Sasra Kana Himawan
Jaya menggoyangkan tangannya tepat di depan wajahku dan menyadarkanku dari perasaan terlalu larut pada pikiran sendiri. Jaya melirik mangkuk es kolding (kolak dingin) milikku yang masih penuh. Aku hanya membolak-balikkan sendok sembari memandang ke sembarang arah.
"Kenapa nggak dimakan? Kalau kamu bolak-balik terus kayak gitu, esnya malah cair, Kana," tegur Jaya. "Kamu lagi kepikiran apa sih?"
Aku menggeleng. Aku sendiri tidak mengerti mengapa bisa tiba-tiba khawatir seperti ini. "Jaya, aku mau tanya sesuatu deh."
"Iya, tanya aja—Pak, pesan satu lagi ya. Hehe, haus aku, Kan." Jaya tertawa sebentar dan kembali memasang wajah serius, seolah siap menampung semua pertanyaan dan pernyataan yang akan aku lontarkan nantinya.
"Khawatir sama seseorang itu.. wajar nggak sih?" tanyaku, ragu-ragu.
Jaya langsung mengangguk. "Wajar dong. Aku, kamu, kita manusia yang punya perasaan. Kalau khawatir terhadap seseorang, apalagi orang itu berarti untuk kita, itu wajar. Siapa yang kamu khawatirin emangnya?"
Aku menggaruk alisku dan melihat lagi ke sembarang arah. Haruskah yang seperti ini kuceritakan pada Jaya? Apakah ini bisa disebut sebagai urusan yang penting?
"Kalau nggak mau cerita, aku nggak maksa kok. Santai, Kan. Kamu bisa cerita kalau udah siap," ucap Jaya yang sepertinya menyadari bahwa aku ragu-ragu untuk bercerita. "Pak, bisa tambah es? Iya, makasih."
"Makasih, Pak," tutur Jaya, sibuk dengan es kolding-nya. "Makan dulu gih itu, kalau nggak dingin, nggak enak. Atau kamu mau tambahan es? Aku min—"
"Namanya Biru," kataku, pada akhirnya angkat suara.
"Ya?" Jaya membelalakkan kedua matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of Everyday
KurzgeschichtenKatanya, ada hari di mana kita begitu bahagia, hingga kita tak sadar bahwa matahari telah terbenam. Namun, ada pula hari di mana segala hal terasa tak seindah hari kemarin. Tapi aku yakin, setiap hari adalah hari yang indah untuk kita jalani. © 2020...