3/9

482 133 22
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



🌓



"Jadi, sebenarnya kamu jujur suka perempuan itu atau enggak?"

"Jujur lah."

Aku juga harus akui, kalau yang tadi dia ucap betulan tulus. 

Aku juga sampai merinding dengarnya, seorang Chandra tidak berbohong. Dia habis ketemu perempuan macam apa, ya? Seberapa hebat sampai seorang Chandra mau repot-repot mendatangiku—yang notabenenya enggak kenal sama sekali ini—buat minta tolong hal receh begitu?


"Jadi, apa masalahnya?"

"Perlu aku ulangi lagi, Wen?"

"Ah, enggak perlu."

Duh, otakku terlalu berharga untuk dibuat berpikir soal masa depan seorang budak cinta.


"Oh, biar gampang, perlu aku bersaksi di depan dia?"

"Jangan. Dia bakal bilang kamu aku ancam."

Betul sekali. Padahal niatnya, aku mau buru-buru lepas dari urusan enggak penting kayak begini.


"Dia tahu dari mana kamu bohong?"

"Entah, dia tahu saja."

Ah, aku dilema sendiri, harus kasihan atau sebal dengan anak muda yang sedang murung merengut di sampingku ini. Mantannya saja selusin. Tapi, urusan hati perempuan dia nol besar.


"Seumur-umur belum pernah ditolak perempuan, ya?"

"Enggak pernah, tuh."

"Kalau begitu, selamat ya? Untuk pertama kalinya, dan akhirnya, kamu betulan ditolak perempuan."


Refleks aku menggeser dudukku sedikit, takut ia tiba-tiba mengamuk dan teriak-teriak memakiku. Oh, matanya saja sudah hampir melompat keluar sekarang. Entah aku yang baru sadar, atau mata miliknya memang sebesar itu, ya?

"Kuberi tahu, ya—siapa namamu tadi? Oh—Chandra, kalau dia asal sebut kamu bohong tanpa dasar begitu, itu sih cara halus dia buat tolak kamu, Chan. Dia 'kan bukannya aku yang betulan bisa membedakan mana yang bohong mana yang enggak. Jadi, kamu yang sabar ya?"

Seperti dugaanku, lelaki narsis ini syok sendiri dengan apa yang baru terjadi. Mumpung otaknya masih mengolah kenyataan, aku memanfaatkan keadaan sempurna ini untuk kabur dan lepas tangan dari urusan yang enggak perlu ini—urusan kisah cinta bertepuk sebelah tangannya seorang Chandra.


Waktuku terlalu berhar—eh, aduh. 

Aku merinding sendiri waktu lengan kemejaku ditahan tangannya.


"Kamu, enggak kasihan sama aku?"

"Eng...gak?"

"Atau, kamu lagi kepingin sesuatu? Kamu bisa minta aku apapun,"

"Eng...gak ada."

Ah, akhirnya tangannya lepas dari lengan kemejaku. Menyerah juga dia. Lagipula, permintaan dia cuma buang-buang waktu. Melatih dia supaya kelihatan jujur? Duh, dia sudah jujur begitu pun si cintanya masih anggap dia bohong, apalagi namanya kalau bukan cinta bertepuk sebelah tangan?

"Kalau begitu, nanti aku tanya kamu lagi lain waktu."

Aku sama sekali enggak mengindahkan ucapan terakhirnya dan pilih pergi.


Mana terpikir olehku, esoknya di jam yang sama, ia datang lagi ke perpustakaan. Hari ini bukan Kak Dio yang jaga, tapi Bu Sri yang sangarnya melegenda. Kemudian dengan tanpa otaknya, ia datang dan tanya dengan lantang, 

"Maaf, Bu. Sebenarnya saya bukan cari buku. Saya cari anak perempuan, namanya Wendy. Dia cantik, tapi sesangar harimau. Lihat tidak Bu?"


Sinting. Enggak waras.


🌓


Ehe, terima kasih sudah singgah, bertahan, dan jadi sumber kekuatan! ❤

Ehe, terima kasih sudah singgah, bertahan, dan jadi sumber kekuatan! ❤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
bohong paling serius ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang