BAGIAN 1

475 15 1
                                    

Udara dingin menyapu pelataran lembah subur di kaki Bukit Ular. Hari belum lagi terlalu sore. Namun mendung tebal yang menyelimuti langit sejak siang tadi, membuat suasana terlihat remang-remang. Dan, dalam keadaan begini, siapa pun rasanya enggan keluar rumah. Tidak heran bila suasana di perkampungan di dekat bukit itu sepi seperti di pekuburan.
Jauh di sebelah tenggara Bukit Ular, tampak lautan lepas yang membentang luas. Jika menyusuri jalan kaki bukit yang seperti ular ini, maka akan terlihat bibir pantai yang berkelok-kelok ditumbuhi tanaman bakau yang lebat serta pohon api-api. Tempat itu memang jarang didatangi manusia. Bahkan tidak terlihat seorang pun yang mau tinggal di situ. Bukan saja daerah itu angker, tapi juga banyak dihuni binatang buas dan melata.
Sebagian besar daerah itu pun kelihatan kering dan tandus, serta sesekali diselingi semak-semak berduri. Padahal di kaki bukit yang berjarak lebih kurang setengah harian bila ditempuh dengan berjalan kaki, terdapat daerah subur yang ditumbuhi tanaman beraneka ragam. Tidak heran kalau di situ banyak terdapat perkampungan. Bahkan di tempat itu terdapat sebuah padepokan yang cukup ternama, seperti Desa Sedayu ini. Namanya Padepokan Silat Awan Putih.
Walaupun ketua padepokan ini yang bernama Ki Sawangan bukanlah tokoh terkenal, namun banyak muridnya yang membantu kaum lemah dan tertindas. Mereka tidak segan-segan mengulurkan tangan untuk membantu sesama yang dilanda kesusahan. Sejak dulu apa yang diperoleh di perguruan itu selalu diamalkan sebaik-baiknya. Itulah sebabnya Padepokan Awan Putih cukup dikenal di kalangan persilatan.
Dari hari ke hari murid-murid yang berdatangan ke padepokan itu selalu berlipat jumlahnya. Dan sejauh ini, Ki Sawangan selalu menerima dengan hati terbuka. Walaupun segala kebutuhan mereka di sini selalu apa adanya. Ki Sawangan memang arif lagi bijaksana. Selain menekankan ilmu kedigdayaan, dia pun selalu memberi petuah-petuah yang berguna dalam kehidupan.
Seperti sekarang ini. Orang tua itu tampak tengah duduk di beranda depan, sementara murid-muridnya duduk bersila di hadapannya beralaskan bumi. Duduk di sisi kiri dan kanannya adalah empat orang murid utamanya. Masing-masing, Singalodra, Umbarata, Taji Momongan, dan Ni Sekar Wangi. Merekalah yang selama ini menjadi tangan kanannya. Sekaligus giat membantu melatih murid-murid yang lain.
"Seperti kalian ketahui sebelumnya, hari ini kita mengadakan kembali upacara pelepasan murid-murid padepokan yang telah lulus menuntut ilmu. Aku berpesan pada kalian semua, hendaknya ilmu yang diperoleh di sini bisa berguna dan diamalkan sebaik-baiknya. Ketahuilah... Segala yang ada di atas dunia ini tak ada yang sempurna, sesuai kodrat kita sebaagai manusia. Maka jagalah sikap untuk selalu merendahkan hati. Sesungguhnya rendah hati itu merupakan obat yang baik bagi kehidupan. Sedangkan sebaliknya, sikap sombong serta mengagungkan diri sendiri akan membawa kerugian. Bahkan selalu mencelakakan kita ke jurang kenistaan...!" tutur Ki Sawangan dengan nada rendah, namun terdengar cukup lantang.
Para murid mengangguk-angguk. Tidak ada seorang pun yang berbisik-bisik untuk menimpali kata-kata si Orang Tua. Mereka memang terbiasa bersikap tertib dan teratur. Selesai memberi petuah, semua murid Ki Sawangan bangkit berdiri. Lebih dari dua puluh murid perguruan ini, satu persatu memberi salam hormat seraya mencium punggung telapak tangan kanan gurunya. Adat yang sederhana itu telah menjadi kebiasaan bagi setiap murid yang hendak meninggalkan perguruan sebagai tanda bakti terhadap gurunya.
"Aku mohon pamit, Eyang...!"
Ki Sawangan tersenyum seraya menepuk-nepuk punggung muridnya. "Baik-baiklah menjaga diri, Jaka. Dan, sampaikan salam hormatku pada orang tuamu," orang tua itu.
Pemuda bertubuh tegap yang dipanggil Jaka mengangguk, lalu kembali memberi hormat pada gurunya. Kemudian dia memberi tempat pada yang lainnya untuk satu persatu bersimpuh di kaki Ki Sawangan.
Dua puluh lima orang kini telah berbaris rapi dan siap meninggalkan padepokan. Ki Sawangan tersenyum sekali lagi. Ada perasaan bangga campur haru dalam hatinya. Tidak sia-sia mereka dididik jika kelak bisa membawa harum pada depokan ini. Dan khususnya, pada diri mereka diri. Suasana tampak hening, ketika memasuki acara pelepasan murid-murid padepokan yang persatu meninggalkan tempat ini. Namun mendadak saja suasana hening itu dipecahkan satu teriakan panjang menyayat.
"Aaa...!"
"Hei?!" Ki Sawangan terkejut. Begitu juga keempat murid utamanya serta murid-murid lain. Suara itu dekat sekali persis di depan pintu gerbang padepokan. Seketika sebagian murid lain yang masih berada di ruangan ini mencemaskan beberapa murid yang telah lebih dulu meninggalkan perguruan.
"Apa itu?! Apa yang terjadi...?!" tanya Ki Sawangan, langsung melompat dari kursinya.
Namun belum lagi bergerak lima langkah, kembali terdengar jeritan kesakitan dari mulut pintu gerbang. Kali ini tampaknya agak jelas apa yang telah terjadi. Tampak beberapa murid perguruan yang tadi keluar lebih dulu, melayang ke halaman depan dalam keadaan sudah menjadi mayat. Sekujur tubuh mereka hancur bermandikan darah!
Begitu berada di depan bangunan utama padepokan ini Ki Sawangan menggigil geram. Juga yang lainnya. Mereka segera mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Tidak usah repot-repot mencari! Kami ada di sini!"
Tiga sosok bayangan tiba-tiba saja berkelebat, lalu mendarat ringan di muka pintu gerbang perguruan. Mereka terdiri dari dua laki-laki bertampang seram, dan seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun. Di kedua pundaknya melilit selendang biru.
"Kisanak bertiga, siapa kalian...?!" sentak Ki Sawangan lantang.
"Kami bertiga yang disebut penghuni Pulau Ular..." sahut seorang laki-laki yang bertubuh agak pendek dan berkulit hitam, sambil mendengus sinis. Di pinggangnya tergantung sebuah kapak besar bermata dua berwarna hitam. Sepasang biji matanya tampak melotot keluar. Hidungnya pesek serta agak besar. Dan dia dikenal sebagai Kolo Denowo.
Ki Sawangan terkejut bukan main begitu mendengar tempat asal ketiga orang ini. Siapa yang tidak kenal penghuni pulau itu? Di sana bercokol seorang datuk sesat yang memiliki kepandaian laksana dewa. Dan kalau ketiga orang ini mengaku sebagai penghuni pulau itu, maka siapa lagi kalau bukan murid tokoh sakti dari Pulau Ular?
"Kisanak! Di antara para penghuni Pulau Ular dengan Perguruan Awan Putih tidak ada permusuhan apa-apa. Kenapa kalian berbuat begitu kejam pada murid-muridku?" tanya Ki Sawangan minta penjelasan.
"Huh! Kau benar. Tua Bangka! Tapi secara tidak langsung kalian telah menciptakan permusuhan dengan kami!" sahut laki-laki yang bertubuh agak kurus dan berwajah lonjong. Sepasang matanya agak menyipit. Seluruh permukaan kulitnya berwarna coklat kusam seperti bersisik. Dan dia dikenal sebagai Ki Sanca Ireng. Senjata andalannya adalah sebuah tongkat dari tubuh ular yang telah dikeringkan. Kehebatannya, tongkat itu mengandung bisa ular yang amat mematikan.
"Apa maksud kata-katamu?" sahut Ki Sawangan dengan dahi berkerut.
"Jangan pura-pura bodoh!" dengus yang wanita.
Nama wanita ini adalah Nyi Ayu Supraba. Wajahnya dingin dan nyaris tanpa senyum. Meski begitu, bekas kecantikannya di masa muda masih terlihat. Dia terlihat tidak bersenjata. Namun sesungnya selendang yang dikenakannya merupakan senjata yang amat menakutkan. Tenaga dalamnya mampu dikerahkan pada selendang yang lemas itu, sehingga menjadi kaku dan tajam laksana mata pedang. Dan bila dikebutkan ke arah lawan, maka akan tercium bau harum yang amat memabukkan.
"Kisanak! Aku benar-benar tidak mengerti apa yang kalian bicarakan? Kami sama sekali tidak pernah mengusik penghuni Pulau Ular. Bagaimana kalian bisa mengatakan kalau secara langsung kami sudah menciptakan permusuhan?" tanya Ki Sawangan lagi.
"Dengarlah, Orang Tua bau tanah! Sesungguhnya bukan hanya perguruanmu saja yang menciptakan permusuhan dengan kami. Tapi juga seluruh perguruan serta tokoh silat di daratan ini! Ingatkah kalian pada Dewi Tangan Darah? Kalian langsung mengadakan pesta besar-besaran menyambut kematiannya. Itu penghinaan besar bagi kami. Apalagi dia adalah salah satu adik seperguruan kami! Kalian boleh mendapat pengampunan jika bisa menunjukkan di mana pemuda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?!" tegas Ki Kolo Denowo disertai rasa kegeramannya pada tokoh papan atas yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Ki Sawangan mengangguk pelan, mulai mengerti apa maksud ketiga penghuni Pulau Ular itu. "Kisanak! Boleh saja kalian mendendam pada Pendekar Rajawali Sakti. Namun membinasakan murid-muridku secara seenaknya, sungguh perbuatan sewenang-wenang yang tidak bisa kuterima begitu saja!" ujar Ki Sawangan.
"Hm... Jadi benar kalau kau memang cari urusan dengan kami?!" dengus Ki Sanca Ireng.
"Kisanak! Kalianlah yang membuat urusan denganku. Aku sama sekali tidak tahu-menahu soal Pendekar Rajawali Sakti yang telah membinasakan adik seperguruan kalian. Juga tidak pernah ikut-ikutan dalam urusan itu. Lalu tiba-tiba saja kalian mengamuk di tempatku. Apa namanya kalau bukan mencari gara-gara?!" balas Ki Sawangan dengan suara lantang.
"Orang Tua Busuk! Tutup mulutmu! Kau kira bisa ber-buat apa pada kami, he?! Jangan karena kami beri hati, maka kau bisa bicara seenak perut!" desis Nyi Ayu Supraba geram.
"Hm... Penghuni Pulau Ular memang sombong dan merasa dirinya paling hebat hingga merasa bisa berbuat apa saja pada orang lain. Kisanak! Aku memang orang tua lemah. Namun bila kepalanya diinjak, semut pun akan menggigit!"
"Bagus! Kau telah menentukan nasibmu. Orang Tua. Nah! Sekarang, lihatlah akibatnya!"
Bersamaan dengan itu, Nyi Ayu Supraba langsung mencelat menyerang Ki Sawangan. Ketua Padepokan Awan Putih itu jadi terkesiap. Demikian pula semua muridnya. Gerakan wanita itu cepat bukan main. Bahkan rasanya sulit dielakkan. Kecuali dengan menjatuhkan diri. Seketika Ki Sawangan membuang diri ke tanah, dan langsung bergulingan.
"Yeaaat..!" Nyi Ayu Supraba telah kembali mencelat menyerang, sebelum orang tua itu sempat bangkit berdiri.
Sambil bergulingan, Ki Sawangan secara untung-untungan mencoba menangkis dengan tangannya.
Plak!
Namun orang tua itu mengeluh sendiri. Pergelangan tangannya linu seperti menghantam besi baja saat menangkis tendangan Nyi Ayu Supraba. Dan sebelum sempat menyadari, tendangan kaki kanan wanita itu kembali meluncur ke arah dada.
Blagh!
"Aaahh...!" Orang tua itu menjerit kesakitan. Tubuhnya makin deras bergulingan di tanah, begitu tendangan Nyi Ayu Supraba telak menghantam dadanya. Darah segar tampak menetes dari sudut bibirnya.
Wanita itu agaknya tidak memberi kesempatan sedikit pun pada Ki Sawangan. Belum juga orang tua itu bangkit, sudah langsung diberi pukulan maut jarak jauh berisi tenaga dalam tinggi yang cepat menggeledek.
"Mampus! Hih!"
"Oh...." Ki Sawangan hanya mampu terkesiap dengan mata melotot lebar. Dan....
Prak! "Aaah...!"
Wanita itu memang lihai bukan main. Kepala Ketua Padepokan Awan Putih itu kontan hancur remuk terkena hantamannya. Dan nyawanya melayang saat itu juga.
"Wanita Iblis! Tindakanmu benar-benar di luar batas kemanusiaan!" desis Singalodra dengan wajah geram dan tubuh gemetar. Sementara itu, ketiga saudara seperguruan serta murid-murid lain menghambur menghampiri tubuh Ki Sawangan.
"Mau apa kau?! Mau menyusulnya? Ayo, ke sini!" sahut Nyi Ayu Supraba enteng sambil berkacak pinggang.
"Wanita Jahanam! Kami tidak akan tinggal diam, setelah perbuatan terkutukmu ini!" bentak Sekar Wangi tajam.
"Hei?! Tidak usah banyak mulut! Kalau kalian mau balas dendam, ayo maju! Sekalian semua maju bersama!" sentak Nyi Ayu Supraba, galak.
"Iblis Sombong! Jangan dikira kami takut. Huh!" Taji Momongan segera menghunus pedangnya.
Sring!
Tindakan laki-laki itu kemudian diikuti murid-murid yang lain. Mereka segera mengurung Tiga Penghuni Pulau Ular dengan wajah penuh dendam dan nafsu membunuh. Kematian Ki Sawangan yang amat mengenaskan, sudah cukup membuat hati mereka bagai diiris-iris.
"Huh! Sekumpulan kerbau-kerbau dungu sudah hendak berlagak pada penghuni Pulau Ular. Kalian hanya menemui kematian secara sia-sia!" dengus ki Kolo Denowo dingin.
Beda dari dua saudaranya yang lain, Nyi Ayu Supraba agaknya sudah tidak sabar. Wanita itu sudah langsung melompat menerjang.
"Yeaaat..!" Bruaaak!
"Aaaa...!"
Nyi Ayu Supraba memang wanita berhati kejam dan sama sekali tidak mengenal kasihan. Pukulan mautnya langsung menyambut, membuat murid-murid Padepokan Awan Putih yang mengurungnya terpental dan binasa dengan tubuh remuk. Sedang yang memiliki kepandaian cukup lumayan, terhindar dari bahaya karena sudah buru-buru melompat menghindar.
"Hiyaaat..!" Trang! Breeet! "Aaaa...!"
Meski korban di pihak murid-murid Padepokan Awan Putih berjatuhan terus dalam waktu singkat, namun semangat mereka bukannya mengendor. Malah sebaliknya, semakin menyala-nyala. Agaknya mereka tidak mempedulikan nyawa sendiri lagi karena tidak mau harga dirinya diinjak-injak.
Tapi mana mungkin semua itu dipedulikan penghuni Pulau Ular? Mereka adalah tokoh-tokoh berhati kejam yang mampu membunuh manusia tanpa berkedip. Dan pembantaiannya yang dilakukan saat ini begitu menyenangkan mereka, seperti anak kecil mendapatkan mainan kesukaannya. Ketiga penghuni Pulau Ular memang bukan tandingan murid padepokan. Jika Ki Sawangan saja bisa mudah dibinasakan dalam waktu singkat, maka sesungguhnya perlawanan mereka sama sekali tidak ada artinya. Padahal ketiga tokoh itu saat belum lagi menggunakan senjata.
"Manusia Keparat! Tahan seranganku ini!" desis Singalodra geram, langsung menyerang Ki Kolo Denowo yang berada dekat dengannya.
Wuuut!
Dengan mudah Ki Kolo Denowo menunduk, sehingga golok Singalodra luput dari sasaran.
Plak!
Lalu tangan kanannya bergerak cepat, menangkap pergelangan tangan Singalodra. Dan bersamaan dengan itu, tangan murid Padepokan Awan Putih ini dipelintir ke belakang. Sedangkan kaki kirinya menghantam seorang murid Perguruan Awan Putih yang hendak membantu Singalodra.
Kraaak!
Singalodra menjerit kesakitan begitu tangan dipelintir ke belakang. Tulang lengannya kontan patah. Sementara murid perguruan yang bermaksud membantu Singalodra langsung terjungkal dengan dada remuk. Begitu ambruk di tanah dia tewas seketika.
Duk! "Aaakh...!"
Ki Kolo Denowo agaknya tak ingin bertindak kepalang tanggung. Langsung saja tengkuk Singalodra dihajar dengan pukulan keras. Sekali lagi, orang itu menjerit tertahan. Lalu begitu jatuh menggeloso di tanah, dia tewas dengan leher patah!
Pada saat yang hampir bersamaan, Umbarata pun tewas di tangan Ki Sanca Ireng. Dan saat ini, terlihat Nyi Ayu Supraba tengah mendesak Taji Momongan serta Sekar Wangi.
"Heaaat...!"
Kedua murid utama Padepokan Awan Putih itu membentak nyaring dan menghantam Nyi Ayu Supraba dengan mengerahkan segenap tenaga.
Tapi, Nyi Ayu Supraba hanya tersenyum dingin. Tubuhnya cepat melejit ke atas menghindari serangan lawan, lalu balas menghantam dengan pukulan maut.
"Hiiih!" Prak!
Seberkas sinar kehitaman seketika melesat ke arah Taji Momongan. Namun murid padepokan ini cepat membuang diri ke samping, langsung bergulingan. Akibatnya sungguh malang bagi Sekar Wangi yang ada di belakang. Wanita itu kontan menjerit begitu jadi sasaran pukulan lawan.
Blesss...! "Aaakh...!"
Tubuh wanita itu terjungkal ke tanah, dalam keadaan remuk bermandikan darah. Dia hanya sempat mengeluarkan keluhan tertahan, sebelum nyawanya lepas dari raga!
"Sekar Wangi?! Oh, tidak! Tidaaak...!"
Taji Momongan tersentak kaget melihat keadaan itu. Buru-buru dikejarnya tubuh Sekar Wangi, dan dipangkunya dengan pahanya. Wajahnya tampak muram bercampur kelam. Dan untuk sesaat, hatinya seperti hancur berkeping-keping.
Selama ini secara diam-diam, memang telah terjalin hubungan asmara antara Taji Momongan dengan Sekar Wangi. Dan secara diam-diam pula semua murid yang lain telah mengetahui. Bahkan mereka mempunyai rencana akan memohon restu Ki Sawangan pada hari ini, setelah usai pelepasan murid-murid, untuk mengikat hubungan ke dalam tali perkawinan. Tapi sekarang, semua itu hanya tinggal mimpi. Dan Taji Momongan tidak kuasa menahan perasaan sedih dan haru. Tubuhnya bergetar hebat ketika berbalik dan memandang tajam ke arah wanita yang telah membunuh kekasihnya.
"Iblis Keparat! Kau akan kubunuh dengan kedua belah tanganku!" desis laki-laki itu geram.
"Huh! Banyak mulut! Lakukanlah kalau mampu! Sengaja kudiamkan kau sejenak untuk memberi napas dan sekaligus berdoa untuk kematianmu!" dengus Nyi Ayu Supraba sinis.
Taji Momongan memutar pedangnya, lalu merapatkannya dengan wajah. Sepasang matanya seperti tidak berkedip memandang ke arah wanita itu. Telinganya dibuka lebar-lebar untuk mendengar segala sesuatu gerak yang mencurigakan seandainya lawan yang lain bermaksud membokong.
"Yeaaat..!"
"Uts!"
Pedang murid Padepokan Awan Putih itu berkelebat menyambar ke arah leher dan langsung ke pinggang. Kelihatannya cepat dan hebat sekali. Namun hal itu sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Nyi Ayu Supraba. Wanita itu cepat melejit ke atas, lalu bergulungan mendekati Taji Momongan. Dan, tiba-tiba pukulan dihantamkan dengan telapak tangan kanan terkembang.
"Hiiih!"
"Uhhh...!"
Taji Momongan cepat menjatuhkan diri, dan bergulingan menghindar. Namun jantungnya terasa berdegup kencang dan tidak beraturan. Kulitnya terasa panas terbakar. Mendadak saja satu tendangan Ki Sanca Ireng menyusul, dan begitu angin pukulan lewat di sisinya memaksa Taji Momongan melompat ke belakang. Namun seketika hantaman telapak tangan kiri Nyi Ayu Supraba telah menantinya. Dan....
Begkh!
Taji Momongan langsung menjerit keras, begitu pukulan Nyi Ayu Supraba mendarat telak di dadanya. Tubuhnya kontan ambruk di tanah dalam keadaan bermandikan darah. Tewas!
"Aaaa...!"
"Huh! Dikira bisa berbuat apa pada kita!" dengus Nyi Ayu Supraba sinis.
"Sia-sia kita ke sini. Lebih baik kita cari ke tempat yang lain!" sahut Ki Kolo Denowo, setelah menghabisi lawan-lawannya yang terakhir.
"Betul! Tanganku sudah gatal untuk menghancurkan batok kepala Pendekar Rajawali Sakti keparat itu!" desis Ki Sanca Ireng geram.
"Tapi ke mana kita harus mencarinya?"
"Kenapa mesti bingung-bingung. Ayu? Orang itu katanya terkenal. Dan kurasa semua tokoh silat pasti tahu, di mana dia berada. Kecuali kalau mereka berusaha menyembunyikannya!"
"Betul apa yang kau katakan, Ireng! He, siapa pun yang berusaha melindunginya akan mampus!"
"Hua ha ha...! Dia kira bisa bermain-main dengan penghuni Pulau Ular!" sambut Ki Sanca Ireng, diringi tawa terbahak.
"Sudah, jangan banyak mulut! Lebih baik kita tinggalkan tempat ini secepatnya!" ajak Ayu Supraba seraya mencelat cepat dari situ.
Ki Sanca Ireng dan Ki Kolo Denowo mengikuti dari belakang. Ketiganya memang memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi. Gerakan mereka juga luar biasa. Maka dalam waktu singkat saja, bayangan mereka telah lenyap tanpa bekas!

***

138. Pendekar Rajawali Sakti : Datuk Pulau UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang