membuat volumenya seperti meningkat. Percikan air menyebar dalam radius 2 meter. Ingus yang selalu kusedot naik-turun itu menjadi sebuah cairan yang menjuntai sampai dagu. Aku menjadi makhluk menjijikan sekarang.

"Uuuhh sayang ... Rhinitismu kambuh. Akan kuambilkan obat." Setelah tisu dari tangannya itu kuterima untuk mengelap cairan hijau (menjijikan) di wajahku, ibu keluar dari kamar. Membawa sebuah kabar, yang kuyakin dengan kabar itu akan mengundang ayah dengan wajah paniknya datang kemari.

Aku tidak punya waktu untuk berpikir kesana-kemari. Puluhan bersinku ini sangat memekakan telinga dan membuat tenggorokanku lelah. Mataku yang sudah kubersihkan, pasti akan kembali menjadi berbelek dan memerah.

"Anakku! Pahlawanku! Pria kebanggaanku! Ada apa denganmu nak?!" Yah ... tampaknya aku sudah menjadi peramal.

"Aku sedikit malu dengan kalimat ...." Menyebalkan, aku tak bisa melanjutkan potongan kata milikku. Bersin ini semakin detik semakin garang, bagaikan meriam yang terus-menerus menembakan pelurunya.

"Sebentar ayah panggil (ambulance) dulu." Ayah mengutak-atik handpone-nya yang-bisa dibilang-sedikit terbawa arus modernitas. Aku tidak perlu menjelaskan ini terlalu jauh. Karena kebanyakan bapak-bapak modern, hampir sama dengan anak muda yang jadul.

"Jangan ayah! Aku bukan orang sekarat!"

"Lalu bagaimana?"

"Kau siapkan mobilmu dan bawa aku menuju rumah sakit paling dekat!" Kataku sambil menyumpal hidung dengan tisu. Aku tau itu akan menambah rasa gatalnya. Tapi yang terpenting aku bisa menjelaskan pada ayahku ini.

Mungkin keluargaku ini bukan keluarga biasa. Seorang ayah yang (over protective), ibu yang bawel, dan anak lelaki yang keras kepala. Sempurna. Hampir satu jam kami berdebat-sebenarnya aku hanya mendengarkan-tentang apa yang harus kita siapkan untuk pergi ke rumah sakit. Hal yang simpel.

The Missing SneezeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang