Chapter dua

15 5 0
                                        

Coklat panas sudah siap, akhirnya aku dan Nia meminumnya dengan cepat karena takut keburu dingin. Tak disangka mama Nia, menjemputnya di rumahku dan menyuruhnya untuk pulang. Aku pun kembali lagi berdua bersama hujan. Rasa sesak di dadaku kembali berdebar saat kilat petir tepat menyambar jendela kamarku.

Jam 11 malam aku masih saja belum bisa tidur dan hujan malah semakin deras. Hingga dini hari sekitar pukul 2 pagi, aku baru bisa tidur ditemani boneka beruang putihku.

“Libra, ayo bangun, dah pagi nak…” Aku terbangun dan ternyata itu hanya mimpi. Suara air kran air mengalir di kamar mandi luar kamarku. Seperti biasa ayahku pasti baru pulang kerja lembur. Setelah ayah selesai mandi, aku langsung memeluk ayah.

“Ayah, aku takut sendiri ayah. Ayah pulang terlalu larut, maaf Libra nggak bisa nunggu sampai ayah pulang kerja,” ungkapku.

“Kamu harus jadi anak yang kuat dan mandiri Libra. Apapun yang terjadi, kamu harus bisa melupakan kejadian malam itu. Semua akan indah pada waktunya. Mamamu pasti akan hidup bahagia di atas sana melihat kamu yang sudah bertumbuh besar seperti ini. Ayah yakin kamu akan menjadi anak yang membanggakan. Ayah juga doakan kamu bisa mencapai cita-citamu untuk lanjut studi S1 ke luar neger,” jawab ayahku.

Air mata mengucur di seluruh wajahku, kini hanya ayahku lah yang ada di hidupku. Aku tak ingin kehilangan ayahku satu-satunya. Hal inilah yang selalu membuatku untuk terus bekerja keras dan pantang menyerah. Seperti hujan yang terus mengalir ke bumi sampai ke tanah tiada henti-hentinya.  Selalu berusaha untuk tetap tegar sampai aku bisa mencapai cita-citaku untuk membahagiakan ayah serta mamaku yang telah tiada.

SELESAI

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 14, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Seperti HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang