Senin ini sepeti awal minggu kebanyakan, semua orang berangkat pagi, jalanan macet, semua sibuk, dan yang paling Mentari dan orang yang sudah kelas tiga SMA rasakan, upacara. "Weh puanas puoll yah." Bisik Mentari kepada Sari. "Haha biasa aja kalee, jekardah.", "hi hi hi hi" tawa kecil Wiwid di belakang mereka. Dari agak kejauhan, Melia memandang sinis Mentari karena gossip yang diberikan penjual soto tempo hari.
Upacara telah selesai, semua murid masuk kelas. "Heh! Sini lo!" Teriak Melia di depan wajah Mentari dan menarik kerah bajunya. "Lo berdua ga usah ikut campur! Ini masalah gua sama Mentari!". Ultimatum Melia kepada dua sahabat Mentari. Mentari, Melia, Ferina, dan Rara pergi ke belakang sekolah. Tak tinggal diam Sari dan Wiwid menuju ruang guru memanggil Pak Satrio, "Pak bantu kami." Tegas Sari, "ada apa?", tanya Satrio dengan heran. "Mentari pak, mentari" Jelas Wiwid dan mereka bertiga mencari Mentari kemanapun, namun tak kunjung ketemu.
Di dalam gudang Mentari dihujani seribu pertanyaan oleh Melia and the gengs. "Eh Jowo! Lu ada hubungan apa sama Pak Satrio kesayanganku!" , "hah? Apaansi kalian, ga ada! Lepas!!" tangan Mentari dalam posisi diikat di kursi. "Ha ha haa selama lo ga ngaku, gua ga akan lepas, dan lihat ini? Kunci! Gua kunciin lu dalem sini." Ucap Rara. "Pliss jangann" tetes air mata Mentari mengalir dengan jelas. "Makannya jawab, bego!" seru Ferina. "Ga ada, udah deh, lepas!" seru Mentari. "Kata bang soto, elu kemarin jalan kan sama Pak Satrio?" tanya Melia. "Paansi, enggak! Aku kemarin di rumah.", "ga usah boong lu! Gua tahu kemarin lo sama Pak Satrio!" Seru Rara. "Oke lu kita tinggal, gudbai Tarii" ucap Melia seraya membekap mulut Tari dengan kain.
Setelah tiga jam pelajaran Mentari tak kunjung ditemukan. "Pak gimana ini?" tanya Sari. Satrio tidak menjawab dan berjalan menuju gudang. "Eh pak. Gudang itu udah lama ga kepake, kuncinya aja ilang." Seru Wiwid. "Coba aja, sudah lemes saya ga ketemu gini. Seluas apasi SMA di Jakarta ini" mereka berjalan menuju gudang. "Glek glek" suara gagang pintu usang saat dibuka Satrio.
"Emm emm emm" teriak Mentari namun tak terlalu jelas. "Tari!" sahut Sari, "hah?" Satrio terkejut. "Iya pak, saya yakin itu suara Tari." Satrio kemudian mendobrak pintu itu dan mendapati Mentari sedang diikat dan bajunya basah karena ia menangis terus. "Masyaa Allah Tariii" teriak Satrio. Ia langsung menuju Mentari dan memeluknya. "Ayo buka" seru Sari. "Pakk, sakitt" kata Mentari dengan lirih dan nyeri. "Iya iya, ayo dibantu." Mereka menuju ruang kelas untuk mencari pelaku."Assalamualaikum," seru Satrio memasuki kelas XII Mipa 1 itu. "Waalaikumsalam" jawab sekelas, nampak wajah Melia, Rara, dan Ferina tak tenang."Ada apa pak?" tanya Guru Biologi yang sedang mengajar itu. "Mentari, sebutkan siapa pelakunya!" seru Satrio. Mentari hanya diam dan takut. "Melia pak!" seru Wiwid. "Eh ga usah nuduh lo!" seru Melia. "Kenyataanya elo kan, tadi lo juga bilang kalo gua ga boleh ikut campur, kenyataanya Tari ada di gudang, lo sekap. Dasar kriminal!!" ungkap Sari. Wajah Melia langsung pucat. "Siapa Tar?" tanya Satrio namun Mentari tak menjawab. "Roro Ayu Puspa Mentari Hadikarnawati" ucap Satrio dengan nada agak tinggi.
Mentari membulatkan mata karena disebut nama panjangnya untuk pertama kali dengan nada tinggi pula. Ia menunujuk Melia "Sari dan Wiwid benar pak. Melia, Rara, dan Ferina pelakunya. Mereka cemburu karena kemarin kita beli soto bareng.", "Ayo yang disebut Mentari ikut saya ke ruang kepsek, dan bawakan tas Tari." Mereka menuju ruang kepsek dengan penuh rasa was-was.
Sesampai ruang kepsek, Mentari menceritakan semua kejadian kepada ibu kepsek dan didengar Satrio. "Oke, Melia, Ferina, Rara. Orang tua kamu besok ibu panggil ke sekolah, dan kalian akan ibu hukum dengan surat peringatan satu, dan kalian terancam tak bisa ikut UN tahun ini. Mengerti?", "Bu, maaf jangan bu," melas Melia.
"Ow tidak bisa, hanya Mentari yang bisa mencabut hukuman kalian." Tegas bu kepsek. "Tari maaf" ucap Rara. "Hei kalau minta maaf itu, yang tulus!" seru Satrio. "Oh ya sekali lagi supaya penderitaan kalian dobel, saya dan Mentari memiliki hubungan, dan orang tua sudah merestui kami." Mentari membulatkan mata rasa tak percaya, kata perjodohan itu ternyata tak main-main dan Satrio mau mengakui di depan semua orang. "Eh pak, maaf jangan dibahas disini, malu saya.", "loh jangan malu Tar, gua dukung seribu persen." Celetuk Sari dan anggukan Wiwid semakin menguatkan.Sesudah acara di ruang kepsek yang mendebarkan itu, Mentari harus pulang terlebih dahulu karena ia harus beristirahat. Ia pulang diantar Satrio menaiki Jeep putih yang tak asing bagi Mentari. "Pak, terima kasih" Mentari membuka suara. "Jangan panggil pak, kalau di luar sekolah gini. Panggil mas saja.", "eh iya mas, terima kasih" , "ha ha ha kamu harus menyesuaikan biar tidak dimarahi ayah." Tawa Satrio. "Eh ayah, gimana perasaannya ya, aku udah begini, kaya orang diperkosa." Satrio terdiam karena kata-kata Mentari. "Aku salah omong ya? Aduh" Mentari menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Eh enggak, nanti mas bantu jelaskan." ,"makasih ya mas" seraya Mentari memegang tangan kiri Satrio. "Ya, kamu mau makan ga?", "ga ah, aku masih pake seragam gini, nanti dikira anak SMA cabut main sama om-om.", "ha ha ha emang om-om tohh" jawab Satrio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Adat dan Cinta
Lãng mạnSebuah kisah dalam "Seri Mentari" yang ditulis dengan seratus persen khayalan dan dipulas nan elok dengan bahasa yang padu. Kisah ini akan terus ditulis hingga tamat. Mentari merupakan keturunan dari seorang bangsawan Jawa yang penuh dengan aturan...