"Kok, tadi diem aja, sih?"
"Harusnya kamu speak up, dong."
"kalau aku ada di posisi kamu, sih, aku langsung tinggalin aja."
Dan kalimat-kalimat lainya yang serupa. Fyuh...
•••
"Gue udah putusin Mark." Ucap Arell singkat, sambil mengambil tempat duduk di sebelah Aca.
Suasana kantin yang hening, karena belum waktunya bel istirahat berbunyi, membuat suara lantangnya sedikit menggema.Aca menoleh, sedikit menatap raut wajah Arell yang sepertinya belum sepenuhnya bisa melepaskan pria itu. Ia menggeleng pelan sambil tertawa mengejek, dan itu sangat jelas terlihat di wajahnya.
"Kenapa nggak dari dulu, sih? Lo terlalu membiarkan semuanya terjadi pada diri lo sendiri, dan itu menyebabkan luka, Rell." Ungkapnya sedikit menyentak. Mungkin wajar saja, selama ini ia selalu berkontroversi dengannya.
Bukan tanpa alasan, Aca sedikit tidak menerima ketika perlakuan Mark kepada Arell sudah melewati batas, bahkan gadis itu pernah sampai pingsan akibat terkena sasaran pelampiasan Mark.
Namun, Arell sangat keras kepala untuk diberitahu. Ia selalu membantah untuk meninggalkan Mark, karena ia sudah terlanjur mencintainya. Dan, Arell pun merasa ini sudah biasa terjadi dalam suatu hubungan. Apalagi dirinya dan Mark sudah berpacaran hampir dua tahun, dan itu bukan waktu yang singkat.
"Lo bisa ngomong kayak gitu, karena lo sedang nggak berada di posisi gue." Pungkas Arell, masig dengan tatapannya yang lurus dan datar, tanpa menoleh Aca.
"Tapi, gue paham perasaan lo, Rell."
"Hanya sekedar paham. Bukan berarti bisa mengendalikan seluruhnya." Namun ucapan Arell tak membuat Aca bungkam.
Aca menitah Arell menghadap padanya. "Dan sekarang apa? Ucapan gue bener, kan, kalau Mark nggak pernah ada buat, lo."
"Ca, iya lo bener. Tapi, gue hanya perlu waktu. Menyadari bahwa dia nggak pernah ada buat gue aja rasanya sulit, apalagi harus mengakhiri semuanya."
Aca bungkam, tak bergeming. Ia menurunkan pandangannya, terlalu berat menatap keegoisan dirinya dibalik mata Arell. Jika di pikir-pikir, memang benar ia selalu maksa Arell untuk segera mengakhiri hubungan dengan Mark.
"Banyak orang yang mengatakan demikian, tapi mereka nggak sadar ketika dihadapkan dengan satu permasalahan, mereka akan melakukan apa yang diucapkannya kemarin. Manusia memang suka lupa, bahwa dirinya pun masih bisa dilanda rasa takut."
Ketakutan itu wajar. Apapun bisa menjadi hal yang menakutkan untuk orang-orang yang berbeda. Itu bukan sebuah kesalahan, melainkan hanya kita membutuhkan waktu untuk siap mengahadapinya.
Hanya karena sebuah rasa takut, seseorang bisa menganggap orang lainya adalah orang yang lemah dan tidak berani untuk bertindak.
Ketakutan terhadap sesuatu atau untuk melakukan suatu tindakan adalah hal yang beragam. Begitupun dengan sudut pandang. Sesuatu yang kita anggap biasa saja, bisa jadi sangat menakutkan bagi sebagian orang.
End