Part 1

30 2 0
                                    

"Nay, anak kamu nangis tuh!!" teriak ibu mertuaku saat aku sedang mencuci piring di dapur.

Aku segera membasuh tangan ku dan mengeringkannya. setelah itu aku menghampiri anakku Ayyas yang masih berusia tiga belas bulan.

"Anak mama haus, ya?" ku angkat tubuh mungilnya, ku pangku lalu ku susui.

Ayyas terus memandangiku sambil dia terus menyusu. Wajah Ayyas mengingatkan ku pada Rasyid ayah biologisnya. Dia mirip sekali dengan Rasyid.

Setalah selesai menyusu, Ayyas aku dudukkan di depan pintu kamar mandi.

"Awas nanti anakmu ngompol di situ!!" kata mertuaku ketus.

Dan benar saja, belum lima menit ibu menutup mulutnya, Ayyas sudah mengompol di depan pintu. Sontak ibu langsung marah dan menarik Ayyas kasar.

"Ya Allah mak, Ayyas itu masih kecil." kataku seraya menahan air mata yang sudah hampir tumpah.

"Makanya di ajarin pipis di kamar mandi, biar dia nggak pipis sembarangan!!" bentak ibu.

"Tapikan ayyas masih bayi, buk." Jawabku mencoba membela diri.

"Sudah tiga belas bulan bukan bayi!" ibu kemudian mengguyur tubuh ayyas tanpa melepas bajunya, hingga Ayyas menangis ketakutan.

Aku segera mengambil anakku, mengganti bajunya kemudian menidurkannya.

Entah kenapa ibu begitu membenci Ayyas. padahal biar bagaimanapun, Ayyas adalah cucu kandungnya walaupun dia tidak ikut nasab suamiku.

***
Dulu aku pernah melakukan kesalahan yang sangat fatal dan sangat merugikan masa depanku. Aku menyerahkan mahkota paling berharga ku pada Rasyid kekasihku, seminggu sebelum pernikahan kami di langsungkan. Dia terus merayuku sampai aku terbuai dan menuruti semua keinginannya. Lagian, aku berfikir, toh seminggu lagi kita akan menikah.

Namun takdir memisahkan kami. tepat di hari pernikahanku dan Rasyid, mobil yang membawa calon suamiku itu mengalami kecelakaan. Rasyid meninggal.

Aku menangis sejadi-jadinya mendengar kabar itu. Sebab, aku sangat mencintai Rasyid. Aku juga sudah menyerahkan semuanya kepada Rasyid. Bagaimana nanti kalau ternyata aku hamil. Apa yang harus aku katakan kepada kedua orang tuaku dan kedua orang tua Rasyid.

Hampir setiap hari aku manandai kalender meja di kamarku. Aku sangat cemas ketika sudah tanggal datang bulanku tapi aku masih belum dapat haid.

Dadaku bergemuruh saat ku pandangi tespek yang sudah aku celupkan ke air seniku. Dua garis merah. Ya Tuhan, itu tandanya aku hamil. Bagaimana ini, apa yang harus aku lakukan? apa aku harus menggugurkan bayi ini?.

Aku mengambil gawaiku dan tanganku segera berselancar mencari obat aborsi di toko online. Ku pesan dan segera aku melakukan pembayaran.

Setelah beberapa hari menunggu, akhirnya barang pesananku datang juga. Lima buah pil penggugur kandungan. Aku segera masuk ke kamarku sambil membawa segelas air. 'Ku masukan dua buah pil ke mulutku, sambil aku terus meminta maaf kepada Rasyid dan calon bayiku.

Aku menangis sejadi-jadinya, bukan karena sakit yang aku rasakan sekarang ini. Tapi, aku menangis karena aku sudah berbuat dzolim terhadap calon anakku. Dia tidak berdosa, akulah yang paling berdosa. Dia berhak hidup.

Aku keluar dari kamarku memanggil ibu. Ibu panik melihat aku terus mengerang kesakitan. Darah segar juga mulai mengalir di sela-sela pahaku. ibu segera melarikanku ke rumah sakit.

"Ada apa, buk?" tanya bapak yang baru saja datang. Ibu menghubungi bapak yang sedang bekerja dan memberitahukan keadaanku.

"Anak kita hamil, pak." kata ibu terisak.

"Astaghfirullah, hamil sama siapa kamu, nak?" bapak menghampiriku dan mengguncang tubuhku. Aku hanya menangis.

Berzina sebelum menikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang