Prolog

412 64 19
                                    

WARNING
Read doang ❌
Vote doang ❌
Read + vote ✅
Read + vote + comment ✅✅
Read + vote + comment + follow ✅✅✅
--------------------------------------------------------------

Jam digital di nakas itu hampir bergeser ke angka 23.00. Seorang pria paruh baya yang duduk bersandar di tempat tidurnya itu terlihat belum ingin berbaring dan memejamkan matanya. Sementara istrinya sudah terlelap di sampingnya sejak beberapa jam yang lalu.

Perutnya yang buncit naik turun teratur, menaikkan dan menurunkan lengannya yang bertumpu di situ seraya memegang majalah tentang hukum dan peradilan yang sudah dibacanya sejak satu jam yang lalu. Namun matanya belum cukup lelah memindai satu kalimat ke kalimat lainnya.

Malam hari memang waktu favoritnya untuk membaca. Kedua putranya yang beranjak dewasa mulai jarang pulang dengan alasan membuat tugas kuliah bersama teman. Dan istrinya bukanlah wanita yang senang menghabiskan waktu hingga larut. Suasana yang sunyi itulah yang sering ia manfaatkan untuk membaca hingga ia tak mampu lagi membuka matanya. Bahkan ponselnya pun ia setel ke mode getar agar tak mengganggu malamnya.

Tapi tetap saja, getaran ponselnya yang ia letakkan di nakas dirasa cukup mengusiknya ketika benda itu membuat gelas berisi air ikut bergetar lembut.

Pria itu menghentikan membacanya dan menyentakkan majalahnya dengan kesal di nakas. Kesal karena ketenangannya diinterupsi dan yang menginterupsinya justru sang asisten kesayangannya, Bella.

"Halo?" jawabnya berbisik, berusaha tak membangunkan istrinya.

"Pak Barata? Maaf, malam-malam begini mengganggu. Ini mendesak," sahut seorang wanita di seberang.

"Ada apa, Bel?" Pria itu berusaha menahan kekesalannya supaya sang asisten tak merasa bersalah.

"Barusan Pak Surya menelepon. Anaknya yang hilang sudah kembali."

"Syukurlah kalau begitu," desah Barata.

"Tapi ada yang aneh, Pak."

"Aneh bagaimana?"

"Pak Surya merasa anaknya mengingat sesuatu yang gak pernah terjadi sebelumnya."

"Maksudnya?"

"Saya juga kurang paham, Pak. Saya rasa ada yang aneh dengan cerita Pak Surya."

"Apa dia bilang, waktu itu anaknya menghilang ke mana?"

"Cerita, Pak. Katanya ia ke Klinik Harapan Bahagia."

Barata mengernyitkan keningnya. Klinik itu terdengar asing baginya.

"Besok Pak Surya ingin menemui Bapak," ujar Bella lagi.

"Kenapa gak ke Lembaga Konsumen saja?"

"Saya sudah bilang begitu, Pak. Tapi ia cuma percaya sama Bapak."

Barata mendengus. "Ya, sudah. Besok saya tunggu di kantor."

"Baik, Pak. Selamat malam."

"Malam."

Pria itu tak lagi berselera meneruskan membaca majalahnya. Setelah meneguk air mineralnya, ia memilih membaringkan tubuh dan membungkus diri dengan selimut hingga di bawah dagu.

✔Erased [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang