Bab 2 : Mencari Kebahagiaan

5 3 0
                                    

Kita semua berhak untuk bahagia, bukan?
______________________

Genta mengerjapkan mata, cahaya silau itu membangunkan dirinya dari rasa kantuk yang ada. Ia melihat sekeliling, ruangan yang sangat jauh berbeda dari kamarnya. Yang pasti, ia sedang di rumah seseorang.

"Bagaimana tidurmu?"

Wanita itu menoleh, mendapati seorang pria dengan manik mata yang teduh namun tetap memancarkan kehangatan. Tingginya sekitar seratus delapan puluh empat sentimeter, rambut undercut adalah andalannya. Jangan lupakan senyum manis yang selalu terukir indah di bibirnya.

Wajah pria itu tidak sesegar biasanya. Namun karisma dan pesona yang dimiliki pria itu, mampu memikat siapa saja yang melihatnya. Harus Genta akui, senyuman pria itu sangat indah.

"Wajahmu tampak lebih tua dari hari sebelumnya, Le." Kata Genta saat mengenali pria itu.

Lendra duduk di pinggir ranjang. Tangannya menggenggam secangkir teh. Matanya menangkap manik Genta. "Karena umurku yang sudah berkepala tiga, wajar saja jika wajahku ikut bertambah tua. Nih, minumlah." Ujar Lendra setelah membantu Genta mendudukkan diri.

"Apa kepalamu masih sakit?"

"Sedikit." Jawab Genta setelah ia meletakkan kembali teh hangat di atas nakas.

"Jika ada sesuatu yang mengganggumu, kau bisa bercerita kepadaku."

Genta sempat diam sejenak, mungkin ia sedang mengingat tentang kejadian kemarin malam. "Aku tak menyangka, akan bertemu dengannya lagi."

"Dengan wanita yang kemarin di swalayan?"

Genta mengangguk.

"Apa kalian pernah akrab?"

Genta mengangguk lagi. "Dulu, dia sahabatku. Semasa sekolah, aku termasuk anak yang aktif. Digemari banyak orang dan salah satu pelajar yang periang. Farah, ia memberiku banyak sekali kenangan indah. Dia adalah seseorang yang selalu mendukungku, menyayangiku dan membangkitkanku."

"Ya, itu dulu." Lanjut Genta sembari menghela napas berat.

Menyadari keresahan wanita di hadapannya, Lendra mengambil tangan Genta dan menggenggamnya. Genta dapat merasakan kehangatan yang diberikan Lendra kepadanya. "Sudah, tak perlu dipaksakan."

"Jangan menyentuh tanganku."

Lendra terkekeh. "Tapi kau menerimanya, dasar."

"Tak ada yang ingin kau katakan padaku, adik kecil?" Tanya Lendra sembari menyilangkan tangannya di depan dada.

Genta menaikkan sebelah alisnya. "Gak ada tuh. Dan jangan panggil aku adik kecil, paman." Balas Genta pada pria itu.

"Tanganku hampir patah saat menggendongmu. Dan, sama-sama. Aku baru ingat, kau sulit untuk mengucapkan terimakasih." Ujar Lendra.

Wanita itu tertegun, ingin membalas tapi yang ia katakan benar.

"Bukan karena sulit, hanya saja—." Ucapan Genta terpotong.

"Belum terbiasa kan? Kalau begitu biasakan. Setidaknya, pada orang yang kamu rasa dekat dulu. Seperti pada Lula atau aku. Paham?"

Remember SummertimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang