2. Terasa Sakit

38 22 33
                                    

"Sesering apapun kamu mendengarnya jika kata-kata itu selalu mengungkit kekuranganmu pasti juga akan tetap terasa sakitnya."

•••

Perlahan mata yang menutup rapat mulai terbuka, pancaran cahaya di ruangan itu sangat menyilaukan mata, Casilda berusaha menyesuaikannya.

"Alhamdulillah, kamu sudah sadar," gumam seseorang yang duduk di dekatnya, siapa lagi kalau bukan Ilyana.

Kembali Casilda mengingat kejadian pagi tadi hingga berakhir di rumah sakit dengan beberapa luka akibat kecerobohannya sendiri, mengendarai mobil dalam suasana hati tak baik.

"Bunda sama papa di mana?" Satu harapan terbesar, mereka mengkhawatirkan keadaannya.

Ia kira ketika membuka mata merekalah orang pertama yang Casilda lihat, menemani dan menunggu kesadarannya, tapi kenyataan, hanya Ilyana dan tidak ada siapapun lagi.

Harus dengan cara apa agar ia bisa merasakan kehangatan orang tuanya. Apa ia harus sakit parah dulu agar kepedulian dari mereka bisa Casilda dapatkan.

Wajah pucat itu berubah sangat murung. Dia terluka tetapi terlihat tidak ada kecemasan sama sekali dari orang tuanya. Tidak seperti nasib orang lain yang ia lihat betapa perhatiannya kepada sang anak.

"Mu-mungkin sebentar lagi akan ke sini, bisa saja mereka terjebak macet," ucap Ilyana ragu.

Casilda hanya mengangguk, anggukan yang terasa sangat mengecewakan, harusnya ia tak terlalu berharap banyak, sampai kapan pun perhatian lebih dari mereka untuk Kalila tidak akan pernah Casilda dapatkan bahkan sampai nyawa di ujung tanduk sekalipun tak akan ada kepedulian.

"Kamu kenapa sampai kecelakaan begini? Apa perkataan bunda dan papa pagi tadi mengusikmu sampai tidak fokus menyetir?" Ilyana menatap iba, tentu saja ia tau penyebab yang terjadi pada Casilda.

"Ini sudah takdir Kak," jawabnya pelan, lalu menyunggingkan senyum seperti biasa.

Melihat senyum mengembang di bibir Casilda hati Ilyana terasa perih, kali ini ia merasa tidak becus menjaga adiknya, berbagai cara telah dilakukan agar bisa meluluhkan hati kedua orang tuanya supaya bisa memperlakukan Casilda layaknya Kalila, tapi sangat sulit sekali melunakkan hati sekeras batu itu.

"Kakak ngerti pasti perkataan mereka berhasil menyakitimu."

Tangan Casilda di genggam Ilyana dengan erat, tak kuasa melihatnya, wajahnya berpaling menoleh ke sisi lain, mata Casilda mulai berembun. Benar, ia sakit hati mendengarnya. Beberapa kali Casilda memejamkan mata hanya sekedar mengusir air yang menghinggapi pelupuk mata.

Ia tak ingin Ilyana ikut menanggung kesedihannya.

"Tidak Kak, aku sudah sering mendengarnya jadi udah terbiasa."

"Sesering apapun kamu mendengarnya jika kata-kata itu selalu mengungkit kekuranganmu pasti juga akan tetap terasa sakitnya," cecar Ilyana yang berhasil membungkam mulutnya.

Sudah tak ada kalimat lagi untuk menyahuti perkataan Kak Ilyana, ia akui semua itu memang benar, Casilda kemudian merubah posisi dari berbaring menjadi duduk.

"Dengar Casilda!" Ilyana memegang ke dua pundaknya, "kakak tidak pernah menganggapmu lemah, kamu itu perempuan kuat, buktinya dihadapan banyak orang kamu masih bisa bersikap ceria menyembunyikan semua kepedihan, itulah kuat yang sebenarnya, tegar menghadapi masalah." Ia berharap perkataan itu mampu memotivasi dan menyemangati Casilda.

Seketika itu juga ia langsung memeluk Kak Ilyana, hatinya tersentil tak seharusnya mendengarkan hinaan itu dan memasukkan ke dalam hati.

"Terimakasih, Kakak selalu ada di sampingku di saat aku butuh sandaran."Di dalam pelukan Ilyana, ia menemukan ketenangan, sosoknya yang lemah lembut membuat Casilda bersyukur karena masih ada yang menyayangiku setulus hati.

CasildaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang