BAGIAN 4

259 15 1
                                    

Hari belum sore ketika dua sosok anak muda tiba di Desa Sendang Sari. Beberapa anak muda desa itu sempat melirik. Bahkan ada yang mencoba menarik perhatian gadis yang berjalan bersama pemuda berbaju rompi putih itu. Namun sedikit pun gadis itu tidak peduli.
"Hm.... Sudah seharian kita mencari jejak mereka. Namun sampai kini belum juga bertemu...," gumam pemuda yang berbaju rompi putih itu.
"Kakang Rangga! Sebaiknya kita lebih sering bertanya pada orang-orang," usul gadis berwajah cantik yang duduk di belakang pemuda yang menunggang kuda hitam. Dan dia tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Terlalu banyak pembunuhan yang mereka lakukan..." desah Rangga.
"Persis seperti saudara seperguruannya, si Dewi Tangan Darah itu, bukan?" tanya gadis yang tak lain Ambarwati.
Rangga mengangguk. Sementara Ambarwati terdiam beberapa saat.
"Kau lapar, Ambar?" usik Pendekar Rajawal Sakti. Dengan ekor matanya, dia melirik Ambarwati.
Gadis itu tersenyum malu.
"Baiklah. Kita mampir dulu di kedai itu. Siapa tahu di sana ada keterangan yang bisa didapat..," tunjuk Rangga ke sebuah kedai yang tidak jauh di depan.
Seketika Pendekar Rajawali Sakti menggebuk kudanya, untuk lebih cepat sampai di depan kedai. Dan Rangga langsung melompat turun, begitu menarik tali kekang kudanya, saat tiba di depan kedai Ambarwati bergegas turun mengikuti. Setelah menambatkan kuda, kedua anak muda ini melangkah masuk ke dalam, dan disambut dengan pandangan menyelidik dari beberapa pengunjung kedai.
Kebanyakan dari mereka mendecah kagum, melihat kecantikan gadis yang bersama Pendekar Rajawali Sakti. Namun melihat senjata yang dibawa kedua anak muda itu, hati mereka yang coba berniat iseng jadi ciut juga. Namun rupanya ada juga seorang laki-laki brangasan yang bergerak menghampiri.
"He he he...! Gadis Manis. Lebih baik kau duduk saja di sini!" kata laki-laki itu langsung menangkap pergelangan tangan Ambarwati yang hendak duduk bersama Rangga.
"Hei, kurang ajar!" sentak Ambarwati garang dengan mata melotot lebar.
"He he he...! Kau galak juga rupanya, Cah Ayu!" Orang bertubuh gemuk bercambang bawuk tebal itu bukannya menghentikan perbuatannya. Malah dia semakin berani hendak menangkap pinggang gadis itu.
Namun sebelum tangan laki-laki itu sempat berbuat usil, secepat kilat Rangga menangkap pergelangan tangannya. Seketika laki-laki gemuk itu mendengus gusar. Bahkan kepalan tangan kirinya menghantam ke muka Rangga. Bersamaan dengan itu pergelangan tangan kanannya yang dicekal Rangga segera ditariknya.
"Hiiih!" Dengan tangkas Rangga menahan tangan kiri yang bergerak ke arahnya. Sedangkan telapak tangan kanannya langsung mencengkeram kuat-kuat.
Plak! Tap!
"Uhhh...." Laki-laki gemuk itu mengeluh kesakitan. Namun dia masih terus berusaha berontak. Sementara Rangga memperkuat cengkeramannya.
"Aaakh...!" Kembali laki-laki gemuk itu menjerit kesakitan. Buku-buku jarinya berderak patah. Tubuhnya meringkuk dan bergetar hebat. Namun Rangga tidak juga melepaskan cengkeramannya.
"Bocah Setan, lepaskan dia...!"
Mendadak kedengaran bentakan keras, yang disusul berkelebatnya seseorang ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Rupanya kawan laki-laki gemuk itu mengirimkan satu tendangan keras ke arah Rangga. Pendekar Rajawali Sakti yang menangkap sekelebatan bayangan itu, langsung bergerak cepat. Sambil tetap mencengkeram kaki kanannya menyambut tendangan orang itu.
Plak!
Dan dengan kecepatan yang sulit diimbangi, ujung kaki Pendekar Rajawali Sakti terus bergerak menghantam.
Des!
"Aaakh...!" Bruaaak!
Orang itu kontan terjungkal sambil menjerit kesakitan. Seketika tubuhnya menimpa beberapa buah meja dan kursi hingga hancur berantakan.
"Kurang ajar...!"
Para pengunjung kedai lainnya mendengus geram. Mereka memandang pemuda berbaju rompi putih itu dengan sorot mata mengandung ancaman.
"Hei, Bocah! Apa kau ingin pamer kekuatan di sini?!" bentak salah seorang yang merasa terganggu selera makannya.
"Kisanak! Apakah tidak melihat! Orang inilah sesungguhnya mengganggu kami. Apakah aku harus mendiamkannya saja?" sahut Rangga enteng, tanpa melepaskan cengkeramannya.
"Aduuuh, lepaskan! Lepaskan...!" teriak laki-laki gemuk itu kesakitan.
"Huh!" Rangga mendengus geram. Langsung didorongnya tubuh laki-laki gemuk itu sampai terjajar dan menghantam sebuah meja lain.
Bruaaak!
"Bangsat!" maki pengunjung kedai yang duduk di situ.
Tangan pengunjung kedai ini segera menghantam tubuh laki-laki gemuk. Akibatnya, tubuh gemuk itu kembali terpental ke sudut yang lain.
Sambil merapikan baju, pengunjung kedai berkumis tipis itu berdiri tegak memandang pemuda yang dianggap telah membuat ulah. "Hm.... Apakah dengan membawa-bawa pedang dan pamer kehebatan, kau kira bisa berbuat seenaknya di sini? Kalau kau memang hebat, ayo keluar! Tunjukkan padaku kehebatanmu!" dengus laki-taki berkumis tipis yang mejanya berantakan kehantam tubuh laki-laki gemuk tadi. Dia segera melangkah lebar, keluar dari kedai ini.
"Kakang...." Wajah Ambarwati kelihatan mulai cemas. Paling tidak kekhawatiran gadis itu beralasan. Karena hampir separuh dari pengunjung kedai ini, kemudian keluar mengikuti laki-laki berkumis tipis yang menyandang pedang di punggungnya itu. Bahkan yang lainnya satu persatu beranjak dan ingin menyaksikan tontonan yang bakal menarik.
Mau tidak mau Rangga terpaksa mengikuti. Kakinya melangkah lebar menyusul diikuti Ambarwati. Sementara laki-laki berkumis tipis dan berbaju serba hitam itu telah menunggu dengan tatapan tajam sambil berkacak pinggang.
"Bocah Bau Kencur! Lagakmu selangit seperti merasa hebat sendiri. Ayo, cabut pedangmu dan tunjukkan kebisaanmu!" bentak laki-laki itu garang.
Rangga menepis tangan Ambarwati. Kemudian melangkah, dan berhenti pada jarak lima langkah di depan laki-laki berkumis tipis ini. "Kisanak! Aku tidak mencari urusan kalau tidak terpaksa. Dan aku tidak bermaksud pamer kekuatan. Kalau saja orang itu tidak mengganggu adikku, mana mungkin aku menghajarnya. Sementara kau tersinggung dan menantangku. Berarti kau memang setuju dengan perbuatan orang itu?" tanya Rangga, kalem.
"Tidak usah banyak mulut! Jelas apa yang kau lakukan membuat gemas semua pengunjung kedai. Dan kau bermaksud mengelak pula. Hei Bocah! Gagak Lumayung bisa saja mengampunimu, asal kau merangkak dan mencium kakiku tiga kali sambil memohon ampun!" sahut laki-laki berkumis tipis yang mengaku bernama Gagak Lumayung.
Mendengar itu mereka yang berada di sekitarnya tertawa mengejek.
"Ha ha ha...! Baru tahu rasa dia! Lagaknya selangit. Dan sekarang, kena batunya!" teriak satu suara.
"Ayo, merangkak dan cium kakinya!" timpal yang lain.
"He he he...! Dasar pengecut! Dikira semua orang bisa digertak dengan kepandaiannya ya setahi kuku itu!" teriak yang lain.
Rangga mendengus dingin. Lalu dipandangnya lelaki di hadapannya dengan tajam. Rasanya kesabarannya pun ada batasnya. "Kisanak! Kau yang memulai semua ini. Silakan...."
"Huh!" Gagak Lumayung mendengus geram. Kemudian tubuhnya melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. "Yaaat..!"
"Hup!" Rangga cepat bergerak menangkis serangan kepalan tangan Gagak Lumayung yang mengarah ke muka. Kemudian tubuhnya sedikit miring ke kiri, ketika laki-laki berkumis tipis itu menyusuli dengan pukulan ke dada.
Gagak Lumayung agaknya penasaran betul. Seketika kakinya melepaskan tendangan kilat dua kali berturut-turut ke arah rahang dan leher. Namun dengan pengerahan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' Rangga cepat mengegoskan kepala. Bahkan dia segera balas menyerang melepaskan satu pukulan ke arah perut.
"Yeaaat!"
Serangkum angin kencang menderu kencang ke arah Gagak Lumayung. Mendapat serangan balasan ini, laki-laki berkumis tipis itu terkejut juga. Cepat bagai kilat, dia melompat gesit ke samping. Namun, tendangan kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti cepat bergerak mengikuti. Maka dicobanya untuk menangkis dengan tangan kiri.
Plak!
"Uhhh...!" Laki-laki berpakaian serba hitam itu mengeluh kesakitan merasakan nyeri dan linu ketika berbenturan tadi. Belum lagi dia sempat menguasai diri, mendadak Rangga mencelat menyambar ke arah leher. Cepat-cepat Gagak Lumayung menunduk dengan tubuh bergerak ke kanan untuk menghindarinya.
Wuuut!
Tendangan pertama Pendekar Rajawali Sakti berhasil dihindari Gagak Lumayung. Tapi, tubuh Rangga terus berputaran dengan kedua kaki ikut terayun. Dan gerakan ini memang tidak diperhitungkan Gagak Lumayung. Akibatnya....
Desss! "Aaakh...!"
Telak sekali dada Gagak Lumayung terhantam tendangan Rangga. Seketika dia menjerit tertahan dengan tubuh terhuyung-huyung ke belakang.
Rangga sendiri tidak meneruskan serangan. Dia berdiri tegak sengaja tidak mengejarnya. Pendekar Rajawali Sakti seperti memberi kesempatan pada lawan untuk kembali bersiap.
"Bangsat...!" Gagak Lumayung mendengus geram. Sorot matanya liar dan wajahnya berkerut menahan amarah. Tampak sekali dia sangat penasaran dapat dihajar lawan.
Sring!
"Cabut pedangmu! Dan, tahan seranganku ini!" lanjut Gagak Lumayung garang sambil mencabut pedang.
"Pedangku belum waktunya digunakan...!" sahut Rangga kalem.
"Sombong! Huh! Aku tidak peduli apakah kau bertangan kosong atau tidak. Jangan salahkan kalau celaka!"
Rangga tersenyum sinis. Dan dia masih berdiri tegak saat Gagak Lumayung melompat menyerang.
"Heaaat...!" Wuuuk! Wuuuk!
Pedang di tangan Gagak Lumayung mengurung Pendekar Rajawali Sakti dengan ketat! Kilatan sinarnya seperti menyambar ke seluruh permukaan tubuh Rangga.
Sementara orang-orang yang menonton pertarungan berdecak kagum melihat permainan pedang laki-laki berbaju serba hitam itu. Mereka menduga dalam waktu singkat, pemuda berbaju rompi putih itu pasti akan celaka. Tapi Rangga telah bertekad tidak akan memberi hati lagi pada laki-laki berkumis ini. Dengan manis Pendekar Rajawali Sakti selalu mampu mengelak dari setiap sambaran pedang dengan tetap menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tubuhnya terus bergerak lincah diiringi gerakan kedua kaki dan tangannya. Dan kini keadaan menjadi terbalik. Orang-orang mulai menahan napas, karena sedikit pun ujung senjata Gagak Lumayung tak mampu menggores permukaan kulit pemuda berbaju rompi putih itu.
"Hiyaaa..!" Mendadak saja Rangga membentak nyaring. Tubuhnya melenting ke atas. Sementara Gagak Lumayung langsung mengejarnya dengan senjata berputar menanti kelengahan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi tiba-tiba Rangga bergerak cepat dan seperti lenyap dari pandangan. Lalu....
Tap!
Gagak Lumayung tersentak ketika mendadak aja pergelangan tangannya tercekal. Dia bermaksud berontak, namun tangannya terasa lemas bukan main. Bahkan tahu-tahu pedangnya lepas dari genggaman. Dan belum sempat dia berpikir lebih jauh, satu tendangan keras mendarat di dadanya.
Begkh! "Aaakh!"
Gagak Lumayung kontan terjungkal dan menjerit keras. Dengan wajah berkerut menahan rasa sakit dia berusaha bangkit. Namun tahu-tahu lehernya terasa tertekan oleh ujung pedangnya sendiri yang kini berada dalam genggaman Pendekar Rajawali Sakti.
"Apakah cara ini yang kau inginkan...?" tanya Pendekar Rajawali Sakti dingin.
"Eh, ekh...." Gagak Lumayung jadi salah tingkah sendiri. Tidak terasa jantungnya berdegup kencang dan keringatnya mulai mengucur perlahan membasahi tubuh. Pikirannya kosong tidak menentu. Karena yang ada di dalam benaknya hanya satu pertanyaan, apakah pemuda ini akan terus meneruskan ujung pedang itu hingga menembus tenggorokannya, atau tidak?
"Hua ha ha... Dasar Gagak Lumayung Sinting! Agaknya kali ini kau kena batunya. Kau bertindak tanpa mengetahui siapa lawan sesungguhnya!"
Mendadak saja terdengar satu suara disertai tawa nyaring. "Hei, kampret sok jago! Tidak tahukah kau bahwa pemuda itu adalah si Pendekar Rajawali Sakti?!" lanjut suara itu.
"Heh?!"
"Apa?!" Gagak Lumayung dan lainnya terkejut ketika mendengar julukan Pendekar Rajawali Sakti disebut. Langsung dipandangnya pemuda berbaju rompi putih itu dengan seksama.
Sementara Rangga melemparkan pedang yang digenggamnya, dan mendarat tepat di ujung kaki Gagak Lumayung. Kemudian kepalanya berpaling memandang laki-laki tua bertubuh kecil dengan rambut pendek awut-awutan yang baru saja mencelat mendekatinya. Di tangan kanannya tergenggam batang tongkat pendek berwarna hitam. Dialah yang tadi bersuara.
"Salam hormatku padamu. Orang Tua. Matamu sungguh jeli...!" sahut Rangga disertai senyum manis.
"Hei?! Siapa yang tidak kenal Pendekar Rajawali Sakti? Selain memiliki kepandaian hebat, dia juga terkenal murah hati. Apalagi terhadap seorang gembel kelaparan seperti ku ini!" oceh orang tua itu sambil tersenyum lebar.
"Hm ... Kalau begitu, kebetulan sekali. Mari, Kisanak. Kuundang kau makan bersama kami. Sekalian aku harus mengganti kerusakan perabotan kedai ini yang rusak tidak sengaja," sahut Rangga, mengajak orang tua itu ke dalam kedai. Sementara Ambarwati mengikuti di samping kanan pemuda itu.
Orang tua itu terkekeh-kekeh kecil. Dan dia segera memesan segala makanan yang enak-enak dalam porsi yang cukup banyak. Rangga hanya tersenyum, sementara Ambarwati menggeleng sambil mendecah kesal.

"Kisanak. Kalau boleh tahu, siapakah kau ini...?" tanya Rangga di sela-sela kesibukan orang tua itu mengunyah makanan.
"He he he...! Apakah itu perlu?"
"Paling tidak aku tidak memanggilmu sesuka hatiku," sahut Rangga.
"Ha ha ha...! Pintar kau bicara. Bocah. Tapi apa Ki Sangga Langit punya arti di hadapan Pendekar Rajawali Sakti...?" tanya orang tua bernama Ki Sangga Langit, merendah.
"Ah! Kalau demikian, Kisanak adalah orang tua yang amat mengagumkan dari wilayah timur itu. Nama besarmu telah membuat mataku silau, dan selalu ingin bertemu denganmu!" seru Pendekar Rajawali Sakti, juga merendah.
"He he he...! Apalah artinya namaku dibanding nama besarmu?" Ki Sangga Langit kembali ketawa lebar. Namun mendadak terlihat matanya mendelik. "Tapi kau harus hati-hati!"
"Hati-hati kenapa?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, tak mengerti.
"Ada orang-orang hendak merontokkan nama besarmu!"
"Hm, siapa mereka?"
"Apakah kau betul-betul tidak tahu?" Rangga menggeleng. Wajahnya dibuat sedemikian rupa, agar terlihat benar-benar terkejut.
Orang tua itu mendekatkan jarak, sehingga wajahnya sedikit disorongkan ke muka. "Orang-orang itu...," kata Ki Sangga Langit dengan suara perlahan sekali.
Rangga jadi mengerutkan dahi. Pendekar Rajawali Sakti memang pernah mendengar nama Ki Sangga Langit walaupun tak pernah bertemu orangnya. Berita yang didengarnya mengenai watak orang tua aneh yang bernama Ki Sangga Langit ini agaknya tidak berlebihan. Dan ini terbukti dengan sendirinya.
Entah apa yang menyebabkannya demikian. Tapi sedikitnya, orang tua ini pasti tidak waras. Meski terkadang ucapannya terbukti. Dan yang lebih aneh lagi dia akan marah jika lawan bicaranya menanggapi segala ucaapannya dengan main-main. Dan kalau sudah begitu, tidak ada ampun lagi. Dia akan segera menghajar lawan bicaranya habis-habisan.
Namun bila lawan bicaranya bersikap seperti apa yang diinginkannya, yakni menanggapi ceritanya dengan penuh perhatian, maka orang tua ini akan merasa senang betul. Pendekar Rajawali Sakti barangkali tidak takut dengannya. Karena paling tidak, dia tidak ingin mencari urusan.
Dan memang tidak ada salahnya menyenangkan hati orang tua ini, dengan memperlihatkan wajah kesungguhan dalam menyimak ceritanya, meski dalam hati sedikit geli. Bahkan lambat laun Ambarwati pun mulai merasakannya Rangga memberi isyarat agar gadis itu tidak tertawa atau tersenyum-senyum.
"Orang-orang mana...?" tanya Rangga dengan suara halus sekali.
"Betul-betul kau tidak tahu?"
Rangga menggeleng.
"Orang-orang Pulau Ular?"
Pendekar Rajawali Sakti kembali menggeleng pura-pura tidak tahu.
"Tiga orang dari mereka telah datang ke daratan ini, dan mencarimu. Hati-hati. Mereka berkepandaian tinggi dan senantiasa menggunakan senjata rahasia yang amat beracun!"
"Hm..., begitukah? Aku tidak akan melupakan budimu, Ki. Terima kasih! Terima kasih...!" bisik pemuda itu kembali.
"Husss! Tunggu dulu! Mereka kini berada di utara...?"
"Utara? Tempat siapa...?"
"Apakah kau betul-betul tidak tahu?"
Rangga kembali menggeleng.
"Abiasa! Ketua Padepokan Kinjeng Loreng itu pasti akan binasa!"
"Astaga! Kalau begitu, aku harus cepat-cepat ke sana. Kasihan mereka!" Rangga hendak bangkit berdiri, namun orang tua itu langsung menangkap pergelangan tangannya.
"He, tunggu dulu...!"
"Ada apa, Ki Sangga Langit?"
"Kau yakin bisa mengalahkan ketiga orang itu?"
"Akan kucoba!"
"Hus! Jangan begitu! Mereka sangat hebat dan memiliki senjata-senjata beracun. Kau akan celaka bila menghadapinya seorang diri!"
"Lalu, apakah kau hendak membantuku?"
"Enak saja!" desis si Orang Tua dengan wajah gusar. "Mereka mencarimu. Maka kau harus menghadapinya seorang diri. Bukankah aku telah menunjukkan tempat mereka? Nah! Ayo, hadapi dan hajar mereka!"
"Ya, ya. Aku akan menghajarnya!" kata Rangga.
"Itu baru jawaban seorang pendekar!" Ki Sangga Langit langsung mengacungkan jempol. Kemudian dia tertawa terbahak-bahak, seraya meninggalkan kedai begitu saja tanpa pamit. "Ha ha ha...! Terima kasih, Bocah. Hati-hatilah..."
Rangga menarik napas lega, kemudian tersenyum sambil menggeleng lemah.
"Dasar orang gila...!" gumam Ambarwati. "Dan yang diajak bicara pun sama gilanya!"
"Siapa? Kau mengatakan aku gila?!" dengus Rangga sambil melotot ke arah gadis itu.
Ambarwati terkejut dan cepat menundukkan wajah. Namun pemuda itu malah tertawa girang. "Sudahlah. Aku hanya bercanda. Ayo, kita harus buru-buru menuju utara sebelum mereka membantai perguruan itu," ajak Rangga bergegas bangkit. Setelah membayar semua harga makanan dan menggantikan kerusakan barang-barang akibat keributan tadi, mereka segera meninggalkan tempat ini.

***

138. Pendekar Rajawali Sakti : Datuk Pulau UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang