II. A Man

12 3 0
                                    

Kunaiki tangga menuju lantai satu di sebelah kanan meja resepsionis. Aku pun segera disapa oleh pemandangan pameran seni yang terpajang di lantai tersebut serta beberapa pengunjung museum. Lantas, mataku kembali berkilau-kilau melihat betapa indahnya interior museum ini.

Ada dua pasang jendela di depan tangga, kemudian dilanjutkan oleh delapan buah lukisan berderet di dindingnya. Aku tidak bisa melihat dua lukisan pertama karena sedang diamati oleh para pria yang tak kukenal. Pria pertama tampak sangat fokus menganalisis lukisan wanita pirang bergaun merah marun tersebut. Dirinya sibuk bergumam sambil mengelus-elus dagunya, aku tidak berani mengusiknya. Berbeda sekali dengan pria kedua yang memandangi lukisan di hadapannya dengan tenang.

"Hmm?" Tiba-tiba pria kedua itu menoleh ke arahku, membuatku tersentak kaget

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hmm?" Tiba-tiba pria kedua itu menoleh ke arahku, membuatku tersentak kaget. Ekspresi pria itu seketika berubah menjadi merasa bersalah. "Ahh, maafkan aku, nona kecil. Apa kau ingin melihat lukisan ini?" tanyanya sambil mengambil langkah mundur seakan mempersilahkanku untuk melihat lukisan tersebut.

Aku segera menggeleng panik. "Ti-tidak apa-apa, tuan, aku hanya kaget."

"Benarkah? Maaf ya, aku membuatmu kaget," balas si pria sambil membungkuk sedikit padaku.

"Um..." Aku jadi tidak enak. Padahal tadi tuan ini sedang fokus memandangi lukisannya. Mencoba mengalihkan pembicaraan, aku pun menunjuk lukisan yang tadi dipandangi si pria. "Anu, lukisan apa ini?" tanyaku, berpura-pura penasaran.

Sepertinya caraku berhasil. Pria itu lantas menolehkan kepalanya, mengikuti arah yang kutunjuk. Ia pun terdiam sejenak ketika memandangi lukisan itu kembali. "Hmm... Aku sendiri sebetulnya tidak begitu mengerti. Lukisan ini cukup membingungkan dan, um, menakutkan."

"Menakutkan...?" Penasaran dengan maksud 'menakutkan', aku pun ikut menoleh memandangi lukisan itu. Tahu-tahu, aku jadi menyesal menanyakannya. Lukisan ini memuat sebuah potret di mana seorang laki-laki digantung terbalik. Kakinya terikat oleh tali dan ekspresinya menyiratkan rasa hampa, membuatku merasa tidak nyaman.

Aku pun mundur dan bersembunyi ke belakang punggung si pria. Pria itu sepertinya sadar kalau aku takut. Ia hanya tertawa ringan sambil mengelus kepalaku. "Guertena memang sesuatu sekali, ya? Tidak apa-apa, jangan dilihat kalau ini membuatmu takut."

"Ng..." Aku mengangguk pelan.

"Di mana orangtuamu, nona?" tanya si pria sambil menggiringku ke lukisan berikutnya.

"Mereka sedang berbicara dengan tuan resepsionis," jawabku sambil mengamati lukisan ketiga. Lukisan itu hanya memuat warna hitam polos dengan judul... Um, Towers... Atau apalah itu, aku tidak mengerti. Bahasanya terlalu rumit. Si pria pun melanjutkan langkahnya.

"Wah, kamu tidak apa-apa ke sini sendirian? Ada beberapa pameran yang kurasa akan membuatmu takut soalnya," ucap si pria. Kali ini ia berhenti di lukisan keempat yang menggambarkan sebagian wajah dari... badut, kurasa? Judul lukisan ini adalah "Worry". Sedikit pun, aku tidak mengerti kenapa lukisan badut dinamakan sebagai "Worry".

"Tidak apa-apa kok, aku senang," kujawab si pria sambil melihat-lihat ke sekitarku dengan antusias.

Pria itu pun tersenyum lembut. "Baiklah, kurasa aku tidak perlu cemas denganmu. Silahkan kalau kamu ingin pergi melihat-lihat."

Kualihkan pandanganku ke arah pria tersebut. "Dan... Tuan?"

"Jangan pedulikan aku. Kamu cukup bersenang-senang saja, oke?" jawabnya sambil mengacak-acak rambutku.

"U-uuu..."

"Dan jangan memanggilku 'tuan'."

"Kenapa?" tanyaku bingung. "Ibu bilang aku harus menghormati orang lain."

"Pfft... Nona kecil yang polos," si pria justru tertawa gemas mendengar pertanyaanku. Aku semakin kebingungan. "Sikapmu sudah bagus kok, hanya saja aku lebih ingin kamu bersikap santai padaku."

Aku pun memegangi kepalaku sambil terus menatapnya bingung.

"Sudah, sudah, mendingan kamu lihat lukisan saja gih," si pria lekas mengakhiri pembicaraan di antara kami dengan mendorongku menjauh. Aku masih tidak mengerti. Bersikap sopan itu bukannya bagus? Tetapi begitu aku berbalik, pria itu sudah mengamati lukisan di depannya dengan ekspresi serius lagi. Aku pun segera mengurungkan diri untuk berbicara dengannya.

Pria itu tidak terlihat seperti orang jahat. Justru, aku merasa nyaman berbicara dengannya. Senyuman kecil pun terbentuk di bibirku. Seorang pria muda berambut ungu yang mata sebelahnya tertutupi oleh poninya, memakai jaket biru tua panjang, dan memiliki senyuman yang lembut. Saat kembali nanti, aku harus menceritakannya kepada Ibu.

*** TBC ***

Oh iya, Ib di game aslinya berumur 9 tahun. Tapi di sini kubikin jadi 15 tahun :)

IBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang