「 Chapter 4 」

352 64 1
                                    

Sicheng berjalan menuju rumah suaminya dengan wajah lesu. Seharian ini ia berkeliling kota demi mencari pekerjaan; yang sesuai dengan kemampuannya. Namun sialnya, tak ada satupun baik restoran maupun cafe yang ia temui membuka lowongan pekerjaan.

Jujur saja, sicheng ingin mencari lebih jauh lagi, menelusuri penjuru kota. Sayangnya, uang yang dibawanya untuk menaiki taxi telah berkurang. Hingga terpaksa, ia memutuskan pulang dan mencari lagi besok pagi.

Kepulangannya disambut senyuman oleh ibu mertuanya yang berada di teras. Namun senyuman itu luntur saat wanita itu melihat raut wajah sicheng yang lusuh.

"Ada apa sicheng?" Seohyun mendekati sicheng, menangkup pipi menantunya itu dengan tatapan khawatir. "Apa.. Kau sudah mendapatkannya?" Yang seohyun maksud adalah pekerjaan.

Hanya gelengan lemas yang seohyun dapat. Wanita itu kembali mengukir senyum. "Tak apa," seohyun mengusap rambut sicheng. "Masih ada banyak waktu. Besok.. Kau bisa mencarinya lagi." Ucapan seohyun berhasil membuat sicheng mengangguk disertai senyum tipis.

"Sekarang masuklah." Titah seohyun.

Sicheng melangkah masuk dengan rasa lelah yang mulai terasa di tubuhnya. Ia berjalan menuju kamarnya dan yuta—membuka pintu dan melihat yuta yang tengah menonton sesuatu pada ponselnya. Reflek pria itu menoleh saat merasakan kehadiran sicheng, dan senyuman lebar terlihat di wajahnya.

"Hey," sapa yuta seraya meletakkan ponselnya di sisi kanan ranjang. "Bagaimana? Dapat?" Tanyanya tanpa melunturkan senyum di wajahnya.

"Tidak." Jawab sicheng seraya menutup pintu kamar. Ia berjalan mendekati ranjang, lalu mendudukkan dirinya di sebelah yuta.

Yuta menghela nafas. Tangannya ia gerakkan untuk membelai rambut istrinya itu. "Sudahlah, jangan bersedih. Kalau memang kau menyerah, kau bisa mencari uang di rumah dengan membantu ibu berjualan kue." Ucapnya ketika menyadari raut wajah sicheng yang semakin lusuh.

"Aku tidak menyerah." Balas sicheng, "besok pagi aku akan mencarinya lagi. Ibu menjual kue, sedangkan aku bekerja. Bukankah itu lebih mudah mendapatkan uang untuk terapimu nanti?"

"Apa setelah aku sembuh nanti kau akan tetap bekerja?"

Sicheng mengukir senyum tipis. "Tentu saja—hey? Ada apa denganmu?" Tawa pelan mengalun dari mulut sicheng saat yuta dengan tiba-tiba menyender pada bahunya.

"Hm, aku hanya takut.." ucapan yuta terhenti sejenak, ia mendongakkan kepalanya untuk menatap wajah sicheng. "Di tempat kerja nanti ada rekan kerjamu yang tertarik denganmu."

Telapak sicheng mendarat pelan di lengan yuta. Raut wajahnya berubah datar. "Jika iya, maka aku akan mengatakan padanya kalau aku sudah menikah dengan pria tampan yang bernama nakamoto yuta." Ucapnya dengan senyum lebar, setelah berucap seperti itu wajah sicheng kembali datar.

Oh, astaga. Jadi selama ini yuta melarangnya bekerja hanya karena hal itu?

Yuta terkekeh seraya menenggelamkan wajahnya di dada sicheng; mendusal layaknya kucing. "Jawaban yang bagus. Aku menyukainya."

Mendengus pelan, sicheng menjauhkan wajah yuta dari dadanya. "Berhentilah mendusal!" Sicheng mencubit pelan hidung yuta, "aku bau." Ucapnya dengan bibir yang dimajukan.

"Tak apa. Aku menyukainya."

"Haish! Kau aneh! Tidak ada orang yang menyukai bau keringat." Ucap sicheng seraya berdiri, ia keluar kamar; hendak membersihkan dirinya di kamar mandi.

Sungguh, hanya yuta yang masih bisa menggombal disaat dirinya dalam keadaan sakit.

---

Wajah sicheng terlihat sumringah saat ia keluar dari sebuah restoran kecil yang terletak di pinggir jalan. Ya, ia baru saja diterima bekerja sebagai seorang waiter di restoran itu.

Tangannya merogoh saku celananya; mengeluarkan ponselnya. Sicheng menggerakkan jemarinya di layar ponselnya, mencari nomor yuta. Ia akan memberitau suaminya itu jika dirinya telah mendapatkan pekerjaan.

Didekatkannya benda pipih itu di mulutnya setelah sicheng menemukan nomor yuta.

"Yuta.."

"Ya sayang? Apa kau tidak menemukan lowongan lagi?" Tanya yuta dengan nada khawatir.

Sicheng terkekeh, bahkan ia reflek menggeleng. "Tidak yuta!" Suaranya terdengar semangat, "kau tau? Aku diterima menjadi waiter di sebuah restoran!" Saking semangatnya beberapa orang di area restoran menatap sicheng, membuat pria manis itu tersenyum canggung.

Suara di seberang sana terkekeh. "Selamat untukmu sayang. Oh ya, kapan kau mulai bekerja?" 

"Dua hari lagi." Ya, restoran itu mulai aktif lagi di hari senin depan setelah pemiliknya meliburkan para pegawai selama 1 bulan.

"Baiklah.. Aku harap kau bisa bekerja dengan mudah nanti." 

Mendengar perkataan itu, reflek sicheng mengukir senyum. "Tenang saja, aku pasti bisa." Ucapnya bangga. Karena dulu—ayahnya pernah memberitaunya tentang bagaimana tata cara melayani pelanggan di restoran.

Kedengarannya memang mudah.

Tapi, apakah akan mudah jika sicheng mempraktekannya nanti?

.

.

.

TBC

Gua kurang ngefeel up ff ini :'(

Soalnya.. Gua kan punya utang bnyk, otomatis gua upnya bukan ff ini aja :'(

Blm lagi ide baru mulai muncul di otak gua, bzz.. Gak selesai2 klo gini mah, wkwk.

When He Loved Me •yuwin•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang