"Rasa tak bisa memilah siapa yang tepat untuk menerima cinta hingga berujung kecewa yang merenggut bahagia."
"Apa?" sahutku ketus.
[Dengerin gua, Shill.]
Aku menghela napas panjang, mengurungkan niat untuk memberikan cercaan karena keegoisannya.
[Maaf buat tadi, buat perilaku gua ke elu, tapi cinta gua gak salah, Shill. Gua gak mau lu makin tersakiti gara-gara Revan sama Karin. Sebenarnya gua udah suka sama elu dari dulu,] lanjutnya
Deg!
Netraku makin membola. Farhan sudah menaruh rasa sejak dulu? Ck, bodohnya aku. Artinya, selama ini aku menyakiti seseorang yang telah banyak menghiburku. Pernyataan Farhan makin mengobarkan panas dalam netra. Aku harus apa?"Udah ya, Han. Gua cape, bukan salah elu juga." Aku langsung menutup panggilannya.
Tak sanggup. Dadaku makin sesak, batuk pun berebut untuk disuarakan lewat mulut. Ponsel yang berada di tangan mulai kugenggam dengan erat.
"Mamah!" Aku berteriak karena dadaku makin sakit.
Wanita yang kupanggil langsung membuka pintu dengan kasar. Raut wajahnya menyiratkan khawatir, netranya membelalak ketika mendapati aku terbaring merintih kesakitan. Langkahnya mulai mendekat, tangannya mengelus pipiku ketika bersanding dengan posisiku.
"Ke rumah sakit, Sayang? Ayo sama mamah." Wanita itu membenarkan posisiku dengan lembutnya.
"E ... enggak, Mah," jawabku dengan napas yang tak beraturan.
Dia berdecak sebal, pasti sudah menduga jawabanku. Aku tak pernah mau dibawa ke rumah sakit. Wanita dengan atasan merahnya itu pun memanggil Bibi untuk membuatkanku wedang jahe. Minuman yang paling kubenci.
***
"Mau mamah anter?"
Aku tersenyum dan menggeleng pelan. Mamah hanya menghembuskan napas panjang dan berusaha membalas senyumku. Aku tahu dia lelah dengan sikapku yang sok mandiri ini. Lebih tepatnya aku tak ingin lebih merepotkannya, Mamah sudah banyak memberikan cinta meski aku merasakan adanya perbedaan dalamnya. Entah mengapa aku belum merasakan hangat dalam pelukannya.
Tiiin!
Aku dan Mamah dikejutkan oleh bunyi klakson yang keluar dari motor merah yang berhenti di depan rumah. Motor itu, aku kenal dengan jelas pemiliknya. Motor yang kemarin membawaku ke cafe di mana pemiliknya mengungkapkan hal yang tak pernah kusangka. Farhan?Lelaki dengan kemeja navy yang tak dimasukkan turun dari motor merahnya. Keren. Mungkin itu pandangan kaum hawa terhadapnya, dia juga cukup terkenal kampus. Aku sering mendapati teman sefakultas membincangkan dirinya. Dia mendekati posisiku sedangkan tatapan heran masih tertuju padanya. Kenapa dia bisa ke sini?
"Mah, saya culik bidadarinya, ya?" Farhan menyalami tangan Mamah dengan senyum yang merekah.
Mah? Mamah katanya?!"Gua mau ke---" Kataku berhenti ketika telunjuk Farhan mendarat di depan bibirku.
"Hati-hati loh, ya. Anak saya mau ke kampus, jangan diajak bolos. Jangan dibiarin kayak kemarin. Hujan-hujanan," tutur Mamah sambil menepuk pelan bahu Farhan.
Aku mengalah.Aku dan Farhan menyusuri jalan yang penuh dengan kiri kanan kendaraan. Jam tangan unguku menunjukkan hari masih cukup pagi. Farhan berulang kali membuka percakapan, tapi mulutku terasa berat untuk mengeluarkan suara sebagai jawaban.
Dengkusan kasar Farhan terdengar kala motor yang membawa kami berhenti saat lampu merah. Rasa bersalah makin menyelimuti. Kepalaku makin terasa berat ketika otak berusaha dengan keras agar tak ada renggang antara aku dan Farhan. Dia sangat berarti dalam kisahku selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Ujung Nestapa [TELAH TERBIT]
Romance"Rasa memang datang tanpa aba-aba dan satu hal yang masih hati terima, kau ... alasan cinta." --- SDUN Ini adalah kisah perjalanan Ashilla, gadis dengan puzzle kehidupan yang masih berceceran. Alam raya menyuguhkan fakta yang harus ditelannya menta...