"PAMAN NISHIDA! KAU datang!"
Seorang pria jangkung dengan rambut kecokelatan yang cukup panjang tertawa ringan. Dia menerima high five yang dilemparkan seorang pemuda dua belas tahun yang baru saja berlari menghampiri. Kacamata hitam bertengger bangga di hidung bangir si pemuda, hitam kacamatanya tampak begitu kontras dengan kulit putih pucat yang akan membuat banyak anak perempuan merasa iri. Dia kembali memasukkan kedua tangan ke dalam saku hoodie yang dikenakan. Seringaian di wajahnya berhasil membuat beberapa perempuan di bandara itu berhenti sejenak untuk menoleh.
"Bahasa Jepangmu membaik," komentar Ethan, pria yang barusan disapa oleh si pemuda. "Sekarang kau juga sudah sangat besar. Terakhir kali aku melihatmu, kau masih setinggi ini." Ethan menunjuk pinggangnya.
"Aku masih bisa tumbuh. Kau tunggu saja," balas si pemuda. Dia melepas kacamata dan menggantungnya pada kerah pakaian. "Di sekolahku ada anak baru dari Kyoto. Kami bicara dengan bahasa Jepang sepanjang hari. Dia sangat baik. Kurasa dia menyukaiku."
Ethan menatapnya dengan tidak percaya. Dia mengerling pada seorang perempuan pirang yang menyusul menghampiri mereka.
"Bagaimana caramu membesarkannya?" tanya Ethan dengan heran sekaligus terpukau. "Dia akan jadi player sejati."
Airi tertawa rendah. Dia merangkul putranya, Kazuki, dengan sebelah tangan. Tingginya telah mencapai leher, tinggal menunggu waktu saja sampai Kazuki mengunggulinya.
"Entah. Dia tumbuh terlalu cepat," balas Airi. Menjejerkan wajah mereka, dia berkata, "Kami sering disebut sebagai kakak-adik."
"Tiga atau empat tahun lagi dia akan dikira sebagai pacarmu."
Kazuki menimpali. "Aku tidak masalah untuk jadi pacar Ibu."
Detik berikutnya, Kazuki telah menyipitkan mata akibat jambakan di belakang kepalanya.
"Siapa yang mengajarimu tentang pacar-pacar?" ungkap Airi dengan nada sok mengancam.
"Paman Nishida baru saja mengatakannya," kilah Kazuki.
Airi membebaskan Kazuki dari jambakan ringan-nya. Isyarat familier di mata safir ibunya membuat dia berkata, "Tidak mempermainkan anak cewek. Iya, aku mengerti."
Di hadapan mereka, Ethan mendengkuskan tawa. Dia kembali menatap Airi. Ketika pandangan mereka bertubrukan, Airi segera melangkah maju dan melemparkan rangkulan erat pada Ethan. Dia sedikit berjinjit ketika merangkulkan kedua lengan di leher sosok itu.
"Aku tahu kau rindu," ejek Ethan.
Airi menendang tulang keringnya sebelum menguraikan rangkulan.
"Harusnya kau lebih sering mengunjungiku," keluh Airi. Dia menunjuk Ethan dengan jarinya. "Sebagai bayaran, ambilkan koper kami di sana. Aku dan Kazuki akan menunggu di pintu keluar."
Kazuki bersekongkol dengan ibunya. Dia mengangguk dan segera menyambar lengan Airi.
"Ide bagus, Bu," katanya dengan ringan, sama sekali tak merasa bersalah. "Selamat bekerja, Paman. Beberapa koleksi buku dan manga favoritku ada yang langsung kubawa. Beratnya tidak seberapa, kok. Tenang saja."
Ethan ditinggalkan begitu saja di tengah keramaian bandara. Embusan napas keluar dari bibirnya. Dia mendengkuskan tawa, menahan rasa lega setelah melihat keadaan Airi dan Kazuki. Mereka berdua telah melalui banyak hal. Airi telah melalui banyak hal. Senyuman dan pelukan tadi benar-benar meringankan beban di pundak Ethan.
Ketika bergegas ke tempat pengambilan barang, dia merasa tidak keberatan. Asal dua orang itu dapat tersenyum lebar, perkara semacam ini takkan jadi masalah buatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow of The Past [END]
Romance#Side Story The Nox Series CHAPTER LENGKAP TELAH DIPINDAH PADA PLATFORM GOODNOVEL DAN KARYAKARSA [R-18] Kei Hasegawa bukan sekadar pria kaya, tampan, berbahaya, dan banyak dijadikan pujaan wanita. Dia bukan manusia yang hanya berlabelkan empat hal t...