36. Dia, Violetta.

35 7 2
                                    

sebenarnya ini part mau diupdate tadi malam, tapi habis nugas malah ketiduran hehehe.

***

bahkan, sekuat apapun batu karang, pada akhirnya akan rapuh juga ketika ombak terus-terusan menerjang.

***

Angga : ra, sibuk nggak?

Pesan yang baru saja masuk ke ponselnya berhasil membuyarkan lamunannya. Mengingat Angga yang tidak punya siapa-siapa untuk diharapkan selain dia dan Ari, maka sebisa mungkin Ayra menyempatkan waktu untuk mendengarkan segala cerita lelaki tersebut. Tapi, setelah beberapa menit Ayra membalas bahwa ia tidak sibuk, Ayra tak lagi mendapatkan balasan apa pun dari Angga.

Rencananya hari ini ia dan Anta akan menjenguk bunda Alfi yang katanya sudah siuman setelah seminggu koma. Awalnya ia menolak saat Aldi menyuruh pergi dengan Anta. Jelas, karena awalnya mereka tidak memiliki hubungan baik meskipun sekarang, mereka sudah sepakat untuk berdamai. Tapi, Aldi mengancam akan mencabut wifi agar Ayra tidak bisa lagi menonton drama Koreanya. Alhasil ia menurut saja demi kepentingan bersama.

Timbul pula ide untuk menjenguk mamanya Angga karena pesan yang lelaki itu kirim tadi. Kebetulan yang sangat baik, mamanya Angga dan bundanya Alfi satu rumah sakit. Hanya berbeda lantai saja, karena kamar VVIP berada di lantai lima.

"Nanti habis kamar bundanya Alfi, naik ke atas dulu jenguk mamanya Angga."

Anta mengangguk kemudian berjalan mengambil minum di dapur. Ayra yang tadinya juga akan mengambil camilan, mengikuti langkah Anta dari belakang.

Saat berbalik, mereka hampir tabrakan. Untung saja Anta memiliki reflek yang bagus sehingga bisa menahan kepala Ayra yang kalau tidak ditahan akan menghantam dadanya.

"Jalan pake mata," kata Anta sambil berjalan melewati Ayra.

"Mata buat liat, kalau kaki baru buat jalan."

Anta terkekeh pelan. "Tadi lo nggak pake mata dong buat liat gue?"

"Atau ini modus baru supaya bisa skinship sama gue?" lanjutnya tengil.

Ayra berekspresi seolah-olah akan muntah ketika mendengar ke-pd-an Anta. Gila saja ia dibilang modus. Memikirkannya saja Ayra geli sendiri.

"Najis banget."

Anta tertawa ngakak. Benar kata Angga, kalau membuat Ayra kesal itu sangat mudah. Semenjak di sini, ia lebih sering tertawa karena menjahili perempuan itu. Hal tersebut berhasil membuat Andira bersyukur. Setidaknya untuk saat ini adiknya bisa bahagia tanpa kepalsuan.

Anta resmi keluar dari rumahnya. Tapi hanya sebatas keluar saja, untuk biaya sekolah dan hidup, orang tuanya tetap menanggung. Namun, Anta tidak pernah menggunakan uang yang diberikan oleh mereka. Bahkan kemarin lelaki itu menyerahkan black cardnya kepada Ayra.

"Nih kalau lo mau belanja," katanya sambil menyodorkan kartu tersebut.

Jelas hal itu tidak Ayra terima. Ya, sebenarnya sih ia ingin mengambil, black card dari keluarga kaya, siapa sih yang rela menolak? Tapi, setelah tahu asal usul Anta memberikan kartu tersebut, ia jadi mengurungkan niatnya.

"Berenti ketawa nggak lo?!" seruan tersebut menyadarkan Anta dari lamunan.

"Iya iya, elah galak banget bocil."

Ayra melotot. "Bocil bocil, gue udah besar ya enak aja dipanggil bocil," katanya kesal.

"Badan lo pendek, cocok jadi bocil."

"Nggak asik, bawaannya fisik."

"Tapi lo tetap cantik kok."

Ayra yang sedang memakan dessert box, langsung tersedak. Dengan cekatan, Anta menyodorkan air minum yang ia ambil tadi.

AYRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang