(1/2)

396 43 15
                                    

Suasana terik tidak meruntuhkan kegiatan yang ada di lapangan. Bisa dilihat itu malah membuat mereka semakin dan semakin bersemangat melakukan aktivitas. Tidak lain dengan seorang Lee Jangjun yang sekarang tengah menggiring bola menuju gawang. Kakinya dengan lincah menendang ke arah gawang sebelum kepalanya berdenging.

Meskipun bola itu lolos ke dalam gawang tapi Jangjun tidak lolos dari rasa sakitnya. Ia memegang dahinya dan memijit-mijitnya sedikit menghilangkan rasa sakit yang tahu-tahu dating. Teman satu timnya, Youngtaek, langsung menghampirinya dan membantunya berjalan, tahu kalau Jangjun masih sedikit pusing.

Sampai di bench, Jangjun langsung merebahkan badannya dan menutup matanya dengan tangan. Sudah tidak peduli dengan permainan yang semula ia jalani. Youngtaek cuma menatapnya iba seraya menawarkan minuman dingin untuk sekedar menyegarkan Jangjun.

"Hal yang sama lagi?"

"Jelas. Akhir-akhir ini semakin sering rasanya. Seperti pertanda sesuatu atau mungkin dia sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya sakit kepala"

"Darimana kau tahu? Memang kau cenayang" Jangjun menatap Youngtaek yang sedang meledeknya lalu mengeluarkan smirk andalannya.

"I don't think I need that kalau aku tahu rasa sakit ini adalah cara berkomunikasi ku dengan soulmateku" Ujarnya percaya diri.

-------------------------

Soulmate.

Sebuah tradisi turun temurun atau mungkin cara dipertemukannya orang turun menurun dengan belahan jiwanya. Rasa sakit yang dirasakan pada kita itu adalah pertanda bahwa soulmate kita diluar sana. Meskipun tidak akan merasakan sakit yang sangat berat layaknya apa yang dirasakan pihak yang tersakiti, tapi itu tetap cukup membuat kita aware dengan rasa sakit itu.

Jangjun contohnya. Dari umur 17 tahun, ia sudah mulai merasakan rasa nyeri di kepala itu. Hal yang ia rasakan pertama kali ia cukup umur adalah rasa sakit yang sedikit tidak mengenakan. Awalnya ia sedikit marah, apa yang dilakukan pasangannya itu. Bukan tanpa alasan Jangjun kesal, karena hampir setiap hari rasa sakit ia rasakan.

Seiring berjalannya waktu, perasaan kesal itu berubah menjadi perasaan khawatir. Apa pasangannya itu baik-baik saja? Apakah ia sakit berat? Apakah tubuhnya lemah makanya ia sering begini? Hal-hal itu terus menerus dipikirkan oleh Jangjun. Makanya dengan tekad, ia akhirnya melanjutkan SMAnya di pusat kota. Biar gampang menemukan dia, katanya pada orang tuanya.

Orang tua Jangjun pun jelas setuju. Mereka juga membiayai apartemen Jangjun yang lengkap dengan apa saja yang diperlukan Jangjun juga pasangannya nanti. Biar kamu gausah jauh-jauhan dengannya mendingan kalian tinggal bareng saja, ujaran itu terucap dari mulut Ibunya membuat muka Jangjun panas seketika membayangkan ia akan tinggal Bersama dengan pasangannya kelak.

Tapi memang tekad itu tidak cukup untuk menemukan seseorang. Bahkan sampai tahun ketiga seperti ini,, Jangjun belum pernah mendapat pertanda siapa soulmatenya itu? Ia jujur iri dengan Youngtaek karena sudah dipertemukan dengan soulmatenya dari ia legal, Bae Seungmin. Jangjun ingin juga mengalami percintaan di masa SMA tahu!

Geretan pintu terbuka membuyarkan lamunan Jangjun. Ia lalu melirik pintu kelasnya yang ternyata dibuka oleh Seungmin (soulmate Youngtaek, sudah taken jadi jangan coba coba) diikuti oleh sosok manis yang Jangjun tidak tahu siapa. Seungmin terlihat mengajak laki-laki berparas manis itu masuk dan duduk di sebelahnya.

Bisa dibilang, Jangjun tertarik dengan sosok baru itu. Kulitnya yang putih bak susu. Bibir merah dan ranum. Rambut legam kehitaman yang menutupi jidatnya. Kalau boleh jujur, Jangjun bukan cuma tertarik tapi bisa dibilang ia love at first sight kepada sosok baru itu. Pandangannya buyar ketika Youngtaek menghalangi pandangannya kepada sosok manis tersebut.

As the Time goes by || Jangyoon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang