3. Bunuh Diri

24 13 29
                                    

Casilda berjalan dengan langkah yang dipaksakan agak cepat, sesekali rasa sakit menjengit di kaki, senja sudah mulai menampakkan diri, awan-awan mulai menggelap, cahaya mentari perlahan memudar.

Perasaannya sedari tadi tidak enak, rasa gelisah, kecemasan, kekhawatiran berkelana dalam benak. Irama jantung berdetak semakin cepat kala sudah sampai di depan pagar rumah dengan nuansa putih menghiasi setiap bangunan megah di depannya.

"Pak, bukain pagarnya!" Teriak Casilda.

Seorang Satpam membukakan pagar, tanpa menunggu lebih lama, Casilda langsung melangkah masuk menelusuri halaman luas dengan rumput hijau, pepohonan rindang dan air pancur di tengah-tengah semakin menambah kesan mewah yang terpancar, terlihat mobil Hanif, Monika, Ilyana dan Kalila sudah terparkir rapi di garasi, sepertinya mereka semua sudah pulang.

Casilda meraih knop pintu dan memutar dengan gugup, syukurlah pintu itu tak terkunci, seharian pergi dan baru hampir malam pulang, siap-siap saja ia akan kena marah lagi.

"Dari mana saja kamu, bukannya langsung pulang malah berkeliaran di luar sana!" Bentakkan nyaring dari Hanif menyeruak di indra pendengaran, memecah keheningan sesaat.

Mata Casilda memejam, semua orang yang tadi duduk di ruang tamu langsung berdiri menatap dengan sengit, lebih terkejutnya lagi tatapan Ilyana juga sama seperti mereka, ada apa ini? Apa kesalahannya segitu parah sampai Ilyana juga marah?

"A-aku tadi habis dari Taman," jawab Casilda pelan, kedua jari saling mengait pertanda saat ini ia tengah gentar.

"Alasan!" Suara tak kalah nyaring dari bundanya menyahut.

Perih, luka di hati belum sembuh total dan sekarang torehan luka baru kembali dihadirkan, semakin menambah derita nestapa yang kerapkali membuatnya berada di titik terendah.

Bisakah mereka jangan menggunakan nada tinggi untuk bicara, Casilda tidak suka! Cukup dengan rendahkan suara untuk marah agar tidak menyakiti perasaannya.

Kalila tiba-tiba melempar sebuah tas tepat mengenai tubuh Casilda, jika saja kaki itu tidak kuat menyangga, mungkin saja ia akan terjatuh.

"Pergi kamu dari sini! Saya sudah tidak mau lagi menampung anak seperti kamu yang kerjaannya hanya menyusahkan saja." Hanif kembali berbicara.

Tes!

Setetes air mata jatuh, kenyataan pahit apalagi yang harus dihadapi, jeritan hati meronta-ronta di dalam sana, ia baru saja kecelakaan, kepalanya terluka, kakinya juga pincang, belum lagi hati yang sudah remuk redam dari dulu, apa itu belum cukup!

Kesalahan apa yang harus ditebus agar bisa mendapatkan perhatian dari mereka, Casilda hanya mau itu, tidak mau yang lain tapi hari ini dengan tega mereka malah mengusirnya pergi.

"Ilyana, usir dia!" perintah Monika tegas. Ilyana berjalan maju mendekati casilda yang berdiri di ambang pintu.

Ia menggeleng, matanya menyiratkan permohonan, Ilyana tidak mungkin melakukan itu, kakak yang selama ini ada di saat terpuruk, satu satunya orang yang peduli di saat semua orang mengabaikan, karenanyalah Casilda masih bisa bertahan dengan perlakuan yang tidak mengenakkan hati.

"Pergi kamu dari sini!" Ilyana mendorong sampai ke teras rumah, Casilda terjatuh dan terduduk di lantai dingin, membisu di tempat, mencoba memahami apa yang barusan terjadi.

"Kak Ilyana, Kakak lagi bercanda kan?" Air mata sudah semakin deras merembes, ini tidak mungkin, Ilyana tidak mungkin tega mengusirnya.

Ilyana tersenyum sinis, "Inilah kenyataannya Casilda, saya sudah capek berpura-pura di hadapan kamu.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 25, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CasildaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang