Part 4

41 1 0
                                    

Seperti ada aliran hangat yang mengalir di seluruh aliran darahku. Aku mencoba membuka mataku, aku lihat Rasyid sudah ada dalam pelukanku. Aku menangis sambil mempererat pelukanku. Aku tidak ingin berpisah lagi dengannya.

"Jangan tinggalkan aku lagi, mas." Bisikku di sela tangisanku.

Rasyid hanya diam sambil menatap mataku. Aku lihat air matanya mulai menetes mebanjiri pipinya.

"Kenapa kamu menangis, mas." Ku hapus air mata Rasyid. Dia kembali membenamkan mukaku ke dalam dadanya.

Aku mendengar detak jantungnya, aku hirup wangi tubuhnya. Ada yang berbeda, ini bukan wangi parfum Rasyid, tapi parfum Rasya. Ah, mungkin Rasyid meminjam minyak wangi Rasya dan memakainya.

"Aku kangen banget sama kamu, mas. Kenapa kamu ninggalin aku. Kamu tahu, aku menderita sendiri di dunia ini, aku ingin ikut bersama kamu, mas. Bawa aku kemanapun kamu pergi, bawa aku ikut serta denganmu mas." Racauku tanpa mau melepas pelukanku.

"Semua orang tidak percaya kalau anak yang aku kandung itu anakmu, mas. Mereka tidak ada yang mempercayaiku." Pekikku lagi.

Rasyid mengelus rambutku tanpa berkata apa-apa. Hanya deru nafasnya yang memburu dan detak jantungnya yang aku dengar.

Rasanya, aku tidak ingin malam ini berakhir. Aku ingin melepaskan kerinduanku bersama kekasihku. Aku tidak ingin berpisah lagi dengannya.

***
Terdengar suara burung berkicauan menghiasi pagi. Ku buka mataku menatap nyalang langit-langit kamar. Aku mencoba bangkit namun kepalaku masih terasa sangat berat. Aku juga terus mencari Rasyid yang semalam menemaniku di ranjang ini.

"Kamu sudah bangun?" sapa Rasya seraya membawa segelas teh dan meletakkannya di atas nakas.

"Mana mas Rasyid?" tanyaku seraya menyisir seluruh sudut kamar.

"Dia ada di kuburanlah, mau nyusul?" sahut Rasya terlihat jengkel.

Aku menatap wajah laki-laki itu. Sepertinya dia sangat membenciku.

"Minum dulu tehnya, habis itu mandi." Titahnya seperti juragan.

Rasya kemudian membantuku duduk dan menyenderkan tubuhku di senderan tempat tidur. 'Ku tutupi tubuhku dangan selimut, kemudian menyesap teh hangat yang Rasya siapkan untukku. Entah kenapa laki-laki ini tidak bertanya dan tidak protes saat melihat tubuhku yang polos.

Setelah itu Rasya membimbingku ke kamar madi dan menyiapkan air hangat untukku.

"Kenapa kamu berdiri di depan pintu? aku malu kalau mandi sambil di liatin!" protesku sebab Rasya tidak bergeming dari pintu kamar mandi.

"Sudah mandi saja, nggak usah kebanyakan protes, jangan lupa keramas, baca doa!" perintahnya dengan nada agak membentak.

Apa dia melihat apa yang aku lakukan semalam dengan Rasyid? ya Tuhan, aku malu sekali jika ia melihat perbuatanku dengan kakaknya. Apa, apa aku yang sudah sinting? Rasyid sudah tiada, tidak mungkin ia bangkit dari kuburnya hanya ingin menemui aku. Ah, kepalaku bertambah pusing di buatnya.

"Jangan lama-lama, habis ini kita ke dokter."

"Ngapain ke dokter?" tanyaku heran.

"Ngobatin kamu yang sudah tidak waras!" sahutnya lagi, kesal.

"Nih orang kaya ibu tiri, galak banget!" gerutuku.

"Ngomong apa kamu?"

"Enggak!"

Aku keluar dari kamar mandi, kemudian mengambil baju dan memakainya. Rasya terus membuntutiku.

"Kenapa kamu terus mengikutiku?" tanyaku lagi.

"Takut kamu berbuat hal yang aneh-aneh kayak semalam." Sahutnya masih tetap jutek.

"Hal aneh-aneh?" aku mengernyitkan dahiku.

"Iya, emang kamu tidak sadar?" dia menatapku sinis.

Aku mencoba mengingat kembali apa yang sudah aku lakukan semalam. Yang aku ingat, aku membenamkan badan di bak mandi dan setelah itu bertemu dengan Rasyid. Ah, apa mungkin semalam aku berhalusinasi.

"Sudah jangan kebanyakan bengong, nanti kesambet lagi!"

Ya Tuhan ini orang, benar-benar sudah kayak bapak tiri sama anaknya.

Aku menyisir rambutku dan mengeringkannya dengan hairdryer. Rasya masih tetap mengawasiku, dia duduk di tepi ranjang sambil menatapku tanpa ekspresi. Wajahnya datar seperti kayu, kaku.

"Ayo, nanti kesiangan!" dia menarik tanganku pelan.

"Iya, sabar, nggak sabaran banget sih." Gerutuku.

"Jangan banyak menggerutu, masih untung aku mau mengantar kamu ke dokter kandungan, anak itukan...." Tiba-tiba Rasya terdiam, dia tidak melanjutkan ucapannya, tetapi aku cukup tahu diri.

"Aku bisa jalan sendiri, Sya."  Tiba-tiba mataku terasa panas dan berembun.

"Aku sengaja nggak masuk kerja karena mau nganterin kamu."

"Tidak usah repot-repot, aku bisa pergi sendiri naik taksi online."

Rasya geming. Dia membiarkanku pergi sendiri menggunakan taksi online yang aku pesan.

***
Rumah ibu terlihat begitu sepi, tidak ada tanda-tanda ada orang di dalamnya. Berkali-kali aku mengetuk pintu, tetapi tidak ada yang keluar untuk membukanya.

"Ibu sama bapak pergi ke Bandung mbak." Kata seorang tetanggaku yang kebetulan lewat di depan rumah ibu.

"Ke Bandung?" tanyaku.

"Iya mbak, sudah dua hari, katanya ada saudara yang hajatan di sana. Emang mbak Naya nggak tahu?" ibu itu terus menatap perutku yang sudah mulai membesar.

"Mbak Naya lagi hamil berapa bulan? kok udah gede banget?" timpal ibu bertubuh gempal yang sedari tadi memperhatikanku terus.

"Sudah....," aku bingung mau jawab berapa bulan, mau bilang enam bulan, pernikahanku dengan Rasya baru menginjak bulan kelima.

"Kamu bukannya ke dokter malah kesini." sambung Rasya yang tiba-tiba muncul di hadapanku.

Aku hanya diam.

"Ayo ke dokter dulu." Rasya menyodorkan helmnya dan menyuruhku segera naik ke motornya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 12, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Berzina sebelum menikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang