"Pernah nggak, sih, kalian bertanya sama diri sendiri, apa kehebatan terbesar yang pernah kalian lakukan? Atau...mungkin kalian belum pernah melakukannya? Menurut gue, setiap orang sudah melakukan hal-hal hebat di dalam hidupnya, atau bahkan sering di lakukan. Hanya saja, kadang mereka tidak menyadari bahwa hal yang mereka lakukan itu membawa perubahan besar pada dirinya. Salah satu alasan, adalah masih banyak orang yang selalu mengeluh atau tidak puas dengan pencapaian tersebut, karena masih terikat dengan masa lalunya."
Dirga, mahasiswa 23 tahun itu memulai pembukaan videonya dengan panjang lebar melalui siaran langsung YouTube. Dengan jumlah subscriber yang sudah melampaui 1 juta, membuat banyak orang yang menanyakan siapa gadis cantik berada tepat di sebelahnya.
"Oke. Jadi, dia teman SMA gue, Cesy. Dan obrolan yang akan kita bahas ini adalah hal yang dianggap sulit namun, membawa perubahan yang baik." Tutur Dirga dengan kemampuan public speaking yang baik, sebagai seorang mahasiswa ilmu komunikasi. "Cesy, silahkan gue luangin waktu untuk, lo berbagi kisah dengan mereka."
Cesy mengangguk dan mengangkat kedua sudut bibirnya ke arah kamera. Dan segera memulai pembicaraanya tanpa gugup, dan menganggap bahwa dirinya sedang curhat dengan para sahabatnya.
"Pernah kepikiran nggak, kenapa yang memberi luka sangat dalam selalu terbayang? Dan mengapa harus dengan dia yang memberikan kenangan manis terlalu banyak." Cesy melirik sebentar ke arah Dirga sambil tersenyum singkat. "Nggak ngerti, sih, sudah bertahun-tahun berakhir, tapi masih selalu ingat sama hal-hal kecil yang sering kita lakuin. Oh iya, gue pernah berantem sama mantan gue pas anniversarry, dan ternyata cokelat yang harusnya di kasih ke gue malah dia kasih ke temannya." Gadis itu tertawa pelan.
"Sy, lo nyeritain--" Dirga menunda pembicaraanya dan menyatukan kedua alisnya. Sedikit raut khawatir terpampang jelas di wajahnya.
Cesy terkekeh pelan, sambil menepuk pundak Dirga. "Santai, Ga. Gapapa, kok, serius."
"Oke, lanjut. Terus dia tetap ngasih gue bucket bunga yang ternyata sudah agak rusak, mungkin saking keselnya dia. Tapi, setelahnya dia cium pipi gue, dan itu pertama kalinya dia berani untuk ngelakuin hal itu." Gadis itu terus bertutur layaknya sedang bergosip ria dengan sebuah laptop di depannya, tanpa menghiraukan pria di sebelahnya yang sedikit menatap yang sulit diartikan.
Serasa channel youtube sendiri.
"Sy, kayaknya berlebihan, deh, ceritanya." Ucap Dirga berusaha menghentikan obrolan Cesy yang terlalu mengarah ke privasinya.
Namun, Cesy tak mengindahkan perkataan pria di sampingnya, ia hanya mengangguk seolah berkata "it's okay, man."
"Kita selalu putus nyambung yang bikin tiap hari ngebatin, ngelus dada tapi, sekaligus bikin happy lagi. Sampai gue nggak sadar aja sudah saling nyakitin, terutama ke diri sendiri. Dulu sempat mikir kalo gue bakal susah move on dan galau berat," Cesy menunda perkataanya dan menatap dirinya sendiri di layar laptop.
"Tapi, ternyata melepaskan suatu hal yang nggak sehat, menguras tenaga dan pikiran itu tidak seburuk yang di bayangkan. Malahan menjadikan diri kita menjadi sosok yang baru."
Cesy mendekatkan wajahnya melihat kolom komentar, dan mendapatkan salah satu komentar yang menarik perhatiannya.
"Cesy, apa mantannya sekarang masih berhubungan baik sama, lo? Terus sekarang dia di mana?" tutur Cesy membaca ulang komentar tersebut. Ia kembali duduk seperti semula dan tersenyum.
Gadis itu menghembuskan napasnya berkali-kali dan sesekali mengembungkan kedua pipi chubby-nya. Ia menoleh ke arah Dirga yang tengah menatapnya juga.
"Dia." Ucap Cesy tak mengalihkan pandangan dari Dirga. "Dia, mantan yang gue maksud."
Dirga membelalakan kedua matanya, menatap cemas. Dan berulang kali menatap ke arah layar laptop yang sudah di banjiri komentar pertanyaan netizen yang ingin mengetahui lebih lanjut.
"Sy, lo--" lagi-lagi Cesy memotong ucapan Dirga.
"Makasi, ya. Makasi pernah singgah lalu memberi luka yang membuat gue belajar, bahwa segala luka itu harus segera di obati agar tidak kembali lagi." Kali ini Cesy berbicara sambil menatap Dirga tulus. "Sampai pada akhirnya, gue sadar keputusan gue saat itu adalah kehebatan terbesar yang pernah gue lakuin. Gue berani untuk melakukan hal yang sudah paham akan sakit melewatinya. Namun, semua itu bertahap. Yang sakit bisa menjadi sembuh, walaupun luka itu masih menetap."
End