00.00

648 30 0
                                    


° ° °
.
.
.

Seorang perempuan dengan hidung mancung, pandangannya tajam dengan matanya yang sayu juga rahang tegas membuatnya terlihat sedikit maskulin diantara pahatan wajahnya yang cantik. Bibirnya tipis berwarna ceri yang mengkilap alami, jangan lupakan tahi lalat kecil yang berada dibawah bibir sebelah kanannya membuatnya terlihat manis itu terlihat tengah menunggu sopir jemputan nya dengan kesal.

Kenapa kesal? Karena sudah hampir lima belas menit menunggu tapi yang ditunggu tidak kunjung datang. Belum lagi tatapan orang-orang yang tertuju padanya membuatnya tidak nyaman.

Siapa yang tidak mengenal La Nadine Sapphire, seorang gadis yang terkenal begitu dingin, irit bicara, tapi tetap terlihat anggun di segala aktivitas yang dilakukannya, meskipun ada momen membuatnya terlihat seperti orang yang kaku. Bahkan ada yang menyebutkan jika dirinya punya darah bangsawa, gaun putih panjang yang dikenakannya menambah praduga tersebut. Dan tidak ada seorang pun yang tahu mengenai kebenarannya.

Tapi yang sudah bisa dipastikan Nadine bukanlah dari keluarga sembarangan, atau istilahnya dari kalangan konglomerat. Wajah, barang-barang yang dipakai, juga tingkah lakunya sebagai bukti nyata.

Orang-orang di sekitarnya seringkali ingin berkenalan dengannya, tapi urung melakukannya karena aura yang di keluarkannya terasa berbahaya dan mencekam. Seolah perempuan itu ditakdirkan untuk tidak tersentuh.

Perempuan yang memiliki darah campuran luar itu terus mengangkat tangannya beberapa kali untuk melihat waktu yang terlewat hanya untuk berdiri dengan bodoh seperti ini. Rambut bergelombang nya sampai berkibar akibat hembusan angin yang begitu besar.

Wajah putihnya sudah memerah terkena paparan sinar matahari. Padahal sebisa mungkin Nadine menghindar dari teriknya mentari tapi tetap saja, wajahnya tidak luput karenanya.

Untung saja selang tiga menit Audi R8 hitam yang biasa menjemputnya datang. Dengan cepat Nadine segera masuk kedalamnya.

"Kenapa lama?"

Supir didepannya tidak kunjung menjawab membuat kerutan didahinya tercipta. Kenapa pertanyaan tidak digubris sama sekali.

Karena malas untuk menanyakannya lagi, Nadine memilih untuk menyumpal kedua telinganya dengan airpods dan memakai kaca mata hitamnya untuk menyembunyikan mata terpejamnya.

Seharian ini terlalu banyak aktivitas membuat tenaga Nadine rasanya terkuras habis. Setelah sampai dirumahnya, dia harus cepat-cepat merebahkan dirinya diatas ranjang agar nanti tenaganya pulih kembali.

Begitu tiba didepan sebuah rumah mewah bergaya mediterania yang terlihat begitu sepi, Nadine langsung keluar dari mobil dan masuk kedalam tanpa memperdulikan tasnya yang tertinggal. Hanya ponselnya saja yang dia bawa.

Nadine langsung menjatuhkan tubuhnya diatas ranjang berukuran quen size begitu sampai dikamarnya yang penuh dengan aksen putih. Membuka kacamata, airpods, dan juga sepatu yang masih menempel ditubuhnya lalu dia lempar asal-asalan.

Lima belas menit berlalu setelah Nadine sepenuhnya terlelap, seorang laki-laki muncul membawa sebuah tas jinjing lalu menyimpannya diatas meja belajar dengan hati-hati. Takut jika suara yang dia hasilkan akan menganggu yang tengah tidur.

Menatap Nadine sebentar dengan mata tajamnya sebelum keluar lagi dari kamarnya. Tidak lupa juga untuk menutup pintu yang sebelumnya tidak Nadine tutup sepelan mungkin.

Nadine terbangun ketika hari sudah beranjak malam. Bangkit dari ranjangnya, Nadine berjalan menuju kamar mandi dengan langkah gontai. Tangannya mencoba menggaruk punggung yang gatal. Mulutnya terbuka lebar tanpa berniat untuk ditutupi. Rambut bergelombangnya begitu berantakan membuat penampilannya sungguh tidak enak untuk dipandang.

La NadineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang