PROLOG

19 6 0
                                    

Hembusan angin sepoi-sepoi sore hari menerpa wajah seorang wanita yang sedang duduk manis di bawah pohon rindang, ia melirik ke arah pusara sang ibu dan tersenyum pilu untuk kesekian kalinya. Kejadian 13 tahun yang lalu masih membekas di dalam dirinya. Ia memejamkan mata, mencoba mengikhlaskan segala yang terjadi. Namun tetap, tak ada hasilnya.

Kenangan buruk yang selalu terngiang, memutar rangkaian memori kelam, meninggalkan luka yang paling dalam, membuatnya sungguh tersiksa. Apa tak ada kebahagiaan lagi untuknya? Ia termangu, meratapi kemalangan yang ada. Hatinya memaksa ia untuk berbicara, namun raganya terlalu lelah untuk mengungkap asa.

Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore, ia beranjak dari kursi lalu mendapati wanita tua yang sedang menyiram tanaman di kebun kecil, namun tetap terlihat rapi dan indah.

Wanita tua itu berbalik, lalu tersenyum ke arah sang cucu. Genta mengamatinya lamat-lamat, ia mengenal senyuman itu.

"Nek, Genta pulang dulu."

Sebelum menjawab, nenek sempat menunduk sedih, kemudian tersenyum lagi, "Langsung pulang ya Ge, jangan kerja terus. Tubuhmu butuh istirahat." Genta tersenyum tipis, lantas memeluk nenek yang masih setia mengkhawatirkan dirinya.

"Nenek juga jaga kesehatan, cuma nenek yang Genta punya."

Setelah sampai di rumah, ia langsung masuk ke dalam kamar dan merebahkan dirinya di atas ranjang. Genta memutar tubuhnya agar menghadap jendela kamar yang menyajikan langit malam. Ini adalah kebiasaannya saat ia berada di rumah. Baginya, melihat langit saat malam hari membuat pikirannya begitu tenang.

"Lihat, langit sedang menangis. Apa yang membuatnya begitu sedih? Apa ia ditinggal oleh orang yang ia sayang? Wah, sepertinya aku benar. Tidak ada bulan disana, pasti langit kesepian sekarang."

Genta beranjak, memilih untuk mandi terlebih dahulu, setelah itu masak untuk makan malam. Karena Genta hidup sendiri, ia perlu melakukan semua hal secara mandiri. Hidup sendiri lebih menyenangkan, dapat melakukan segala sesuatu dengan bebas, pikirnya.

Saat Genta menuruni tangga, ia mendengar bel rumah berbunyi. Ia melangkahkan kaki menuju pintu dan membukanya, bermaksud melihat siapa yang datang. Sekiranya tak ada siapa-siapa, pandangannya tertuju pada kotak coklat dihadapannya. Dengan cepat, ia mengambil kotak coklat itu kedalam rumahnya.

Anak kucing? Siapa yang berani-beraninya meninggalkan hewan tak bersalah ini kedinginan? Genta mengambil anak kucing itu ke pangkuannya. Tak hentinya Genta tersenyum lebar. Sepertinya benar, cara ampuh menghilangkan beban adalah bermain dengan hewan.

"Hei, bagaimana kamu bisa sampai disini? Siapa yang mengantarmu kesini? Apakah kamu bahagia saat bersamanya?." Kata Genta sembari mengelus lembut rambut anak kucing yang sedang mengeong di atas pangkuannya.

Tunggu, ia melihat secarik kertas di dalam kotak itu. Tak berpikir lama, Genta langsung membacanya.

'Namanya Mocha, aku harap kamu selalu bahagia' .

Genta melirik arlojinya, sudah pukul 9 pagi. Ia telat pergi ke kantor karena kemarin malam ia habiskan waktunya untuk melihat Mocha tertidur. Jika suatu hari ia bertemu dengan orang yang memberikannya anak kucing ini, ia akan sangat berterimakasih. Setidaknya dengan kehadiran Mocha, ia bisa meluangkan waktu dari pekerjaan dan mungkin hidupnya akan sedikit menyenangkan.

Ia menunjukkan wajah datarnya sebisa mungkin. Padahal ia tahu, sebentar lagi ia akan dimarahi oleh Lula—asisten sekaligus sahabatnya. Genta melewati para pegawai yang membungkuk, lalu dibalas dengan anggukan kecil, ia merasakan aura tidak enak saat akan memasuki ruangan tempat ia bekerja.

Genta membuka pintu dan mengecek keberadaan Lula, "Lula?" Ia berdoa semoga Lula tidak ada di ruangannya sekarang. Ia menghembuskan napasnya tenang, "Fyuh, selamat."

"Selamat dari apa hah?"

Genta mengenal suara itu, ia pun memutar tubuhnya. Genta tampak diam membeku. Lula yang menyadari perubahan raut Genta, lantas melepas kacamata yang dipakainya.

"Aku kira siapa."

Lula menggeleng lalu memasukkan kacamatanya kedalam saku baju. "Genta, ini untuk terakhir kalinya. Kalau kamu masih terlambat, aku yang akan mengantarmu ke kantor setiap hari!" Tegas Lula, Genta hanya bisa mengangguk pasrah.

"Tidur jam berapa?" Tanya Lula pada Genta.

Kalau sudah begini, Genta tak bisa menghindar. Pasti akan ada omongan rewel yang akan keluar dari mulut Lula "Jam 2 pagi."

"Anak ini. Sudah kubilang Genta, lupakan semua itu. Mulailah lembaran baru, ikhlaskan segalanya."

"Nenek memberitahuku kalau kau ketempatnya kemarin sore. Tidak menangis, tapi melamun. Kau ini." Lanjutnya.

Teringat lagi. Padahal, beberapa jam yang lalu ia sudah melupakan hal itu.

Genta menatap Lula dengan wajah datarnya. Walau begitu, Lula meyakini bahwa Genta memikirkan perkataannya. "Aku gak mau kamu seperti ini terus Ge, buka hatimu. Maafkan masa lalumu. Ibumu juga, beliau pasti tidak mau anak perempuannya seperti ini."

"Oh, pukul 7 tadi aku dapat panggilan telepon dari Kak Hesa, ia menanyakan kabar adik kecilnya yang sangat sulit untuk dihubungi."

"Untuk apa?" Tanya Genta lalu meletakkan tas envelopenya di atas meja kerja.

Lula menghela napas panjang, ia harus lebih bersabar jika Genta sudah mode cuek seperti ini, "Dia merindukanmu, apa kau tidak ada rencana untuk bertemu dengannya?"

Genta menggeleng lalu mengedikkan bahunya acuh.

Setelah Genta duduk di kursi, sebuah kotak bekal diletakkan di hadapannya. "Makanlah, aku tahu kamu belum sarapan."

Genta mengulas senyum. Lalu menerima kotak bekal itu dengan kedua tangannya.

"Bilang apa?"

Genta mengernyit, bingung.

"Bilang terimakasih, Genta."

Lula berkacak pinggang. "Biasakan bilang terimakasih saat kamu menerima sesuatu."

"Dan, jangan lupakan jadwalmu." Lanjut Lula seraya berjalan meninggalkan ruangan Genta.

Ah, ia hampir melupakan itu.

______________________

So.. mungkin cerita ini temanya agak mainstream, yaitu chicklit-romcom. Tapi, aku tambahin bumbu psikologi dan drama keluarga di dalamnya..

Dan ini, cerita pertamaku dengan tema yang seperti ini. Aku harap, kalian enjoy saat membacanya.

Sekali lagi, terimakasih buat temen-temen yang udah kasih kesempatan buat cerita ini. Thank u for your feedbacks, votes and comments.

Happy reading fellas!!

10 Agustus 2020.

Remember SummertimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang