BAB 18 SESUNGGUHNYA

12K 2.4K 261
                                    

"Maksud kamu?"

Aku langsung menatap Papa yang kini menuntut jawaban. Aku memang belum pernah detil menceritakan tentang trauma Laras. Tapi aku harus berbagi dengan seseorang, karena aku ingin Laras sembuh. Maka, pagi ini, saat Mom Biru mengatakan kami harus sarapan di apartemen dengan alasan menyambut kedatangan Laras. Untung saja aku punya waktu berbicara dengan Papa di ruangan kerjanya ini.

"Laras terlalu trauma Pa. Jadi Angga merasa bersalah kalau menyentuhnya."

Papa tampak menatapku dengan serius. Beliau mengernyitkan kening dan menggelengkan kepala.

"Bisa nggak sih kita seret si brengsek itu ke penjara?"

Pertanyaan Papa membuatku menggelengkan kepala, Laras menangis saat aku mengatakan akan memberikan pelajaran yang setimpal untuk Dimas. Dia tidak mau kejadian itu di blow up, sehingga semua orang tahu. Apalagi kedua orang tua Laras akan bersedih.

"Jangan Pa, kasihan Laras."

Papa menganggukkan kepala dengan paham. "Atau bawa Laras untuk periksa. Mau kan dia?"

Kali ini aku menatap Papa, "Semoga Pa. Karena Laras tampak sangat terpukul dan menjadi kurang percaya diri dengan peristiwa itu. Angga sangsi."

******

"Ini kamar Mas?"

Akhirnya kami memutuskan menginap di sini. Harusnya masih di hotel, tapi Laras mengatakan kepadaku kalau dia tidak bisa tidur di kamar yang begitu mewah dan luas itu. Mom Biru juga mengatakan untuk menginap saja di sini, malam ini. Setelah berbincang dengan Papa, aku sedikit lega. Artinya ada solusi untuk Laras.

"Iya."

Aku duduk di tepi kasur dan menunggu Laras yang menatap kamarku. Dia menatap setiap foto yang terpajang, meski kebanyakan foto-fotoku dengan Papa. Tapi dia kemudian terdiam di salah satu foto yang ada di atas nakas. Di samping tempat tidur.

"Mas, ini foto pertunangan kalian?"

Seketika aku langsung menoleh ke arahnya. Astaga. Aku lupa menyingkirkan foto itu. Foto pertunanganku dengan Mita. Dulu yang memberikan foto itu di situ adalah Mita. Saat dia menginap di sini, bersamaan dengan Mom Biru. Udah sangat lama, lagipula kamar ini tidak sering aku tiduri. Mengingat aku sudah mempunyai apartemen sendiri juga. Aku langsung meraih foto berbingkai emas itu.

"Aku lupa membuangnya," jawabku. Yang membuat Laras sedikit mengernyit mendengar ucapanku. Tapi dia hanya mengatakan 'owh' dan akhirnya duduk di sebelahku. Dia membuka kuncirnya dan menggerai rambutnya. Kuulurkan tangan untuk mengusap rambutnya itu, membuat dia sedikit kaget. Aku lupa. Kalau sentuhanku seperti ini akan membuatnya terkejut.

"Maaf, ya. Aku nggak tahu kalau masih ada foto itu."

Ucapanku membuat Laras kini menggelengkan kepala, dia menaikkan kakinya ke atas kasur.

"Nggak apa-apa Mas. Bagaimanapun juga Mita itu kan pernah jadi bagian dari Mas. Sudah mau nikah juga, pasti punya mimpi berdua."

Ucapannya membuat aku menghela nafas "Kamu tahu? Bahkan Mita dulu hanya aku jadikan tempat pelarian."

Ucapanku itu langsung membuat Laras menatapku dengan bingung.

"Pelarian? Jadi Mas, pernah mencintai wanita selain Mita?"

Aku tersenyum dan menganggukkan kepala. Mengulurkan tangan untuk menggenggam salah satu tangan Laras.

"Ehmmm, pernah. Aku mencintainya sangat."

"Siapa Mas?"

Aku kembali tersenyum dan kali ini mencolek hidung Laras.

"Udah masa lalu. Aku udah move on. Tapi asal kamu tahu, cintaku sama Mita itu nggak sebesar cintaku sama orang yang sudah membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya. Tapi itupun aku juga udah move on, Laras. Jadi nggak usah berpikiran yang macam-macam. Aku udah nggak cinta sama siapapun dari masa lalu."

BENANG TAKDIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang