Awal kisah

8 0 0
                                    

"Selama bisa hidup bebas, apa salahnya?"
Moto hidup ku, Arini 22 tahun. Sebagai mahasiswa akhir di salah satu perguruan tinggi swasta, aku cenderung berperilaku urakan dan berpakaian membuka aurat.

Sebenarnya aku memakai sebuah kain penutup kepala atau biasa disebut hijab, namun kerap kali aku mengakui bahwa memamerkan bagian mahkota indah yaitu rambut ku pada jejaring aplikasi sosial media masih sering ku lakukan

Aku tau sih, itu menentang agama dan menjadi sebuah dosa besar, tapi apadaya terkadang keinginan mengumbar kecantikan aurat ku masih menjadi sebuah kebanggan tersendiri bagiku, terlebih aku memang memiliki rambut panjang sepinggang berwarna kecoklatan asli karena keturunan ayah seorang bule muslim yang menikah dengan perempuan berkebangsaan tanah air asli pulau jawa.

Jadilah Arini, diriku ini

Ayah adalah seorang muslim yang sangat taat dan ketat persoalan agama, pernah suatu kali aku pulang malam karena kencan dengan mantan pacarku dulu dan berakhir dimarahi habis habisan olehnya, bahkan ayah mengancam memasukan ku kedalam pesantren yang tentu saja ku tolak mentah mentah

Hey..

Hidup tanpa handphone dijaman sekarang? Bisa mati aku. Pikirku sampai saat ini

Sebenarnya aku tau ayah dan ibu sayang padaku dan menginginkan anak perempuan satu satunya ini menjadi perempuan sholehah dan membanggakan kedua orang tua, tapi aku belum bisa dan sanggup sampai pada titik tersebut

Tahun ini ayah dan ibu kompak mengajaku beribadah umroh untuk pertama kali. Kami diberi kesempatan untuk dapat menunaikan ibadah ke tanah suci. Ku akui awalnya aku menolak dengan dalih tugas kuliah "skripsi" yang terbengkalai. Alasan utamanya sebenarnya adalah aku merasa "tidak pantas" untuk berada di tanah suci tersebut karena banyak nya dosa yang aku perbuat, serga merasa "tidak siap" untuk menjadi Arini "baru" setelah kepulangan dari sana

Beberapa cerita ku dengar bahwa tidak semua hamba Allah yang diberi kesempatan untuk dapat menjalankan ibadah di tanah suci. Kata ayah, hanya yang "mau" yang memiliki kesempatan tersebut. Waktu tifak bisa di beli dengan uang, tapi kemauan dapat membeli waktu untuk mendapatkan kesempatan tersebut

Aku tau maksud ayah, beliau menyindir ku karena menolak kesempatan emas itu, dan seperti perdebatan perdebatan lainnya akupun kalah dan mengikuti kemauan ayah
Ibu sangat bersemangat menyiapkan perjalanan kali ini, beliau meminta ku untuk membeli beberapa gamis (yang sebelumnya aku bahkan tidak pernah memiliki rok) dan hijab panjang untuk dikenakan saat ibadah nanti

Aku yang dipaksa untuk memenuhi keinginan ibu pun harus bisa pasrah. Bahkan beberapa hari belakangan aku mulai belajar mengenakan hijab satu hari penuh selama diluar rumah, padahal hari hari sebelumnya saat pergi ke swalayan dekat rumah pun aku cuek saja hanya mengenakan celana panjang dan baju kaos berlengan pendek, ibu bilang itung-itung latihan saat menghadapi cuaca panas disana

Baiklah..

Semoga disana

Aku dapat menyesuaikan diri.

Atas Nama CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang