Bab 1 part 2

32 2 0
                                    

Yanor menerjang sambil mendaratkan pukulan. Dia cepat tapi tidak bagi Alice. Alice menghindar di saat-saat terakhir, memukul perut Yanor, kemudian bergerak menjauh.

"Cihh." Yanor menerjang lagi, mencoba menjatuhkan Alice dengan menghantamkan seluruh tubuhnya. Tapi Alice melompat ke samping.

Walaupun aku orang awam, aku tahu Alice tidak serius menghadapinya. Bahkan bisa dibilang mempermainkan Yanor. Alice lebih cepat dan lebih kuat dari Yanor, perbedaan mereka terlihat jelas.

Setiap kali Yanor menyerang, Alice selalu menghindar dengan gerakan seminimal mungkin lalu menyerang balik. Itu terjadi sekali, dua kali, tiga kali, sampai empat kali.

Alice menunduk saat menghindar untuk yang kesekian kalinya. Lalu mengayunkan pukulan ke atas, ke rahang Yanor. Kemudian meloncat sambil melakukan tendangan berputar tepat mengenai pipi Yanor. Yanor terlempar sampai 2 meter sebelum terkapar.

Alice kemudian mengamati sekeliling. Sesaat aku melihat tatapannya.

"Guhaa." Bunyi itu keluar dari mulutku. Aku dihempaskan ke dinding.

"HAJAR DIA!!!" Sebuah teriakan menjadi sinyal. Anggota geng mengepung Alice dari 2 sisi. 4 vs 1.

Sekarang tidak ada lagi yang mengunci lenganku, tapi aku tidak yakin bisa mengalahkan salah satu dari mereka. Lagipula jika ikut bertarung, aku hanya menjadi beban bagi Alice. Alice itu sangat kuat, apalagi saat serius. Dan dari tatapannya aku tahu sekarang dia serius.

Alice mengepalkan tangan, bersiap meninju. Lalu dia berlari untuk menghadapi musuh. Musuhnya melakukan hal yang sama. Sepertinya akan terjadi adu pukulan...

- tunggu dulu

- lintasan larinya berbelok sedikit ke arahku

- dia benar-benar berlari ke sini

- APA YANG DIA PIKIRKAN???

"Woi, jangan kabur!" Eh?

Dua orang di sisi seberang mengejar Alice dengan marah. Di tambah lagi seorang musuh yg hendak beradu pukulan tadi.

Satu orang menghadang Alice. Dengan sedikit berkelit, Alice menghindari sebuah pukulan lalu terus melaju ke arahku.

Aku menatapnya. Daripada melarikan diri, postur dan ekspresi Alice lebih seperti ingin menerjang musuh. Lalu, bola mata Alice bergerak ke ujung, seperti sedang berusaha menengok kebelakang tanpa menggerakkan kepala. Apa artinya?

Seolah menjawab pertanyaanku, tanpa memperlambat kecepatan Alice putar balik kembali ke musuhnya. Melompat dengan tumpuan dua kaki, lalu melancarkan pukulan ala beladiri Muay Thai. Musuh berusaha menangkis tapi sudah terlambat, pipinya sudah terkena pukulan mematikan. Wajahnya berputar searah dengan tinjuan Alice. Lalu aku mendengarnya.

krakk.

Bunyi memilukan seperti ada sesuatu yang patah. Sekarang dia terbaring dengan mata tertutup. Pingsan -semoga saja begitu.

Rupanya tadi itu gerakan tipuan. Alice yang mulanya dikeroyok bisa melawan mereka satu persatu. Tapi kakiku tetap gemetaran. Aku membayangkan seandainya aku yang dipukul....

Alice melanjutkan serangan, tidak membiarkan siapapun merenungi kejadian ini. Dia memukul wajah terdekat, pertama dengan tangan kanan lalu kiri lalu kanan lagi. Dia terus memukul seperti monster buas.

"Apa apaan dia itu!" Satu dari dua orang yang mengejar Alice mulai ragu.

"Aku tidak peduli, dia sudah mempermalukan kita, dia akan menerima akibatnya."

"Kau benar." Sahut si ragu dengan ekspresi ragu.

Alice berbalik disertai kuda-kuda yang mantap. Di belakangnya orang tadi sudah tepar, wajahnya tidak berbentuk lagi.

Musuh ketiga menerjang, tapi tidak sempat berbuat apa-apa. Tendangan lurus mengenai ulu hatinya sesaat sebelum dia mencapai Alice. Dia berteriak kesakitan dan terjatuh hingga berlutut. Alice yang tak kenal ampun mengakhirinya dengan tendangan lutut. Musuh ketiga sudah k.o. -hanya dengan dua serangan.

Si ragu terdiam mematung melihat semua temannya terbaring tak berdaya.

"Majulah!" Alice berdiri tegak, tidak ada luka sedikitpun pada tubuhnya.

Si ragu langsung lari terbirit-birit, dia kabur. Aku mendengarkan langkah kakinya sampai bunyi itu menghilang.

"Oh iya, kamu belum mengerjakan PR kan?" Alice mengaduk isi tasnya lalu mengeluarkan sebuah buku, "Nah aku beri contekan, kalau sudah selesai letakkan di laci mejaku." Dia menampilkan ekspresi ceria, yang tidak seharusnya ditampilkan oleh pelaku pembantaian. Kecuali dia adalah seorang psikopat.

Aku berusaha membersihkan suara agar tidak terdengar takut, "Kamu tidak ke kelas?" Tapi suaraku tetap serak.

"Azwa, kamu masuk kelas duluan, ada yang ingin aku urus sebentar." Kata Alice. Aku kenal ekspresinya. Ekspresi yang sering muncul di wajah ibuku -khawatir.

Dia pasti mengkhawatirkan sesuatu yang sangat penting. Sampai-sampai tidak menghiraukan suaraku dan membiarkan si ragu pergi begitu saja.

"Apa yang terjadi di sini?" Ada suara baru dan kami berdua refleks menoleh.

Pak Susilo (guru matematika) berdiri menatap ke lantai tempat anggota geng Nebula terkapar lalu menatap kami, "Apa kalian yang bertanggung jawab atas semua ini?"

ElinalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang