BULAN dan BINTANG

67 8 0
                                    

                    Seorang gadis kecil berambut hitam legam menaruh sebuah origami berbentuk seekor bangau di atas aliran sungai dangkal dekat rumah. Senyum manis terpampang indah di wajahnya, kala sang bangau perlahan menjauh mengikuti arus air. Di dalam origami bangau tersebut, terdapat sebuah harapan yang gadis itu tulis dengan segenap hati. Dia berharap, Tuhan akan mengabulkan harapannya tersebut.

"Tuhan, tolong biarkan Bulan bersama bintang selamanya."

"Bulan sayang, udah selesai buat origaminya?"

"Udah, Ma! Bagus, kan?" Mama tersenyum lalu menepuk kepalaku beberapa kali, "Bagus kok, sayang. Kamu langsung keluar aja, kasihan Papa udah nunggu diluar, tuh." Mama pun memakaikan helm mungil bergambar Power Puff Girls di kepalaku, lalu mendorong punggungku pelan menuju pintu.

"Bulan, ayo! Nanti keburu hujan, lho!"

Aku pun buru-buru memakai sandalku lalu berlari ke arah motor. Setelah memastikan posisiku nyaman, motor mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju suatu tempat. Tempat dimana aku akan melepaskan origami bangau yang baru kubuat.

"Nah, disini aja ya lepasnya."

"Iya, Pa." Dengan semangat yang membara, aku langsung turun dari motor dan berlari ke tepi sungai dangkal. Sedangkan Papa, menunggu di atas motor. Aku segera menaruh bangau itu ke atas aliran air sembari tersenyum lebar.

"Semoga, Tuhan mengabulkan keinginan Bulan yang ingin makan permen." ucapku berharap, sebelum melepas bangau itu dari genggaman jari mungil ini. Origami bangau perlahan menjauh mengikuti derasnya aliran sungai. Aku berdiri dari dudukku, lalu menepuk-nepuk celana yang kotor karena tertempel tanah.

"Sudah?"

"Sudah, Pa. Itu, udah jauh banget." ucapku, sembari menunjuk bangau kertas yang kini mulai menjauh. Tiba-tiba, setetes air jatuh dan membasahi hidungku. Ah, rupanya hujan akan datang sore ini. Aku langsung menaiki motor. Dan sekali lagi, motor kembali melaju cukup kencang. Aku terus menatap aliran sungai yang kini entah kemana perginya bangau itu, tapi aku berharap.

"Semoga, Tuhan benar-benar mengabulkan keinginan Bulan."

"Huh? Ini apa, ya?" Aku melihat sebuah kertas berbentuk bangau bergerak mengalir mengikuti arus sungai, langsung kuambil dan membaca sebuah tulisan yang sudah tampak pudar karena terkena air, tapi aku masih bisa membaca rangkaian kata itu walau tak terlihat jelas, "He? Dari Bulan? Bulan itu ... tetangga sebelah rumah ya, Pa?" Aku segera berdiri dan berlari mendekati Papa.

"Bulan? Oh, iya ... Anaknya Tante Rina itu. Namanya, Bulan Permatasari kalau gak salah. Memang kenapa?" Segera kuberikan kertas lusuh dan basah itu kepadanya. "Bulan mau permen, boleh aku kasih gak, Pa?"

Papa pun tersenyum kecil lalu menepuk kepalaku. Beliau mengangguk dengan jemari tangannya mengepal sementara ibu jarinya mengacung, memberi jempol padaku, "Kenapa nggak?" Senyuman terlukis di wajah kecilku, "Kalau gitu, ayo beli sekarang!" ajakku sembari menarik tangan Papa.

Motor yang kunaiki, melaju dengan kecepatan sedang. Namun, hujan turun saat kami baru saja menempuh setengah perjalanan, "Mau pulang dulu atau langsung beli aja?" tanya Papa di tengah ramainya suara mesin kendaraan.

"Langsung beli aja, Pa! Biar gak balik-balik terus!" jawabku agak berteriak.

Keluar saat hujan merupakan salah satu hal yang aku sukai. Aroma khasnya yang dapat membuat pikiran kita menjadi tenang. Jika aku tak boleh keluar untuk bermain bersama hujan, maka aku akan terdiam memandang ke luar jendela, menatapi setiap butiran air yang jatuh dari atas langit.

BULAN dan BINTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang