11. Dinner

43.3K 4.3K 58
                                    

Aku baru saja akan keluar dari kamar Starla, mengantar makanan untuknya. Awalnya aku yang akan menyuapinya, namun Pak Rafa tiba-tiba datang dan mengambil makanan yang ada di tanganku. Tanpa berkata apapun membawa Starla ke kamarnya. Aku hanya diam melihat tingkah Pak Rafa yang masih menunjukkan kemarahannya.

Saat kaki kananku menyentuh anak tangga teratas, aku ingat sirup yang harus Starla minum setelah makan. Aku meletakkannya di kamat Starla. Aku bergegas kembali masuk kamarnya, mencari tas yang tadi pagi aku bawa. Sebuah kantong plastik berwarna putih sudah aku pegang, tangan kananku akan mengetuk pintu kamar Pak Rafa. Namun terhenti, aku ragu. Mengingat ekspresi Pak Rafa saat mengambil Starla.

Tetapi sirup ini lebih penting dari kegelisahanku, biar saja Pak Rafa mengabaikanku. Asalkan sirup ini sudah sampai ke dalam. Aku memberanikan diri mengetuk pintu, dua kali ketukan, tidak ada sahutan. Hanya terdengar deheman dari dalam, aku anggap persetujuan untukku masuk ke dalam kamar.

"Saya mau antar ini. Pak," ucapku sambil membuka pintu.

Pak Rafa sedang duduk di karpet sebelah ranjang tidur. Dia bahkan tidak menoleh sama sekali. Aku menghembuskan nafas kasar, lalu menghadapnya yang masih diam. "Ini sirup untuk Starla. Dokter bilang dia masih harus meminumnya, di sini sudah tertulis takaran minum. Saya permisi, Pak," pamitku saat hanya terdengar celotehan Starla.

"Mamamama," ucapnya sambil berjalan ke arahku. Aku berjongkok agar sejajar dengannya. Mengusap rambutnya yang halus itu.

"Sehat terus ya, princess." Aku mengecup pipinya sekilas, lalu berdiri meninggalkannya. Setelah pintu tertutup, terdengar suara tangisan. Mungkin Starla tersandung. Dia sudah biasa seperti itu. Aku tetap turun, mencari sapu dan teman-temannya. Halaman depan belum aku bersihkan, meski hanya dedauan dari pohon di luar gerbang yang jatuh, tetap saja harus aku bersihkan.

"Hai!" sebuah suara mengagetkanku.

Aku menoleh ke samping. Om Dewa sudah tersenyum dengan menaiki sepedanya. Sore hari memang waktu yang menyenangkan untuk bersepeda.

"Om lagi olahraga?" tanyaku aneh saat melihatnya. Alisku bertaut melihat penampilannya yang unik. Kemeja biru dengan celana bahan sangat tidak sesuai dipakai untuk bersepeda.

"Bisa dibilang begitu. Saya baru pulang kantor, tapi pengen sepedaan lewat sini," jawabnya dengan senyum smirknya.

"Nggak capek, Om. Kalau saya sih mendingan tidur. Habis kerja seharian, kan?" Om Dewa hanya mengedikkan bahu.

"Ini masih terlalu siang. Kamu kapan bisa keluar? saya pengen ajak kamu keliling kota," tanyanya sambil mencondongkan badan. Suaranya sedikit dipelankan.

"Saya, Om? kayaknya nggak bisa deh. Saya punya bayi yang mesti saya jaga terus," jawabku sambil memasang senyum.

Aku tertarik dengan ajakannya, tapi tidak mungkin mengiyakan. Tanggung jawabku di sini harus aku laksanakan. Apalagi sekarang kondisi Pak Rafa masih mendiamkanku seperti itu. Bisa langsung dipecat aku kalau berani-beraninya minta ijin.

Hembusan nafas kasar keluar dari Om Dewa. Dia seperti sedang berpikir, "wisuda kamu tanggal berapa?" tanyanya lagi.

"Pertengahan bulan depan, Om. Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Saya mau datang, ada hadiah buat kamu," jawabnya sambil tersenyum. Aku masih memegangi sapu panjang yang tadi aku pakai. Bahkan sampah dedaunan ini masih sebagian saja yang sudah tersapu.

"Saya nggak ada cukup duit buat traktir Om." Wisuda adalah ladang bagi adik kelas dan teman-teman dekat untuk meminta traktiran. Sayangnya aku sedang tidak punya uang sekarang.

"Saya yang traktir kamu, bagaiamana?" tanyanya sambil mengangkat sebelah alisnya. Aku tersenyum mendengar jawabannya. Om Dewa memang terbaik.

"Hahaha. Kalau itu saya nggak nolak, Om. Saya suka makan gratis," jawabku dengan diiringi tawa. Siapa yang bisa menolak traktiran dari pria tampan model Om Dewa. Mubadzir banget kali.

MAMA MUDA(COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang