Many mistake, so be careful 😊
.
Ada apa? Kok sepertinya ... nggak. Apa mu-mungkin ada yang kecelakaan. Iya pasti itu, ucapku dalam hati dan mencoba berpikir positif.
-----------------------------------------------------------
.
Drap ... drap
Suara sepatu kami menggema di sepanjang lorong rumah sakit. Aku dan Delfin berlari secepat mungkin menuju pintu depan rumah sakit. Sesampainya kami di luar rumah sakit, ambulans pun berhenti dan segera mengeluarkan pasien tersebut. Saat pasien tersebut di keluarkan dari ambulans, terlihat darah menetes kemana-mana. Detak Jantungku terasa lebih cepat, napasku berhenti sesaat, mataku membulat, tangan dan kakiku bergetar melihat pasien tersebut.
D-dia?! M-mana mungkin?! batinku melihat siapa pasien tersebut. Wanita yang aku kenal, sekarang bercucuran darah di depanku. Petugas ambulans pun segera membawa wanita itu ke dalam rumah sakit untuk segera di tindak lanjuti. Delfin pun terlihat bergegas mengikuti mereka sambil menelpon dokter lain. Aku? Tak ada yang bisa aku lakukan. Pipiku basah akibat bulir bening yang menetes dari mataku.
"Hei," panggil Delfin yang tak ku hiraukan.
"Freya? Hei!" bentaknya. Aku pun segera tersadar dari lamunanku dan mengusap air mata yang terus mengalir dari mataku. Dia menatap heran kepadaku. Jangan sampai dia curiga padaku, batinku sambil berusaha bersikap tenang.
"Iya dokter? Ah, maksudku Delfin. Ada apa?" tanyaku gugup.
"Kau kenapa? Kau kenal dengan wanita itu?" tanya Delfin kepadaku sambil mengerutkan dahinya. Aku pun tak tahu harus menjawab apa. Jika aku jawab aku kenal dia, dia pasti bertanya hal-hal aneh, ataupun justru menyuruhku mengurusku. Kalau aku jawab tidak kenal, sama saja aku membuangnya. Apa yang harus aku lakukan?
"Dokter Delfin! Pasien kritis!" teriak suster dari dalam. Mata kami bertemu dan segera berlari ke dalam rumah sakit. Seketika aku berada di depan ruang gawat darurat, tubuhku membeku, kakiku tak bisa ku langkahan ke depan, dadaku sesak. Terlihat Delfin sibuk menyelamatkan nyawa wanita itu.
"Suster pasang intubasi sekarang!" Delfin terlihat memerintah suster untuk memasang intubasi kepada wanita itu. Ketika alat intubasi itu mulai di pasang di mulut wanita itu, entah apa yang merasuki diriku sendiri, tiba-tiba …
"Berhenti!" Aku berteriak dengan keras menghentikan suster itu memasang intubasinya.
"Apa yang kau lakukan Freya?!" tanya Delfin dengan nada tinggi. Ku langkahkan kakiku ini ke depan secara perlahan sambil menatap lekat wanita itu. Tanganku mengepal kuat, mengumpulkan semua kekuatan untuk menampar wanita itu.
Semuanya melihat keheranan dengan tingkahku. Bahkan senior di rumah sakit pun menatap heran padaku."Apa kau kenal dengan pasien ini Dokter Freya?" tanya Dokter Aldi selaku dokter senior di rumah sakit ini. Aku tak menjawab pertanyaanya, dan terus melangkah hingga akhirnya aku di sampingnya.
"Kita tidak ada waktu, kalau kita seperti ini pasien bisa kehilangan nyawanya Freya!" teriak Delfin. Suster pun segera memasang kembali intubasinya dan semuanya beranjak dari tempatnya.
"Aku bilang hentikan," ucapku. Terlihat mereka tetap memasang intubasi dan menyiapkan alat-alat medis.
"Aku bilang hentikan! Apa kau ingin aku memukul wajahmu?!" Kali ini aku berani berteriak di depan semua orang. Pandanganku menatap tajam suster di depanku, wajah marahku terlihat jelas dan membuatnya melirik Delfin."Aku tidak mau tau kau kenal dengan orang ini atau tidak, ini tugasku, jadi pergi jangan menghalangi kalau kau tidak mau membantu!" Delfin terus berteriak, membuatku muak.
"Biarkan dia mati," ucapku lirih dan jelas membuat semua mata di ruangan ini terbelalak. Hati nurani ku sudah tidak ada, membeku, bukan manusia, itulah aku sekarang. Dokter mana yang justru ingin pasienya mati? Disini, ini dokter yang ingin pasienya mati.
"Kau gila ya?! Apa yang kau katakan barusan ha?! Kau mau di keluarkan dari rumah sakit?!" teriak Delfin.
"Iya! Aku gila! Aku ingin dia mati! Dia gak pantas buat hidup!" teriakku membalas Delfin. Setelahnya, aku melepas semua alat yang menempel pada tubuh wanita itu.
"Mati! Matilaaaaaaaah!" teriakku sambil mencabut alat intubasi secara paksa. Semua berusaha menenangkanku, namun itu hanya sia-sia. Aku ingin dia mati.
"Freya tenang Freya! Dokter Aldi, tolong bawa dia keluar dari sini," ucap Delfin menyuruh Dokter Aldi membawaku keluar. Dokter Aldi hanya menangguk dan mengajakku keluar dengan paksa.
"Ayo Freya," ucap Dokter Aldi.
"Lepas! Lepaskan aku! Dia berhak matiiii! Nggaaaak! Aaaaaaakh!" Aku berteriak seperti orang sakit. Melihatnya terbaring seperti itu membuatku ingin membunuhnya.
Ketika pintu UGD tertutup, teriakanku semakin menggila. Aku, aku ingin dia lenyap!"Jangan, jangan selamatkan dia! Dia harus mati! Lepaskan aku, LEPAAAAS!! Haaaaaa! Matiiiii!" teriakku sambil menangis tersedu-sedu. Aku sudah tidak terkontrol, mataku memerah, napasku tersendat-sendat
Kau harus mati! Kau, kau tidak layak hidup. Kau bu-bukan manusia, kau … hiks, kau menghancurkan semuanya, batinku sambil menangis terduduk di lantai. Aku nggak akan membiarkan dia hidup, itu janjiku!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Haiii maaf ya lama up :) silahkan enjoy :)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Most Beautiful Memories
RandomFollow akun author dulu ya :) ( Fiksi Ilmiah ) Bagaimana jika sahabatmu sendiri mengkhianatimu?? Dan bagaimana kalau orang yang sayang satu persatu pergi meninggalkanmu?? gak bisa deskripsiin. cus baja aya yuuk 😍 Rank : #34 - Medis #5...