Bab 1 part 6

8 0 0
                                    

Aku baru setengah jalan, disaat pedang melesat dari samping. Tepat satu senti di depan wajahku. Kemudian, aku bersumpah melihat pedang itu menancap kuat ke dinding beton.

Aku baru saja hendak menelan ludah saat sebuah kepalan tangan meninju pipiku. Aku terlempar dan menabrak dinding. Kepala ku luka. Darah mengalir di pelipisku.

"Jangan coba coba, nak!" Sosok pria berarmor menjulang di hadapanku. Dia menempelkan satu kaki ke dinding, lalu mencabut pedang dengan satu tangan.

"Dan mengenai pertanyaanmu tadi, anak itu harus dikorbankan. Ini demi masa depan." Dia berjalan menjauh menuju tempat Alice yang sedang bergulat.

Pengorbanan..... Natalia menjadi tumbal.

Dengan satu pemahaman itu, aku marah. Aku mengambil barang terdekat lalu melemparkannya, sebuah tongkat besi.

Dia menangkis dengan pedang. Tongkat besi berbelok dan berputar-putar tak karuan di udara sampai membentur lantai.

"Satu saran: lain kali jangan berisik saat menyerang dari belakang." Katanya. Sekarang dia memandangku seperti melihat anak nakal.

Bacot! Biar ku retakkan kepalamu! Aku menerjang dan meninju batang hidungnya. Atau, aku akan meninju batang hidungnya, jika ia tidak menangkap tanganku dan membanting tubuhku. Punggungku membentur lantai. Untuk sesaat aku lupa bernapas. Saat sadar, kakinya sudah menekan dadaku dan tangan kananku ditarik ke atas.

Yang terpikirkan olehku hanyalah melepaskan diri. Aku meronta, memukul-mukul kakinya, bahkan aku berniat menggigit andaikan bisa.

Lalu, semuanya terjadi begitu cepat.

"Menjijikan." Dia mengangkat pedangnya.

"JANGAAAN!" Alice berteriak.

"Pilar Cocytus." Teriakan lain menyusul.

Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Alice berlari ke sini, namun pasak es bermunculan menghalanginya.

Kemudian, tangan kananku terpotong. Aku menjerit sekencang-kencangnya.

"AZWARI!" Suara Alice terdengar jauh. Telinga berdenging. Syok menyerangku. Aku bernafas pendek-pendek. Tanganku mati rasa.

Tubuhku gemetar, aku benci ini. Aku benci dengan rasa takutku kepadanya. Aku masih marah namun aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sial.

Dia menjauh menuju Natalia sambil menyarungkan pedang. Aku memutuskan menyerang lagi, kali ini sehening mungkin. Tapi dia menjatuhkanku dengan mudah. Saat dia mendekat, aku menendang kakinya. Dia tahu dan membiarkan, terlalu percaya diri dengan tubuh kekar. Dia tidak tahu bahwa pecahan es sudah mencair. Alhasil dia tergelincir dan jatuh ke arahku. Tangannya refleks meraih ke depan. Aku mengayunkan tangan kanan, mencipratkan darah ke wajahnya sementara tangan kiriku mengambil pecahan es yang paling besar di sekitar dan menancapkan ke matanya kuat-kuat lalu aku berguling ke samping.

Sekarang giliran dia yang menjerit. Mampus, aku membatin. Adrenalin mulai surut perlahan-lahan bersama rasa marah ku.

Disaat aku berpikir sudah menang, dia tiba-tiba muncul di hadapanku, menatap dengan wajah penuh darah. Tangannya berayun dan rahangku dijalari rasa nyeri panas yang tidak pernah kurasakan. Pandanganku mulai berkunang-kunang. Aku tidak ingat tinjunya telah mengenaiku.

Aku terhuyung mundur dan seketika wajahku dicengkeram tangan besar. kemudian sesuatu membentur sisi belakang tubuhku. Aku menjerit. Sekali lagi ada yang membentur tubuhku. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Semuanya gelap.

ElinalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang