2/9

882 149 79
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



🌓



Dua puluh menit lalu, aku cuma sebatas tahu namanya. 

Oh, dan nama tengahnya.


Chandra—si playboy cap kerupuk kaleng biru dua ribuan—Adhyasta, dan selusin mantannya yang konon punya grup arisannya sendiri—terserah. Mana aku tahu soal setengil apa wajahnya, se-empat dimensi apa kelakuannya, atau bakal se-krispi apa gombalannya. Aku sama sekali enggak tahu menahu soal dia. Sampai dua puluh detik lalu, dia mengklarifikasi semua gosip tentangnya.


Dan semuanya betul adanya.


Iya. Si Chandra tiba-tiba masuk dan tanya Kak Dio—anak magang yang biasa jaga perpustakaan tiap hari Selasa, hanya Selasa—dengan lantang nan tanpa akhlak, "Maaf, Kak. Sebenarnya saya bukan cari buku. Saya cari anak perempuan, namanya Wendy. Dia cantik, tapi sesangar harimau. Pernah lihat?" 

Dan cukup lantang buat didengar sama semua telinga yang ada di perpustakaan sekarang. Sinting.

Berhubung semua yang ada di perpustakaan juga tahu perempuan malang mana yang namanya Wendy, semuanya lempar tatapan ke aku dan opsi buat pura-pura enggak dengar adalah opsi yang tidak kumiliki.


Ah. Mau pura-pura pingsan aja, boleh?


Daripada keadaanya semakin membingungkan, aku berlagak keren muncul dari balik rak buku, kayak drama-drama Korea, ditambah pasang muka sombong biar dia yang ciut.

Dia pasang senyum asimetris dan langsung tahu kalau perempuan yang tingginya enggak sampai bahunya ini adalah manusia bernasib sial bernama Wendy. Sedangkan aku, si Wendy yang tidak ada bayangan sama sekali tentang manusia abstrak bernama Chandra seketika panik karena perbedaan tinggi badan yang cukup signifikan. Telak.

Satu langkah, dua langkah, dia terus mengikis jarak sampai jarak bibirnya kurang dari dua puluh senti dari telingaku. Duh, jangan bayangkan ini bak drama romantis cengeng. Untuk pertama kalinya dalam tujuh belas tahun umurku, aku merasakan sensasi kalau jadi korban palak preman sekolah. Merinding karena tekanan batin.


"Keluar dulu, sebentar. Sebentar aja. Ya?"

Wah, kalau dia bilangnya baik-baik begini, sensasi terintimidasinya semakin besar.


Dalam kondisi begitu, aku sudah enggak punya pilihan lain 'kan selain mengekori dia keluar? Daripada terjadi keributan yang enggak perlu di perpustakaan. Memang akunya lagi sial kali, ya? Lorong perpustakaan tiba-tiba jadi sepi, dengan bijaknya, si Chandra memilih lorong sebagai tempat berhenti.


Dan ia yang tiba-tiba memutar tumit, berbalik menghadapku yang masih mengekor dengan susah payah berpikiran positif, 



"Aku suka. Kamu."



Wah, gila.

Bisa keadaan jadi lebih enggak masuk akal lagi dari ini?


"Menurutmu, aku sudah kelihatan jujur belum?"


Bukannya otakku enggak bisa memahami situasi. Masalahnya, degup jantung si Chandra terlalu berisik, otakku jadi menolak berpikir rasional. Walaupun degup jantungnya ribut begitu, bisa kudengar juga, pola deru napasnya teratur, nada bicaranya juga stabil.

Saking banyak mantannya, skill-nya juga luar biasa ya?



"Ada seseorang yang kusuka. Tapi dia terus bilang aku bohong. Duh."

Fyuh. Untung aku belum sepenuhnya bawa perasaan.



Oh.
Jadi, begini.


Sudah jadi rahasia umum soal telingaku ini yang agak berbeda. Ada suara yang mampu kudengar, yang seharusnya enggak bisa kudengar, seperti detak jantung orang lain misalnya. Bisa bayangkan 'kan seberapa berisiknya saat aku dan teman-teman sekelasku harus ada kelas olahraga? Enggak ada merdu-merdunya.

Berkat itu juga, aku enggak mudah ditipu orang. Makanya, kalau jalan ke pasar, ibu suka taruh aku di depan, buat detektor katanya. Bisa-bisanya aku dieksploitasi begitu, untung ibu sendiri.

Bagiku, mengidentifikasi seorang pembohong itu mudah, semudah jatuh cinta pada pada member NCT.

Detak jantung, suara yang bergetar penuh ragu, pula hela napas yang tidak terdengar natural, semuanya terdengar jelas, hitam di antara putih. Dan mana pernah kubayangkan, kondisi telingaku yang sebegini hebatnya bisa sampai membuat seorang Chandra repot-repot datang ke perpustakaan, cuma buat minta tolong hal receh.


"Tolong latih aku supaya kelihatan jujur di depan dia, ya? Soalnya, mau sejujur apapun, dia enggak percaya. Pusing enggak, sih?"


Ya Tuhan.
Rumitnya hidup anak muda yang satu ini.




🌓


Ehe, terima kasih sudah singgah, bertahan, dan jadi sumber kekuatan! 

Ehe, terima kasih sudah singgah, bertahan, dan jadi sumber kekuatan! ❤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
bohong paling serius ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang