Bapak terus mendesakku untuk mengakui siapa ayah dari bayi yang aku kandung. Aku hanya bisa diam tanpa bisa berkata apa-apa.
"Siapa laki-laki itu, Naya, siapa?!" bapak terus membentakku.
Aku geming. Aku tidak tahu bagaimana cara menerangkannya kepada orang tuaku, bahwa aku sedang mengandung anak dari almarhum Rasyid. Aku juga bingung bagaimana nanti kehidupanku ke depannya. Aku hamil tanpa suami, mau minta pertangung jawaban sama ibunya Rasyid, itu tidak mungkin. Sebab itu tidak akan membuat Rasyid kembali dan menikahiku.
"Katakan sama bapak, Naya!" bapak terus mendesakku.
"Ra, Rasyid, pak." Jawabku tergagap.
Plak!! sebuah tamparan mendarat di pipiku. Aku menangis menahan perih di pipi dan hatiku. Begitu juga dengan bapak, aku lihat air matanya mengalir membasahi pipi keriputnya. Aku merasa sangat berdosa sekali, karena telah membuat laki-laki yang telah memberiku kasih sayang selama dua puluh tiga tahun itu menangis.
"Maafkan Naya, pak." Aku besimpuh di kaki bapak.
"Terus sekarang bagaimana, pak?" tanya ibu, suaranya terdengar serak dan pilu.
"Kita harus ke rumah bu Ningsih", sahut bapak masih terdengar emosi.
"Buat apa, pak? Rasyid sudah nggak ada." Ibu menangis sesunggukan.
Aku hanya bisa menunduk menyesali perbuatanku.
"Sekarang kamu ikut bapak," bapak menarik tanganku kasar. Bapak kemudian membawa ku ke rumah orang tuanya Rasyid.
Kakiku gemetar saat menjejakkan kaki ku di teras bu Ningsih. Aku sangat takut, aku khawatir bu Ningsih tidak mempercayaiku.
"Assalamualaikum," bapak mengetuk pintu rumah bu Ningsih seraya mengucap salam.
Tidak lama kemudian, Rasya, adik laki-lakinya Rasyid keluar membukakan pintu.
"Ibuk, ada?" tanya bapak.
"Ada om, mari silahkan masuk." Dengan sopan Rasya mempersilahkan kami masuk.
Bapak masuk dan segera duduk di sofa ruang tamu. Aku lihat wajahnya menegang dan pucat.
"Eh pak Anwar, ada apa ya?" sapa bu Ningsih ramah.
"Begini, buk, kedatangan saya kemari, saya ingin meminta pertanggung jawaban kepada anak ibuk." Bapak mulai mengutarakan maksud kedatangannya.
"Maksud bapak apa ya?" bu Ningsih menatap kami bingung.
"Anak saya Kanaya hamil, buk."
Mata bu Ningsih mendelik ke arahku.
"Lah terus, hubungannya dengan saya apa, pak?" wanita berumur lima puluh tahun itu terus menatapku.
"Aku hamil anaknya Rasyid, buk." Sahutku pelan. Aku tidak berani menatap wajah bu Ningsih.
"Kamu ini nggak usah ngarang cerita deh, Nay. Anak saya Rasyid sudah lama meninggal, dua hari lagi juga saya mau ngadain empat puluh harian dia. Kamu malah tiba-tiba datang kesini dan bilang kalau kami hamil. Ada-ada saja!!"
"Demi Tuhan, buk. Saya sedang mengandung anaknya Rasyid." Aku mencoba meyakinkan bu Ningsih.
Wanita paruh baya itu mencebikkan bibirnya menatapku.
"Nggak usah bawa-bawa nama Tuhan, Kanaya. Bisa jadi kan anak yang ada dalam perutmu itu anak orang lain dan orang itu tidak mau bertanggung jawab. Sekarang, kamu datang ke sini mengarang cerita kalau kamu di hamili oleh anak saya Rasyid. Kalau kamu di hamili sama anak saya, kenapa kamu nggak cerita ke saya saat dia masih hidup, kenapa harus memberitahukannya sekarang!" bu Ningsih menatapaku sinis.
Aku hanya bisa menangis tanpa bisa berkata apa-apa lagi.
"Ayo kita pulang, pak!" Aku menarik tangan bapak.
"Saya mohon buk, tolong nikahkan anak saya denga anak ibu. Mau di taro di mana muka saya kalau tetangga sampai tahu kalau anak saya hamil tanpa suami." Bapak berlutut di kaki bu Ningsih.
Ya Tuhan, aku merasa sangat bersalah sekali melihat bapak sampai merendahkan diri seperti itu.
"Ada apa ini?" tanya pak Dermawan ayahnya Rasyid.
"Ini, pah. Masa si Kanaya ngaku-ngaku hamil sama Rasyid, kan nggak masuk akal," sungut bu Ningsih.
"Hamil?", pak Dermawan menatapku. "Apa benar Kanaya?"
"Iya, om." aku mengangguk.
"Berapa bulan?"
"Tujuh minggu, om."
Aku lihat pak Dermawan mengusap mukanya kasar. Ada gurat kecewa di wajahnya. Apa dia juga tidak mempercayaiku seperti bu Ningsih?
"Sekarang kamu pulang dulu, Kanaya." pak Dermawan mengusirku secara halus. Aku hanya menurut saja. Aku dan bapak akhirnya pulang menunggalkan rumah bu Ningsih.
Di rumah, ibu menungguku dan bapak sambil harap-harap cemas. Ia takut kalau aku tidak bisa meyakinkan ibu Ningsih dan suaminya.
"Gimana, Nay, pak?" tanya ibu saat aku dan bapak masuk ke dalam rumah.
Bapak menangis. Ya Tuhan, remuk rasanya hatiku melihat orang yang aku sayangi menangis seperti itu. Semua karena kesalahanku, semua karena aku yang bertindak terlalu bodoh. Aku sudah menorehkan luka di hati orang tuaku. Aku sudah membuat mereka malu dengan kelakuan hinaku.
"Sekarang bagaimana, pak?" ibu memegang lengan bapak.
"Kita baya Kanaya ke rumah neneknya di kampung," jawab bapak seraya berusaha menata perasaannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Berzina sebelum menikah
RomanceKisah seorang gadis yang rela menyerahkan mahkota paling berharganya, kepada sang calon suami seminggu sebelum pernikahan mereka di langsungkan. Namun takdir tidak menjodohkan mereka. Kanaya hamil sebulan setelah kematian Rasyid. Bagaimana cara Kana...