BAGIAN 2

270 15 0
                                    

Dua orang pemuda tengah berjalan tenang di sebuah jalan di pinggir sebuah desa. Sesekali salah seorang menendang kerikil-kerikil yang menghalangi jalan. Tendangan itu kelihatan remeh saja. Namun, kerikil itu ternyata mencelat dan menghantam batang kayu. Bahkan membuat kulit kayu itu somplak.
"Gila! Kalau kena aku bagaimana, Soma?" rutuk salah seorang pemuda dengan wajah gondok. Dia memang berjalan agak kedepan.
Pemuda berusia dua puluh lima tahun yang dipanggil Soma hanya terkekeh kecil. "Mana mungkin, Kemong! Kau kira batu kerikil itu ketendang ke arahmu?!" kilah pemuda yang sebenarnya bernama Somadipura. Langsung disusulnya pemuda yang dipanggil Kemong itu. Lalu ditepuk-tepuknya pundak kawannya.
"Iya, memang tidak. Tapi kalau meleset?" Somadipura terkekeh kecil.
"Apa kau kira aku selengah itu?"
"Hm.... Murid Eyang Anggadita ternyata juga pintar bersilat lidah!" sahut Kemong sambil menggeleng pelan.
"Sudahlah. Kau ini bisa saja bicara. Hari ini aku tengah bergembira, karena kedua orang tua Lestari telah menyetujuiku sebagai calon menantunya. Kau dengar, Mong?! Lima tahun aku menanti saat seperti ini. Dan baru sekarang kesampaian!" Kata Somadipura dengan wajah tampak cerah dan mata berbinar-binar.
"Aku iri padamu, Soma. Lestari gadis setia. Padahal saat kau berguru, ada seorang juragan kaya yang melamar. Orang tuanya setuju saja, kalau Lestari setuju. Tapi Lestari malah menolak habis-habisan!"
Somadipura kembali terkekeh senang. "Hei? Kau sendiri, bagaimana? Sudah menemukan calon pilihan?"
Kemong tersenyum pahit sambil menggeleng lemah. "Hmmm... Mana ada gadis yang mau denganku?" sahut Kemong putus asa. "Wajahku tidak setampan dirimu. Lagipula, aku bukan orang berada. Tidak ada gadis yang mau jadi kekasihku...," desah Kemong.
"Hei? Jangan berkata begitu, Sobat. Dunia tidak selebar daun kelor. Masih banyak gadis lain di dunia ini yang bisa dipilih asal kau tidak takut-takut mendekati mereka...!" hibur Somadipura.
"Aku hanya malu pada diriku sendiri...," sahut Kemong lesu.
"Itulah kelemahanmu. Wajahmu tidak terlalu buruk. Dan soal kaya, bukan menjadi ukuran setiap gadis. Kau harus yakin! Tumbuhkan rasa percaya diri dan jangan cepat putus asa!" kata Somadipura memberi semangat Kemong menghela napas pendek. Lalu kepalanya menoleh pada kawannya.
"Ya, mungkin kau benar juga...," kata Kemong lemah.
Somadipura kembali menepuk pundak kawannya sambil tersenyum lebar. "Percayalah. Kau pasti bisa...." lanjut Somadipura kembali meyakinkan hati kawannya.
"Aku naksir si..."
"Kokom, bukan?!" tebak Somadipura memotong pembicaraan Kemong. Kemong tersipu malu.
"Nah! Tidak perlu takut. Kau harus berani bicara terus terang. Dan katakan, bahwa kau suka padanya!" tandas Somadipura.
"Tapi Ki Ganda pun sepertinya suka padanya..."
"Alaaah! Apa urusannya dengan tua bangka tukang kawin itu? Mana mungkin si Kokom mau dengannya!"
"Tapi si Kokom mau!"
"Dari mana kau tahu?"
"Banyak yang bilang begitu.... "
Kemong terdiam dan terus melangkah pelan. Wajahnya tampak lesu, meski Somadipura menghiburnya berkali-kali.
"Sudahlah. Kalau memang dia tidak suka, eh...!" Somadipura menghentikan kata-katanya ketika melihat seorang gadis berjalan pada arah yang berlawanan. Bola matanya berbinar dan senyumnya terkembang.
Agaknya Kemong pun melihatnya. Dan wajahnya pun tampak berbinar seraya menepuk pundak sobatnya.
"Nah, kalau bisa yang seperti ini!" kata Kemong. "Hus, sial! Jangankan kau. Aku pun mau!"
"Sial! He, apa kau langsung lupa pada Lestari?"
Somadipura tidak mempedulikan. Langsung langkahnya dipercepat. Segera dihadangnya jalan gadis itu. Sedang Kemong mengikuti dari belakang dengan jantung berdegup kencang.
"Mau ke mana Nisanak? Bolehkah mengantarkanmu pulang...?" sapa Somadipura sambil cengar-cengir.
Gadis itu mengangkat wajahnya. Dipandanginya Somadipura dengan kening berkerut. Kemudian bibirnya tersenyum kecil, lalu menggeleng pelan.
"Tidak, terima kasih. Aku bisa berjalan sendiri...," tolak gadis itu halus.
"Amat berbahaya bagi seorang gadis secantikmu jalan seorang diri...," bujuk Somadipura.
"Aku sudah biasa...."
Somadipura mendecah disertai gelengan kecil. Sesaat matanya mengamati pedang di punggung gadis cantik ini, lalu berbalik merendengi langkahnya.
"Hm.... Bisa jadi memang sudah biasa. Tapi dengan membawa-bawa pedang begitu, bukan berarti semua laki-laki iseng bisa ditakut-takuti," sindir Somadipura.
Gadis itu tersenyum, lalu memandang Somadipura kembali.
"Hm.... Kau kira pedangku ini sebagai hiasan belaka?" kata gadis itu disertai senyum sinis.
"He, bagaimana menurutmu, Mong...?" tanya Somadipura seraya tersenyum lebar dan menyikut lengan kawannya.
"Eh! Aku... aku...." Kemong jadi tergagap, tak tahu harus berkata apa.
"Apa kau kira laki-laki iseng akan takut melihat pedang itu?"
"Mana kutahu...," sahut Kemong, gugup. Kata-kata Kemong terhenti, ketika sikut Somadipura kembali menyodok dadanya. Wajah Somadipura tampak kurang senang sambil mengedipkan mata untuk sekelebatan. Lalu wajahnya kembali dipasang cerah ketika berhadapan dengan gadis itu.
"Nah, betul kan kataku? Tapi bila kau berjalan dengan seorang laki-laki sepertiku misalnya, maka tidak ada seorang pun yang berani mengganggumu!" kata Somadipura, agak menyombongkan diri.
"Begitukah?" sahut gadis itu seraya tersenyum kembali.
Namun tiba-tiba gadis ini mencabut pedangnya. Bahkan raut wajahnya pun berubah. "Coba buktikan kata-katamu. Dan, tahan seranganku! Sekiranya kau mampu bertahan kurang dari tujuh jurus ilmu pedangku, maka tawaranmu kuterima!" ujar gadis itu lagi.
"He, benarkah...?!" Wajah Somadipura berbinar. Agaknya dia merasa yakin, mampu melakukan apa yang ditawarkan gadis itu. Sama sekali kemampuan gadis itu dianggap remeh.
"Lihat serangan!" bentak gadis itu sudah langsung mengarahkan pedang ketenggorokan Somadipura.
"Uts!"
Bukan main terkejutnya Somadipura melihat gerakan gadis ini yang cepat bukan main. Kepalanya cepat mengegos. Dan ketika pedang gadis ini membabat pinggang, tubuhnya cepat melompat ke atas.
"Hup!"
"Yeaaat!"
Baru saja kaki Somadipura menyentuh tanah, gadis itu langsung melepaskan satu tendangan keras. Untung saja pemuda itu masih mampu menghindari dengan menggeser tubuhnya ke kiri. Namun, bersamaan dengan itu, ujung pedang gadis ini terus menyambar ke arah lambung. Cepat bagal kilat, Somadipura meliukkan tubuhnya. Agaknya gadis itu tidak berhenti begitu saja. Serangannya segera disusul dengan menyodokkan kepalan tangan ke arah dada. Kembali Somadipura harus melompat kebelakang. Namun, gadis itu terus mencecarnya. Baru saja kaki Somadipura mendarat, pedang gadis itu telah berkelebat ke perut. Dan...
Breeet! "Uhhh...."
Untung saja ujung pedang itu hanya menyambar baju di bagian perut Somadipura. Namun itu cukup membuat pemuda ini tersentak kaget. Dan dia segera bergerak ke kiri, untuk menghindari serangan selanjutnya. Namun kaki kiri gadis ini telah keburu menghantam perutnya. Maka....
Duk!
"Uhhh...."
Somadipura mengeluh tertahan begitu tendangan kaki kiri gadis itu mendarat telak di perutnya. Langkahnya kontan terhuyung-huyung ke belakang. Dia berusaha memperbaiki keseimbangan tubuhnya, namun ujung pedang gadis itu telah menempel di tenggorokannya. Wajah Somadipura kontan pucat. Dan tanpa sadar, keringat dingin mulai mengucur membasahi tubuhnya.
"Hm. Hanya seginikah kemampuanmu?" dengus gadis itu dingin, sambil menekan ujung pedangnya.
"Eh! Aku... aku...."
"Huh!" dengus gadis itu. Lalu pedangnya disarungkan kembali. "Kalau baru punya kepandaian setahi kuku, jangan coba-coba sok jadi pahlawan."
Setelah berkata begitu, gadis ini segera meninggalkan Somadipura dengan langkah tenang.
Sementara, pemuda itu menghela napas lega. Namun, kerongkongannya masih terasa kering dan lidahnya sedikit kelu. Masih sulit dipercaya kalau gadis cantik yang kelihatannya lemah dan tidak berdaya itu mampu menundukkannya dalam waktu singkat!
"Apa kataku! Kau terlalu yakin dan memandang enteng!" gerutu Kemong sambil mengeleng lemah. "Lagipula, kau kena kutukan Lestari. Berani-beraninya mencoba menyeleweng. Padahal, sebentar lagi kau akan kawin!"
"Alaaah! Diam kau!" sentak Somadipura kesal.
Kemong langsung terdiam. Namun, perlahan-lahan mengembangkan senyum. Tampaknya Somadipura masih penasaran betul dengan gadis tadi. Buktinya meski dengan langkah tertatih-tatih, pandangan mata pemuda itu masih terus memandangi gadis tadi dengan perasaan gemas.
"Suatu saat, dia akan tahu siapa aku!" desisnya Somadipura geram.
"Coba lihat! Langkah gadis itu kelihatan tenang sekali. Hm... kelihatannya dia sama sekali tidak takut pada siapa pun. Seharusnya kau mengerti dan tidak meremehkannya begitu saja," ujar Kemong.
"Kemong! Sekali lagi kau memanasi aku, akan kuhajar kau!" geram Somadipura, semakin kesal saja mendengar ocehan kawannya.
Kemong kembali terdiam. Namun dia masih saja belum bisa menahan rasa geli dihatinya.
"Hei, siapa itu?!" sentak Somadipura. Di depan sana, Somadipura melihat dua orang laki-laki berwajah seram tengah menghadang gadis yang tadi digodanya. Melihat gelagat yang tidak baik, segera diajaknya Kemong untuk mendekat.
"Lebih baik kita tidak usah mencampuri urusannya. Nanti kau kena getahnya lagi," sahut Kemong memperingatkan.
"Gadis itu dalam bahaya. Dan kita harus membantunya!"
"Apa yang bisa kita bantu? Dia bisa menjaga dirinya sendiri!"
"Alaaah, sudah! Ayo...!" sentak Somadipura, langsung melangkah lebar mendekati.
Mau tidak mau Kemong terpaksa mengikuti. Apa yang diduga Somadipura memang tepat. Karena tiba-tiba saja, salah seorang dari laki-laki berwajah kasar itu telah menyerang gadis tadi sambil menyeringai lebar penuh nafsu.
"Ha ha ha...! Gadis Manis! Kau kira bisa lari begitu saja dariku, he?! Hari ini Prapanca alias Macan Loreng Hutan Mauk akan mendapatkan gundik yang menarik, sebagai penghias istananya. Ha ha ha...!" kata laki-laki yang bernama Prapanca dan berjuluk Macan Loreng Hutan Mauk ini.
"Manusia Buruk! Kau boleh hanyut dalam mimpimu itu...!" sentak gadis itu.
"He!? Kenapa tidak? Kau kira aku tidak bisa menangkapmu?!"
"Huh!" Gadis itu mendengus dingin seraya melompat ke atas.
Sementara Macan Loreng Hutan Mauk mengejar dengan gesit. Tubuh Prapanca yang gemuk, mestinya hanya bisa bergerak lamban dan kaku. Namun yang terlihat justru sebaliknya. Dia mampu bergerak gesit. Dan dari desir angin serangannya, terasa kalau tenaganya amat kuat.
"He he he...! He, Prapanca! Apa kau mau terus main kejar-kejaran dengannya? Sudah! Cepat tangkap dia. Aku sudah tidak sabar ingin mendekap gadis liar ini!" teriak laki-laki bertubuh kekar, kawan dari Prapanca.
"Tutup mulut, Dasgiwa! Dia milikku. Dan kau tidak boleh menyentuhnya sedikit pun, sebelum aku benar-benar bosan!" teriak Macan Loreng Hutan Mauk geram.
"Ha ha ha...!" Dasgiwa tertawa lebar. Namun nada tawanya jelas mengejek. Karena telah dua jurus berlangsung, tapi Prapanca belum juga mampu menaklukkan gadis itu. Dan itu dirasakannya betul oleh Prapanca sendiri. Bahkan sudah membuat kemarahannya meluap-luap. Wajahnya kelihatan geram. Lalu dengan satu bentakan nyaring. Macan Loreng Hutan Mauk mengamuk hebat.
"Yeaaat...!" Sring!
Gadis itu bukannya tidak mengerti gelagat. Maka pedangnya sudah langsung dicabut.
Bet! Bet! "Uhhh...."
Senjata gadis itu berkelebat hebat, menyambar ke seluruh tubuh Prapanca dengan kecepatan sulit diikuti pandangan mata biasa. Namun begitu, Prapanca mampu menghindarinya dengan gesit. Bahkan sesekali telapak tangannya menghantam, sehingga menimbulkan desir angin kuat bagai hantaman gada.
Wuuut!
Dalam suatu kesempatan, pedang di tangan gadis itu menyambar ke depan. Dan tahu-tahu, tubuh Prapanca berkelebat cepat hingga seperti lenyap dari pandangan. Gadis itu jadi terkejut. Dan mendadak saja pergelangan tangannya tercekal.
Plak! "Uhhh...."
Dengan sekali sentak, pedang gadis itu terlepas. Lalu tahu-tahu tangannya terpelintir ke belakang. Gadis itu mencoba menyikut dengan tangan yang satu lagi. Namun dengan tangkas, Prapanca menangkap dan mencekalnya erat-erat.
"Ouw...!" jerit gadis itu kesakitan.
"He he he...! Sekarang kau bisa berbuat apa? Kalau kau menurut tentu tidak akan begini jadinya!"
Sementara dari kejauhan, Somadipura dan Kemong tersentak. Keberanian mereka yang tadi bangkit pelan-pelan, kini semakin ciut dan terus menyusut.
"Bagaimana ini, Mong?" tanya Somadipura dari balik semak-semak lebat.
"Mana kutahu?! Tadi kau yang mengusulkan kita ke sini...."
"Aduuuh, kasihan gadis itu. Tapi kita bisa berbuat apa? Kalau orang itu mampu meringkusnya dalam waktu singkat, tentu kepandaiannya amat hebat. Dan kawannya, paling tidak memiliki kepandaian yang tidak berbeda. Kita berdua tidak ada artinya sama sekali kalau coba menolong," keluh Somadipura.
"Makanya...!" gerutu Kemong kesal.
"Hei, coba lihat! Ada orang datang!" sentak somadipura tiba-tiba.
"Mana? Mana?!" Kemong menegaskan pandangan. Dan di depan sana, tampak seorang pemuda berbaju rompi putih di atas seekor kuda berbulu hitam telah berada di tempat itu!
"Kisanak, lepaskan gadis itu!" bentak pemuda berbaju rompi putih itu.
"Heh?!" Prapanca mendengus geram. Demikian juga kawannya.
Sebaliknya, gadis itu terkejut. Wajahnya seketika begitu gembira, melihat orang yang baru muncul. "Kau..., kau...."
Pemuda berbaju rompi putih itu tersenyum, kemudian kembali mengalihkan perhatian pada kedua laki-laki bertampang seram. "Kisanak! Akan kau apakan adikku ini? Lepaskan dia!" ulang pemuda itu.
"Bocah ingusan tidak tahu diri! Hei?! Kau kira dirimu siapa, berani bertingkah di depanku? Bapak moyangmu sendiri belum tentu berani mencegah keinginanku. Pergi kau dari sini! Atau, kutendang sampai mampus!?" geram Prapanca semakin geram.
"Hua ha ha...! Kau dengar itu, Prapanca? Katanya gadis liar ini adiknya. Nah, hati-hatilah. Jangan-jangan dia akan menyembelihmu dengan pedangnya jika kau berbuat semaumu pada adiknya!" teriak Dasgiwa, bernada mengejek.
"He he he...! Ini semakin membuatku girang, Dasgiwa. Apa tidak sebaiknya kita dekap adiknya yang cantik ini di depan hidungnya?" sahut Prapanca disertai tawa lebar.
"Hm.... Agaknya kalian kepala batu juga! Nah! Lakukanlah sesuatu terhadap adikku sesuka hatimu. Tapi, ingat. Jangan salahkan kalau tindakanku terlalu keras pada kalian," sahut pemuda berbaju rompi putih itu, enteng.
"Hei, kurang ajar...!" Dasgiwa kontan melotot mendengar kata-kata muda itu.
"Kunyuk tidak tahu diri!" maki Prapanca. "Kau kira berhadapan dengan siapa, he?!" Mata Prapanca juga sampai melotot lebar, bahkan urat-urat di pelipisnya bertonjolan.
"Kenapa tidak tahu? Bukankah saat ini aku tengah berhadapan dengan manusia rendah berotak kotor?!" sahut pemuda itu enteng sambil tersenyum mengejek.
"Bangsaaat...! Kurang ajar!" maki Prapanca.
Dibanding kawannya, Prapanca memang lebih cepat naik darah dan lebih cepat pula melampiaskannya. Dia merasa, harga dirinya betul-betul terinjak-injak mendengar ocehan pemuda yang betul-betul tidak memandang sebelah mata terhadapnya. Padahal nama Macan Loreng Hutan Mauk sudah terkenal di delapan penjuru angin. Dan hari ini, seorang pemuda yang tidak dikenalnya sudah seenaknya menganggap rendah dirinya. Mana mungkin bisa didiamkan begitu saja! Begitu cekalan pada gadis itu dilepaskan, dia langsung berkelebat.
"Yaaat...!"
"Heup!" Plak!
Macan Loreng Hutan Mauk sudah langsung melompat ke arah pemuda itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi pada kibasan tangannya. Agaknya dia ingin menunjukkan kehebatannya pada pemuda itu. Tapi yang dihadapinya malah tersenyum kecil tanpa bergeming sedikit pun. Dan begitu pukulan Prapanca dekat, telapak kiri pemuda itu menangkapnya. Lalu tanpa turun dari punggung kudanya, kaki kirinya menghantam ke dagu Prapanca.
Plak!
"Heh?!" Bukan main terkejutnya Prapanca, ketika merasakan kepalan tangannya seperti menghantam dinding baja. Dan kalau saja tidak buru-buru menghindar ke samping, bukan tidak mungkin tendangan pemuda itu bisa merontokkan rahangnya. Dari angin serangannya saja bisa diduga betapa kuatnya tendangan itu.
"Siapa kau sebenarnya. Bocah?!" bentak Prapanca garang.
"Manusia-manusia busuk! Tidak tahukah saat ini tengah berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti!"
"Apa?! Pendekar Rajawali Sakti...?!"
Prapanca dan Dasgiwa tersentak kaget begitu mendengar kata-kata gadis itu yang terakhir. Langsung dipandangnya pemuda berbaju rompi putih itu dengan wajah kurang yakin.
"Kisanak! Apakah kau pendekar besar yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti...?" tanya Dasgiwa lirih dan hatihati sekali.

***

138. Pendekar Rajawali Sakti : Datuk Pulau UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang