Kakek

12 0 0
                                    

Halo gengss....
Ketemu lagi sama Teman Kecil nii...
Maaf yaa lama gak update...
Otaknya penulis lagi agak soak nii...
Malah kebayangnya cerita lain terus...
Tapi tenang!
Penulisnya udah di tegor sama Koko...
Jadi sekarang update pagi...
Semoga masih berkenan buat temen-temen ceritanya...
Selamat menikmati....

***

Selesai sarapan kami memutuskan untuk pergi ke caffe sekedar untuk menghabiskan waktu seperti hari-hari biasanya. Dalam hatiku, Aku menebak untuk pertama kali ini seorang Stella pergi ke caffe rakyat kelas menengah ke bawah. Dengan kemeriahan pecinta kopi murah. Tempat seadanya penuh dengan pencemaran udara yang tinggi. Caffe tanpa ada sentuhan romantis. Caffe yang mempersilahkan pelanggannya menginap. Caffe yang menghasilkan lebih banyak inspirasi dari pada patah hati.

"Ee... Kamu yakin mau ikut nongkrong sama kami, La?" tanyaku ragu kepada Stella.

"Lho emang kenapa, Don?" Stella belik tanya melihat Aku tak yakin bahwa dia beneran akan ikut.

"Ya gak papa sih, cuman agak aneh aja. Soalnya kan Kami udah kasih tau Kamu tempatnya seperti apa. Aku takut kamu gak nyaman aja di caffe tempat tongkrong Kami." jelasku pada Stella.

"Mmmm... emang apa yang buat aku gak nyaman? Emang Aku kelihatan banget gak pernah nongkro di tempat yang Kamu ceritain, Don? Aku juga mahasiswa kok, kalau ada diskusi juga nongkrongnya di caffe biasa gitu. Ya walaupun Aku belum pernah ke caffe yang kalaian ceritain sih. Tapi kan ada kamu, Don."

"Ehhemm...." Kelvin berdehem.

"Emm-maksud ku ada kalian, jadi gak akan terlalu canggung." sambung Stella sedikit tersipu dengan pernyataan sebelumnya.

"Baiklah semoga Kamu gak nyesel ikut Kita. Iya gak, Don." saut Kelvin.

Caffe Secangkir Kopi, caffe sederhana yang mengangkat tema "Diskusi setiap hari tanpa patah hati." Ada beberapa gubuk yang cukup untuk 5-6 orang dan yang lainnya lebih ke meja-meja kecil yang tersebar. Gubuk yang saling mengelilingi dan berhadapan membuat kesan seperti diskusi berkelompok besar. Kami memilih gubuk yang ada di sudut untuk duduk. Tepat di belakang hiasan kursi goyang.
Dari cerita pemilik caffe, itu kursi kakeknya pengusaha caffe di tempat asalnya. Kami cukup mengenal pemilik caffe karena hampir setiap hari Kami datang kesini. Tentu sebagai wujud ramah tamah dengan pelanggan tetap, pemilik caffe akan mengajak bicara, mulai berdiskusi, mulai ngobrol dan terkadang curhat colongan.

Gubuk itu termasuk strategis dan nyaman, apalagi untuk berdiskusi kelompok. Tetapi gubuk itu sedikit istimewa, tidak bisa di tempati oleh sembarang orang. Salah satu yang diperbolehkan untuk menempati gubuk itu Aku. Sempat Kelvin datang kesini sendiri Dia tidak
di perbolehkan menempati gubuk itu. Katanya harus menunjukan kartu yang sudah dibuat pemilik yang boleh menempati itu. Aku memang belum pernah cerita perihal kartu khusus gubuk itu ke Kelvin. Aku mendengar hanya ada 9 kartu yang dibuat oleh pemilik dan di perbolehkan menempati gubuk itu.

"Mbak biasa yaa, di gubuk kartu. 3 kopi hitam, sama 1 es alpukat coklat yaa." pesanku ke kasir caffe.

"Jadi nanti kamu jangan heran yaa kalau Doni agak aneh di sini." bisik Kelvin ke Stella.

"Aneh gimana, Vin?" Stella penasaran dengan apa yang di katakan Kelvin.

"Udah nanti kamu bakal tau sendiri, Stel." jawab Kelvin yang sengaja membuat Stella penasaran.

Sesampainya Aku di gubuk itu setelah mengantar pesanan. Aku melihat wajah Stella penasaran dan menyelidik kepadaku.

"Kamu habis ngomong apa, Vin? Jangan bilang ngomong aneh-aneh yaa! Jangan percaya kata-kata Kelvin, Dia emang suka sirik gitu, La."

"Iya nihh. Tadi kata Kelvin jangan heran kalau Kamu agak aneh." jelas Stella kepadaku.

Aku hanya menggelengkan kepala. Memberi isarat kepada Stella untuk tidak percaya. Percakapan berjalan mengalir seperti halnya orang lain yang berkumpul di caffe. Terkadang terdengar tawa dari gubuk-gubuk lain, begantian pelanggan ataupun teman pelanggan lain yang menyusul.

Kami masih asik berbincang, membicarakan masalah kuliah, masalah politik negara, masalah-masalah yang sebenernya tidak penting kita bicarakan. Tak terasa waktu berjalan cepat, matahari sudah mulai condong ke arah barat. Sudah sore.

Stella harus pulang ke Rumahnya. Sebelum Stella pulang, Dia mengajak Kami untuk melanjutkan obrolan lagi nanti malam. Kami tentu saja tanpa berpikirpanjang setuju. Aku mengantar Stella berjalan ketempat parkir.

"Oh iya makasih udah ngajakin Aku nongkrong." Stella membuka percakapan di tempat parkir.
"Ya udah nanti jangan lupa ya, Don! Aku pergi dulu" sambung Stella sebelum aku menjawab dan mengingatkan janji nanti sebelum Dia pergi.

"Gimana udah nyaman?" tanya Kelvin sesaat setelah Aku kembali ke gubuk.

"Hmmm...."

"Haduh, senengnya temen satu ini yang seharian bareng pujaan. Apalagi nanti masih ada agenda jalan!" goda Kelvin setelah melihat ekspresi lega dari wajahku.

"Aduh, Vin!" Aku berteriak sembari menepuk jidat.

"Apalagi?" tanya Kelvin

"Kopinya! Lupa Aku! Gara-gara Kamu ngejekin jadi gak enak Aku tadi!" jelasku ketus pada Kelvin.

Kelvin hanya terawa. Aku bergegas menuju ke belakang gubuk untuk memberikan secangkir kopi hitam.

"Maaf nggeh, Mbah. Kelupaan tadi keasikan ngobrol sama idaman. Hehe" candaku sembari menaruh kopi didepan kursi goyang.

Krek krek

Bunyi kursi goyang itu yang bergerak tiba-tiba tanpa ditiup angin apalagi di duduki. Hal itu berlaku bagi orang-orang pada umumnya. Tak berlaku untukku, yang jelas melihat seorang kakek yang sedang duduk bersantai sembari tersenyum karena masih ada yang memperhatikannya.

Tak lama Kami juga meninggalkan caffe itu. Tentu berjalan kaki karena memang itu kebiasaan Kami.

***

Gimana gengss??
Jangan lupa tinggalin kritik saranya yaa....

Ditunggu yaa updatenya...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 07, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Teman KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang