AKU berhenti mengunyah di suapan ketigaku, ini sudah kesekian kalinya kakak-ku bolak-balik kamar untuk packing baju. Raut wajahnya membuatku kesal dan gugup, keluar kamar lega, sedetik kemudian masuk lagi dengan raut wajah jengkel.
Hal itu berulang-kali terjadi bahkan sebelum aku masuk ke kamar mandi, dan sekarang batas toleransi untuk kesabaranku sudah berada di puncaknya.
"Lo bisa gak sih, packing baju dengan tenang," kataku ketus.
Orang yang bersangkutan berhenti membuat kegaduhan dan hanya mendongak menatapku dari note biru kecil yang dipegangnya, lalu memincingkan mata seolah-olah aku benda asing yang dapat berbicara di ruangan ini.
"Sejak kapan lo ada di meja makan?" tanya-nya
"Sejak jam 5, duh"
"Lo liat kacamata gue gak?"
"Diatas kepala lo"
Lalu dia meraba ubun-ubunnya dan menemukan kacamata minus berframe hitam yang sejak awal nangkring disana, dan memakainya kembali, lalu dengan tiada hentinya, dia bolak-balik kamar lagi, namun kali ini dia tidak kesusahan mencari barang. Yah, setidaknya aku dapat mengunyah sarapanku dengan tenang.
"Chan, Mas mau ke Austria, lo gimana nanti dirumah?" kata Toma sambil menyeret kursi meja makan dan duduk di depanku. Lalu dia mengambil sendok dan mengambil nasi goreng yang ada di piringku.
Aku berhenti makan. Mampus. Aku lupa Mama dan Papa ke luarkota untuk menjenguk nenek dan sekarang tinggal disana untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Sedangkan aku sedang Mid-semester dan ada ujian satu minggu full. Ugh, aku benci sendirian di rumah.
"Gatau, apa gue nginep di tempat Dhiya aja?" tanyaku desperate. Well, nginep di rumah Dhiya emang enak, tapi aku keberatan untuk menginap disana karena sedang Mid-semester, dan sahabatku satu itu bisa mengajakku berbicara semalam suntuk tanpa membuatku merasa bosan, dan itu ancaman untuk nilai-nilaiku.
Sleepover dirumah Dhiya mungkin menjadi opsi terakhirku saat ini.
Toma hanya mendecak sebal, dia tahu isi pikiranku. Sedangkan aku hanya manyun. Ck, disaat seperti inilah aku heran kenapa aku tidak punya banyak teman dibandingkan Toma.
Tidak, Toma yang tidak waras, mana ada orang yang masih berteman dengan satu kelas Angkatan sekolah dasar?
"Itu gue pikir nanti aja deh," ucapku, "Mas, sekarang anterin gue ke sekolah ya, motor kuning lagi diservis," Toma lalu refleks melihat jam tangannya, dan mengambil kunci motor, sedangkan aku menaruh piring di washtafel dan mengambil tas hitam dan headphone-ku yang berwarna soft orange di sofa. Lalu kita berangkat ke sekolah tepat jam enam pagi.
***
Sesampainya di kelas, aku hanya melihat satu orang sedang tidur dipojokan. What? Ngapain sepagi itu ke sekolah hanya untuk tidur. Aku hanya memutar bola mataku dan berjalan ke mejaku.
Oh-oh, kebetulan sekali orang yang sedang tidur itu orang yang paling kubenci saat ini. Aku mengeratkan bibirku, kenapa disaat aku ingin menghindari dia dengan cara berangkat pagi agar tidak kesiangan dan tidak berpapasan dengannya lagi, aku malah dihadapkan dengan situasi keparat macam ini. Ugh, ugh, ugh.
Aku menatapnya kesal dan memikirkan hal-hal apa yang bisa kulakukan kepadanya selagi dia masih terpejam. Yah, walaupun tidak ada yang bisa kulakukan walaupun pikiran terliarku berimajinasi untuk memukulnya dengan penggaris kayu papan tulis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Noticeable
Roman pour AdolescentsDi sekolah, si cantik yang selalu ranking dua, sebel sama cowok slengean yang sukanya tidur tapi terus-terusan dapet ranking satu. Sebagai pelariannya, dia membaca novel karya penulis muda dengan nama pena "Nath-Aiver"