Part 5: The Seven Girl's

23 3 2
                                    

Jember, 28 Juni 2017

Aku menscroll-up layar laptop di depanku. Membaca setiap kata demi kata yang terangkai menjadi paragraf dalam cerita. Ku atur beberapa tulisan yang salah dan ku ganti dengan yang benar. Terdengar suara pintu kamar terbuka. Menampilkan sosok Alda yang kelelahan.

Alda adalah sahabatku sejak pertama kali Aku masuk ke kampus Islam ini. Dia adalah teman pertamaku dan dia yang selalu mengulurkan tanggannya saat aku terjatuh. Saat aku merasa tersakiti oleh kabar tentang Kak Rama kala itu.

Alda memiliki postur tubuh kurus dan tinggi sekitar 165 cm. Kulitnya kuning langsat dengan mata hitam legam. Alis yang rapi dan bibirnya yang penuh namun terlihat seksi.

Tanpa berkata satu kata apapun Alda langsung menghempaskan dirinya ke tempat tidur. Menarik nafas berat lalu melepaskan hijab yang dia pakai. Menunjukkan rambut panjangnya yang terkuncir satu seperti ekor kuda. Aku yang merasakan ada sesuatu yang terjadi pada Alda segera menutup laptopku.

“Kamu kenapa Al?”, tanyaku setelah memastikan posisiku sudah berada di samping Alda.

“Sebel aku tuh..” tuturnya dengan nada kecewa seraya bangkit dari posisinya dan berdiri di depanku dengan tatapan penuh kesal.

“Sebel kenapa?”

“Bayangin aja dah Sar. Aku nungguin lama-lama eh malah di tinggal sama Nisa. Kan sebel jadinya”

“Ya.. Mungkin Nisa lagi ada keperluan. Udah nggak usah su’udzon dulu”

“Ya kalau emang ada kepentingan seharusnya Dia bisa kirim pesan kek gitu. Nggak ngebiarin Aku nunggu lama kayak gitu”

“Yaudah sabar-sabar. Nanti kalau Nisa sudah pulang Kamu tegur Dia agar nggak bersikap seperti ini lagi”

Alda mengangguk pasrah. Merebahkan tubuhnya kembali sembari mengambil smartphone-nya. Aku sudah hafal dengan sikap Alda saat kekesalan menyelimuti dirinya. Ia akan segera tidur untuk melupakan amarahnya dan memasang alarm di smartphone-nya. Namun, yang Aku salut darinya adalah Dia mampu bersikap biasa-biasa saja saat bangun dari tidurnya. Serasa tidak pernah ada masalah dan selalu tampak baik-baik saja. Namun tidak tahu dengan hatinya.

Di kota rantau ini, Aku tinggal bersama ke-6 sahabatku. Kami berasal dari daerah yang berbeda-beda dengan jurusan kuliah yang tidak semuanya sama. Kami memutuskan untuk menyewa sebuah rumah di salah satu perumahan hijau dekat kampus semenjak kami memasuki semester tiga.

Orang bilang, saat di perantaun yang terpenting adalah kawan. Kita bisa hidup nyaman dan damai jauh dari orang tua saat kita menemukan kawan yang bisa kita anggap sebagai saudara. Dan aku menemukannya bersama mereka. Ketujuh sahabatku, Alda si pemaaf, Zuliya si bijak, Nisa si tukang ngeselin tapi baik, Sela si jutek tapi cantik, Biba si aktivis yang super bawel dan Keysha si pendiam tapi kalau marah galaknya minta ampun.

Bersama mereka Aku bisa merasakan seakan berada ditengah-tengah keluarga sendiri. Walaupun tidak jarang kita bertengkar karena hal kecil bahkan sepele. Namun dari pertengkaran-pertengkaran itu menjadikan hubungan kami semakin erat. Saling melindungi dan menyayangi.

Di rumah yang kami sewa ini ada 3 kamar tidur, ruang tamu, dapur, satu kamar mandi dan garasi. Aku, Alda dan Zuliya berada di kamar tengah. Karena dari ketiga kamar yang ada di rumah ini hanya kamar tengah yang lebih besar dari yang lainnya. Selain itu kami juga teman satu jurusan di jurusan sejarah. Di kamar depan ada Nisa dan Sela. Mereka berdua satu jurusan dengan Fiqo di jurusan Sastra Arab dan satu fakultas denganku. Sedangkan di kamar belakang ada Biba dan Keysha yang sama-sama berbeda jurusan dengan kami bahkan berbeda fakultas.

Kami bisa mengenal satu sama lain walaupun berbeda jurusan bahkan berbeda fakultas karena kami tergabung dalam organisasi pergerakan yang sama. Dari perbedaan itu Aku jadi bisa belajar banyak hal. Aku yang notabane fokus belajar sejarah jadi bisa belajar sastra Arab saat berdiskusi dengan Nisa dan Sela. Aku juga bisa belajar hukum tata negara dari Biba dan Aku bisa memperdalam ilmu ekonomiku saat berdiskusi dengan Keysha.

Kami bisa berdiskusi banyak hal saat berkumpul bersama. Dengan perspektif dan sudut pandang berbeda yang kami kaitkan sesuai dengan jurusan kami. Semisal saat kami berdiskusi diruang tamu saat membahas mengenai ‘Kesetaraan Gendre’.

Nisa dan Sela secara bergantian akan bersemangat menjelaskan arti dari kata feminist yang dalam berbagai kamus sering diartikan sebagai kata benda atau kata sifat yang dikaitkan dengan kata feminism.

“Nah gaes, dalam Merriam webster’s Dictionary and Thesaurus, feminist merupakan kata sifat dari feminism yang memiliki artian teori tentang kesetaraan politik, ekonomi dan sosial berdasarkan jenis kelamin. Atau bisa diartikan juga sebagai aktivitas yang di organisasi atas nama hak-hak dan kepentingan perempuan.”, jelas Nisa.

“Bener itu kata Nisa. Sedangkan kata feminist sebagai kata benda berarti pula supporter atau pendukung feminism, atau sebagai kata sifat yang berarti berhubungan dengan atau mendukung persamaan hak bagi perempuan. Nah, sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia, hanya di temukan istilah feminism yang berarti gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki.”, tambah Sela menjelaskan.

“Oke, Aku nambahin ya?”, tutur Zuliyah setelah Sela selesai menjelaskan dan di jawab dengan iya ria oleh kami berenam.

“Nah, kalau di lihat dari sejarah nih ya. Feminisme di Indonesia mulai muncul ke permukaan setelah terbit buku kompilasi surat-surat RA Kartini dengan teman-temannya di Belanda yang bertajuk Door Duisternis Tot Licht.”

“Oh iya aku pernah baca juga, buku itu jadi populerkan ya ketika Armin Pane, pujangga angkatan Balai Pustaka menerjemahkannya dan memberikan judul Habis Gelap Terbitlah Terang yang melegendaris itu, benerkan?”,  jelas Alda.

“Alda benar. Dari buku itu juga yang memberikan banyak inspirasi bagi kaum perempuan di Indonesia untuk memperjuangkan harkat dan martabatnya agar sejajar dengan laki-laki. Sejarah feminisme Indonesia mencatat bahwa tulisan RA Kartini meletakkan dasar bagi perjuangan perempuan Indonesia. Surat-surat Kartini kepada sahabatnya di Belanda Ny. N. Van Kol, memberikan semangat yang luar biasa bagi perempuan Indonesia.”, Aku mencoba menambah penjelasan Alda.

Diskusi kami akan terus mengalir sedemikian rupa. Sesekali kadang kami berbeda pandangan dalam menanggapi beberapa topik yang kami bahas. Namun perbedaan itu bukan menjadikan kami terpecah-belah melainkan saling bertukar pendapat dan pemikiran. Hitung-hitung juga menambah khazanah keilmuan kami.

Menemukan sahabat sejati dalam masa perantauan ibarat menemukan oase di tengah gurun pasir. Kami akan  merasakan ketenangan dan kenyaman walaupun jauh dari orang tua dan sanak saudara. Sebab bersama sahabat sejati Kita bisa merasakan berada di tengah-tengah keluarga sendiri.

---------------
---------------
Assalamualaikum semua pembaca setia :)
Terimakasih yah,  udah membaca kisah ini sampai sejauh ini.
Tetap menjadi pembaca setia dan menjadi sahabat sastra Sarah yah 🤗
Oh iya,  spesial nih karena minggu kemarin nggak jadi upload karena authornya lagi ke puncak gunung tinggi-tinggi sekali 😁
Jadi,  minggu ini langsung up 3 part sekaligus.
Selamat membaca ya teman-teman. Jangan lupa kasih kritik dan saran buat penulis, dan jngan lupa juga buat vote (kasih bintang)
Terimakasih semuanya
Peluk sayang buat pembaca 💙💙💙

AKU LAILAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang