Dua Belas

13.3K 1.2K 37
                                    

Jika kebanyakan anak perempuan yang sudah menikah kemudian orang tuanya datang berkunjung, maka suasana akan terasa begitu hangat dan penuh canda tawa.

Ayah akan melontarkan kalimat-kalimat jenaka yang sebenarnya tidak terlalu lucu, namun entah bagaimana jika ayah yang mengatakannya akan terdengar begitu lucu.

Kemudian ibu akan bercerita tentang masa kecil anak perempuannya yang kini sudah menjadi milik orang lain. Suasana haru akan begitu terasa dan mungkin akan membuat mata sembab.

Sayangnya keluarga Hinata bukanlah seperti keluarga kebanyakan. Keluarganua terkesan begitu kaku dan konservatif. Mereka terbiasa menghadapi semua hal dengan serius dan penuh perhitungan. Mereka tidak gegabah apalagi sampai salah mengambil langkah.

Jika hal tersebut terjadi, bukan tidak mungkin posisi mereka akan terancam. Terdengar kejam memang.

Suasana yang seharusnya hangat tidak berlaku di sini. Suasana antara ayah dan anak ini benar-benar kaku dan tegang. Sebenarnya Hiashi terlihat biasa saja, hanya Hinata yang tidak terbiasa dengan keadaan ini.

Sejak dulu, Hinata hanya akan bertemu ayahnya pada saat pertemuan resmi atau latihan. Sangat jarang bagi mereka untuk duduk berdua dan mengobrol santai, hampir tidak semenjak ibunya pergi meninggalkan mereka terlebih dahulu.

"Ba-bagaimana kabar Tou-sama?" Hinata mencoba memecah keheningan yang menurutnya cukup mencekam.

Hiashi meletakkan cangkir teh yang diminumnya dan memandang putrinya sejenak. Hinata masih tidak berubah. Masih putri yang takut pada ayahnya sendiri.

Seandainya bisa, Hiashi ingin mengulang kembali waktu. Ia mungkin tidak akan membiarkan Hinata menanggung beban beratnya seorang diri, ia ingin Hinata juga merasakan bagaimana rasanya dilindungi sosok ayah saat seluruh dunia berusaha menyingkirkannya. Sayangnya bukannya menjadi pahlawan, Hiashi malah menjadi bagian dari orang-orang yang berusaha menjatuhkan Hinata. Masih segar dalam ingatannya saat Hinata menatapnya dengan mata besarnya yang berkaca-kaca menahan tangis. Hiashi tidak buta, tapi ia berusaha tidak peduli. Saat ini ia merasa telah gagal menjadi sosok pelindung bagi putri kecilnya, cahaya yang terang di keluarganya, Hinata.

"Baik." Sebuah jawaban yang sangat singkat.

Hinata menghela napas lega mendengarnya. Ia senang mendengar ayahnya baik-baik saja.

"Bagaimana denganmu?"

Mata Hinata membola, cukup terkejut dengan pertanyaan ayahnya. Ini adalah kali pertama Hiashi menanyakan bagaimana keadaannya. Hinata merasakan matanya sedikit panas, ada kebahagiaan yang membuncah di dadanya.

Jadi seperti inikah rasanya mendapatkan perhatian kecil dari seorang ayah? Rasanya sangat menyenangkan.

"Sa-saya juga baik-baik saja, Tou-sama."

Hiashi merasa getir mendengar suara Hinata yang terbata dan berbicara formal padanya. Apakah jarak diantara mereka benar-benar sudah sangat jauh? Tidak bisakah ia menggapai Hinata yang merupakan putri kecilnya?

Sekarang apa yang harus ia lakukan agar hubungan ayah dan anak yang begitu renggang ini kembali menghangat?

Hening cukup lama menyusup diantara mereka. Pandangan netra tajam Hiashi seolah menerawang ke suatu masa yang tidak pernah ia lupakan.

"Dulu aku dan ibumu juga menikah karena perjodohan. Hal yang biasa di dalam klan kita, ketika seorang pewaris sudah cukup umur untuk menikah, maka para tetua klan akan memilih pasangan yang cocok dari dalam klan kita sendiri."

Hinata diam mendengarkan. Baru kali ini ayahnya bercerita tentang ibunya. Bahkan suara yang selalu terdengar tegas dan tak terbantahkan itu pun berubah menjadi sedikit melembut.

Secret Feeling (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang