1. Lemah

70 28 47
                                    

"Pagiku cerahku matahari bersinar, kugendong tas merahku di pundak." Casilda bersenandung ria di depan cermin sembari menyisir rambut lurus panjang yang sangat disukainya.

Inilah Casilda. Gadis remaja berusia 17 tahun, sekilas orang akan menilainya sosok yang ceria, tapi kenyataannya itu hanyalah topeng belaka sebagai penguat. Sekali lagi Casilda memperhatikan penampilan dari ujung kaki sampai ujung rambut, rok panjang menghiasi setiap jenjang kaki. Soal kerudung jangan ditanya, ia tak mengenakannya, entah kenapa hati itu belum terbuka.

Berbeda dengan Kalila, saudara kembar Casilda yang sama sekali tak mirip, karena mereka tidak identik. Dia lebih suka berpenampilan modis memakai rok pendek ke sekolah sedangkan Casilda sama sekali tak merasa nyaman mengenakannya, itulah kenapa rok panjang menjadi pilihan. 

Casilda menghembuskan nafas gusar, pagi hari ketika sarapan adalah hal yang paling dibencinya, bukan tanpa sebab tapi disaat itulah ia merasa dicampakkan seolah tak dianggap.

"Oke, Casilda kamu harus kuat, ini hanyalah masalah kecil, bersikap cuek saja." Sekuat tenaga ia menyakinkan bahwa tak akan terjadi sesuatu.

Dengan santai langkah itu menuruni setiap anak tangga, setibanya di meja makan terlihat papa, bunda, Ilyana dan Kalila duduk di sana, hanya Ilyana yang tersenyum hangat sedangkan tiga orang itu seperti pura-pura tidak menyadari kedatangannya, miris sekali.

"Kumenangis ... membayangkan betapa kejamnya mereka atas diriku, aku dicampakkan dan tak dianggap ada."

Nyanyian yang keluar di mulut Casilda sengaja dinyaringkan untuk menyindir mereka. Bagaimana perasaannya saat itu? Jujur ingin sekali air mata menitikkan butiran bening, terasa sangat pilu begitu menusuk ke ulu hati. Mereka semua hanya diam saja seakan tuli dengan apa yang didengar. Ia melihat pancaran mata Ilyana menyiratkan rasa kasihan. Ah kakaknya itu, Casilda sangat menyayanginya. Dialah orang yang peduli, mengerti perasaannya dan mau mendengarkan setiap keluh kesah.

Kaki itu berjalan melewati mereka, enggan sekali rasanya makan di meja sama, dari dulu memisahkan diri dari mereka adalah cara paling ampuh membuat Casilda merasa sedikit nyaman dengan makan di pojokan yang tempat makan itu khusus untuk para pembantu.

"Casilda, kamu makan di sini aja," panggil Ilyana.

Semula, ia ingin menolak tapi belum sempat kalimat itu keluar, Shafia sudah mendahului.

"Biarin aja lah dia makan di situ," cecar bunda Casilda dengan melirik tajam, seakan ingin membunuh.

"Tapi bu...."

"Ilyana, dia aja gak masalah makan di situ, kenapa kamu yang ribet," potong Shafia, oktaf suaranya naik satu tingkat.

Tangan Casilda mengepal, segitu tak dihargai berada di rumah ini, diajak gabung makan bersama mereka saja tak diinginkan, apalagi kehadirannya mungkin sangat tidak diharapkan. Tuhan, bolehkan Casilda meminta agar tak dilahirkan ke dunia ini? Atau kalau bisa jemput ia secepatnya.

"Ih Casilda, kamu ngapain berdiri kayak gitu, bengong lagi, kesambet?" celoteh Kalila, sontak seluruh mata memandang ke arahnya.

Lamunan seketika buyar, apa yang telah ada dalam pikirkannya, seorang Casilda bukanlah orang yang pantang menyerah.

"Enggak," jawabnya, lalu mulai menyantap makanan yang tergeletak di meja makan.

Awalnya Casilda makan dengan tenang tapi kemudian sayup-sayup telinga itu mendengar percakapan mereka yang sengaja dikeraskan.

"Bun, kemarin aku menang lomba lari lagi loh, juara satu," ujar Kalila merasa bangga.

"Selamat sayang kamu memang hebat." Hanif-Papa menyahuti.

CasildaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang