(1. Permulaan)
"Suka dan duka adalah pelangi kehidupan."
~Anala~Ana berjalan mengendap-endap masuk ke rumah. Menghindari untuk bertemu dengan Rika---mamanya.
"Ana!" Suara yang memekik dari arah meja makan membuat Ana berhenti melangkah.
Baru saja Ana akan merasa senang karena melihat keadaan rumah sepi, tetapi tak disangka kalau Rika berada di ruang makan. Membuat Ana kebingungan.
"I--ya, Ma." Ana berbalik dan melihat Rika menghampiri dirinya.
"Hari ini, pembagian rapor 'kan? Mana saya lihat," ucap Rika dengan memasang muka garangnya.
"Iya, tapi ...." Ana tidak melanjutkan ucapannya, mendadak lidah itu menjadi kelu. Sebab terlalu takut untuk mengungkapkan.
"Halah, banyak alasan. Mana sini!" geram Rika dengan menarik tas Ana dengan paksa. Membaca dan menilik nilai yang tertera di rapor.
Raut wajahnya mulai berubah, membuat Ana gelisah dengan terus memainkan jemari lentiknya sambil menunduk.
"Kenapa ini? Kenapa ada nilai 70, hah?!" bentak Rika dengan menunjuk mata pelajaran yang nilainya paling rendah.
"Em, itu a--anu, Ma." Ana gugup sebab ia takut sekali dengan keadaan ini, jangan sampai dirinya dihukum.
"Heh! Saya udah cape-cape nyari guru les privat yang terbaik buat kamu, tapi kenapa kamu masih bodoh juga, hah." Rika menjewer Ana dengan kuat, sampai Ana terus meringis sakit.
"Rangking berapa tadi?" Rika bertanya lagi dalam keadaan menjewer Ana.
"Ti-ga, Ma." Ana berucap dengan deraian air mata yang mulai membasahi pipi merahnya. Memegang tangan Rika yang sedang menjewer dan terus memohon ampun.
"Apa?!" Rika semakin marah dan terus menjewer lebih kuat.
Rika menjewer sampai menyisakan telinga Ana memerah. Setelah itu dia menyeret dengan kasar menuju kamar Ana dan tidak lupa menguncinya.
"Untuk hari ini, gak ada makan malam buat kamu. Dengar itu!" Langsung saja Rika berlalu pergi tanpa ada rasa kasian kepada putrinya.
"Ma, buka! Jangan kurung, Ana. Ana, janji gak bakal ulangi lagi." Ana berteriak dan menggedor pintu dengan keras.
Rika yang menutup telinga dengan rapat-rapat, menganggap teriakan Ana hanya angin lalu. Dia asyik menonton acara televisi kesukaannya.
Ana yang sudah merasa lelah duduk di balik pintu dengan menyenderkan badannya. Kali ini ia menangis. Menangis tanpa suara dengan wajah yang ditutupi oleh kedua telapak tangan.
"Ahhhhk!"
Sedetik kemudian, ia menjerit meluapkan emosi yang ada. Menghiraukan jika Rika marah, lagipula dia tak peduli 'kan?
Setelah merasa cukup ia menumpahkan emosi, berlanjut menuju kamar mandi. Membersihkan badan serta pikiran yang sudah merasa lelah ini.
_______
Malam telah tiba, mentari telah pamit di ufuk barat. Sekarang Ana hanya bisa memeluk dirinya dengan menahan rasa lapar.
Biasanya dia akan menyimpan kue atau makanan ringan di kamarnya, tetapi itu sudah habis saat kemarin malam.
Ana hanya meneguk ludah, berharap ada keajaiban datang. Memaksa buat netra ini terpejam, agar rasa lapar itu hilang. Namun, nihil hasinya dia masih terjaga.
"Duh, lapar. Mana gak bisa tidur lagi, ahhhk!" Ana mengacak-acak rambutnya frustasi.
Prang!
Suara benda pecah membuat Ana terkesiap dengan bangun dari posisi tidurnya. Dia langsung mendekatkan kuping di balik pintu.
"Saya, akan bawa Ana pergi. Kamu jangan egois." Suara berat yang khas itu membuat Ana tambah terkejut. Sudah lama ia merindukan sosok itu. Siapa lagi kalau bukan papanya---Andre.
Ternyata itu adalah pertengkaran kedua orang tua Ana yang berada di ruang makan. Ana hanya bisa menangis dan terus berdoa.
"Enak saja kamu, saya tidak akan menyerahkan Ana. Karena dia anak saya!" Rika yang terus berusaha menahan pertahanan yang telah di buat sejak dua tahun terakhir.
"Dia juga anak saya. Saya
Papanya, kamu jangan lupakan itu," ucap Andre dengan wajah memerah. Akibat menahan amarah yang ingin meluap."Apa, papa? Anda tidak ingat? Siapa yang dulu akan menjual putrinya ke bos besar, hah!" Rika tersenyum sinis ke arah Andre yang merubah raut wajahnya menjadi sedikit terkejut.
"Apa?!" ucap Ana kaget, dia tak mengerti kenapa ayahnya melakukan itu semua.
Ana menangis dengan menutup mulutnya menggunakan tangan. Badan yang melemas, merosot ke lantai.
****
Pulang sekolah, Ana kecil berjalan kaki. Berjalan sendiri karena teman-temannya telah dijemput oleh orang tua masing-masing.Bersenandung kecil, menyanyikan lagu-lagu yang dia suka. Walaupun hanya setengah dari lirik lagu.
Rika dan Andre tidak bisa menjemput karena sedang sibuk dengan urusan masing-masing.
Ana terkejut ketika seseorang dari belakang membekap mulutnya dengan tangan. Ana terus memberontak---takut---hingga ia berinisiatif menggigit tangan orang itu dengan kuat dan berlari menjauh.
Ana sangat ketakutan apalagi dia hanya anak kecil yang baru menginjak kelas 3 SD. Terus berlari, tanpa arah.
"Mama, Papa, Ana takut." Ana yang sudah lelah memutuskan untuk bersembunyi di balik tong sampah yang lumayan besar dan tinggi, dekat sebuah warung . Dia berjongkok dan berusaha untuk tidak bersuara.
Orang tersebut pun tak bisa menemukan dan pergi tanpa hasil. Membuat Ana senang ketika dia tak mendengar derap langkah kaki yang menuju dirinya.
Langsung saja Ana pergi, menuju rumah dengan cepat. Takut kalau orang itu datang lagi.
****
Memori itu masih tersimpan rapi. Ana masih tak percaya, tetapi ucapan Rika tak mungkin berbohong. Sebab dia tahu bagaimana sifat Rika meski selalu kasar kepadanya.
Akhirnya Rika menang dan Andre pergi tanpa hasil. Namun, sebelum Andre pergi dia berucap sesuatu.
"Saya menyesal. Saya ingin menebus kesalahan dulu." Andre pamit pergi. Ucapannya tak membuat Rika luluh ia malah tersenyum sinis.
Suara yang tak begitu keras membuat Ana tak dapat mendengar. Dia sekarang menjadi benci kepada Andre.
Ana pun langsung kembali ke tempat tidurnya, menarik selimut, dan memaksa memejamkan lagi netranya. Sampai akhirnya terlelap, mengantarkan atma ini ke dalam bunga tidur yang indah.
Setelah kepergian Andre, Rika berjalan menuju dapur. Mengambil air dari kulkas, lalu meminumnya sambil memijit pelipis.
"Ahhk, bikin pusing saja. Lihat, saya akan balas perbuatanmu," gumam Rika yang meneguk air sampai tandas.
#Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
I'am Tired
Roman pour Adolescentssempurna Satu kata yang selalu diharapkan oleh semua orang. Baik dalam kehidupan, keahlian, dan penampilan. Semuanya selalu berusaha untuk menjadi sempurna. Bagaimana jika kita selalu dituntut untuk menjadi sempurna. Pasti itu akan membuat kita mua...