"Mas Adri mau teh atau kopi?" setengah berteriak Rebecca bertanya pada Adrian yang duduk di sofa.
"Teh dek," sahut Adrian singkat.
"Oke," jawab Rebecca tak kalah singkat.
Tidak ada lagi percakapan diantara mereka. Rebecca sibuk dengan cangkir dan air panas sedangkan Adrian lebih tertarik dengan tumpukan majalah kuliner di meja kopi yang berada di hadapannya.
Rebecca tak berniat membuka percakapan, karena jujur saja ia lebih nyaman seperti ini. Kehadiran Adrian beberapa hari ini begitu mengganggunya, menimbulkan badai di hati kecilnya. Sekuat apapun hatinya, ia tak akan dapat bertahan lama menanggung sakit hatinya.
Dalam diam Rebecca menuangkan air panas ke dalam cangkir keramik yang sudah diisinya dengan kantung teh celup berlabel Paul Arabia kesukaannya. Sesekali Rebecca melirik Adrian yang duduk membelakanginya.
Menghela napas pelan, Rebecca mengangkat cangkir tersebut dan melangkah ke tempat Adrian. Rebecca meletakkan satu cangkir di hadapan Adrian lalu tersenyum saat Adrian mengucapkan terima kasih.
Setelah menyesap tehnya, Adrian memerhatikan Rebecca yang duduk di sampingnya. Saat ini mereka duduk bersebelahan di atas sofa nyaman yang Rebecca fungsikan sebagai ruang tengah di flat kecilnya. Sepulang dari Hamdan bin Mohammed Smart University Adrian mampir ke flat Rebecca dan berakhir dengan secangkir teh hangat. "Ga nyangka ya dek, foto mas terjual dengan harga yang sangat tinggi," Adrian mencoba membuka suara.
"Ya, sangat gila kurasa, dan juga berlebihan," sahut Rebecca geli. Sedikit bergidik saat ia membayangkan fotonya sedang dipandangi oleh lelaki asing, dan lelaki itu adalah Hamdan. "dan menakutkan," sambung Rebecca yang langsung disambut gelak tawa oleh Adrian.
"Tapi kayaknya sepadan deh, menurut mas fotonya bagus banget kok, kamunya cantik. Mungkin aja si Pangeran kesengsem sama kamu makanya dia rela keluar duit banyak," canda Adrian.
"Udah ah, mas Adri ngawur," hardik Rebecca.
"Lihat fotonya aja kesengsem, gimana kalau dia ketemu kamu secara langsung dek? Bisa-bisa kamu langsung dinikahin tuh," Adrian tertawa keras tanpa memedulikan ekspresi wajah Rebecca yang berubah.
"Mas Adrian."
Sebenarnya Adrian masih sangat bernapsu untuk tertawa, tapi saat mendengar Rebecca memanggil namanya dengan nada dingin dan serius, seketika itu juga Adrian terdiam membeku.
"Iya dek?" jawab Adrian hati-hati. Ia merubah duduknya agar menghadap Rebecca.
Terlihat Rebecca menarik napas dengan susah payah. Ia mengeratkan pegangan pada cangkir tehnya. Melihat Adrian yang menatapnya serius dan penuh tanya tiba-tiba membuat lidah Rebecca kelu dan susah bicara. Seperti ada batu yang menyumpal tenggorokannya.
"Becca... ada apa?" Adrian mendekat saat ia menyadari perubahan Rebecca.
"M—mas, B—becca ingin bicara ten—tang kita," jelas Rebecca dengan suara yang hampir tidak dapat didengar oleh Adrian kalau saja Adrian tidak memerhatikan gerakan bibir Rebecca.
"Masalah itu, mas ngerti kok dek. Nanti mas yang bilang ke mama kalau kamu nyelesaiin kontrak kerja disini dulu. Ditunda dua tahun lagi ga masalah kok," kata Adrian.
"Bukan mas, bukan itu maksud Becca." Rebecca menggeleng cepat.
"Lalu apa?" Adrian mengernyit bingung.
"Becca minta tolong sama mas Adri buat bilang ke mama kalau kita batalin saja perjodohan ini," kata Rebecca lirih.
"Kenapa dek?" Adrian terlihat shock.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lady Al Rasheed
RomanceSheikh Hamdan Al Rasheed tidak menyangka jika pertemuan tak terduganya dengan seorang gadis berdarah campuran Indonesia-Belanda yang bernama Rebecca Natawijaya Vanderzee ternyata mampu menjungkir balikkan dunianya yang semula tenang dan damai menjad...