「 Chapter 5 」

488 66 1
                                    

Sicheng keluar dari cafe dengan rasa kesal. Niat untuk membeli coffee ia urungkan karena saat berada di dalam sana, dirinya justru digoda banyak pria. Oh! Jangan lupakan dengan wajah manis yang selalu terlihat datar sejak 2 tahun lalu itu.

"Hey!"

"Sicheng!.."

Menghela nafas kasar, Sicheng menoleh malas kearah si pemilik suara; ia sangat mengenali suara berat itu. Tak ada raut ramah tiap kali Sicheng berhadapan pria yang lebih tinggi darinya itu. Sorot matanya selalu tajam saat menatap pria itu.

"Apa?" Suara itu terdengar sangat dingin. Seolah sicheng tak ingin berlama-lama dengan pria di hadapannya ini.

"Apa nanti malam kau free? " dalam hatinya pria itu berharap Sicheng menjawab iya.

"Tidak."

Setelah menjawab pertanyaan pria itu, Sicheng membalikkan tubuhnya seraya berjalan menuju mobilnya, meninggalkan si pria tinggi yang sepertinya-tak ada kata menyerah untuk terus mengejar dirinya.

"Kau yakin? Oh, ayolah Sicheng!.. Aku tau kau pasti-"

"Aku bilang tidak Erick!" Sicheng memotong ucapan pria bule yang bernama Erick itu dengan suara membentak. Sungguh, ia risih dengan Erick yang terus membujuknya agar pergi bersama, untuk sekedar berjalan-jalan misalkan.

Erick terdiam. Kemudian ia mengangguk kaku, "oh.. Okey, aku tidak akan memaksamu lagi." Hanya sampai disitu, Erick membiarkan Sicheng pergi menuju mobilnya. Ia tak berani membuka mulut jika Sicheng sudah marah.

Di dalam mobil, Sicheng memijat pelipisnya; ia lelah. Lelah karena setahun ini ia terus diincar oleh para pria untuk dijadikan kekasih, termasuk teman-temannya. Dan Erick bukanlah orang yang pertama, ia yang ketiga setelah Johnny dan Taeil.

"Lihatlah Yuta.." Sicheng tertawa miris seraya menatap layar ponselnya yang menunjukkan foto mendiang kekasihnya. "Aku sendiri, banyak pria yang mendekatiku." Suara sicheng terkecat, ada sesuatu di tenggorokannya yang sedang ia tahan. "Kau.. Tidak marah kan Yuta?" Isakan itu tak dapat Sicheng tahan. Sungguh, ia sangat merindukan Yuta.

Hanya janji itu yang tidak bisa Sicheng tepati; saat Yuta meminta dirinya untuk tidak menangisinya lagi. Ia sangat nyaman menjalani hubungan dengan Yuta, dan sangat sulit baginya untuk melupakan hal yang berkaitan dengan pria itu.

---

Nyonya Nakamoto tersenyum saat ia melihat kedatangan Sicheng. Wanita itu bergegas menuju halaman rumah untuk membukakan pintu pagar; mempersilahkan sicheng masuk.

Ini bukan yang pertama kalinya Sicheng mengunjungi rumah mendiang kekasihnya setelah kejadian perampokan itu. Hampir setiap hari ia berkunjung. Mengobrol sekaligus menemani Nyonya Nakamoto yang merasa kesepian, karena putra bungsunya-sedang bekerja dan pulang saat tengah malam.

"Hmm.. Kamar ini tidak berubah." Sicheng mengukir senyum tipis saat ia melihat kamar Yuta yang masih terlihat sama, poster-poster yang berhubungan dengan musik masih tertempel pada dinding bercat putih itu.

"Sengaja tidak bibi ubah." Nyonya Nakamoto terkekeh, "agar bibi bisa terus mengingat Yuta.."

Wajah Sicheng berubah sendu. Ia memasuki kamar bercat putih itu, matanya menangkap sebuah tas gitar yang terdapat di pinggir ranjang. Sicheng membuka tas tersebut; mengambil sebuah gitar yang dibeli mendiang kekasihnya dulu.

"Kau bisa mengambilnya jika kau mau." Nyonya Nakamoto berucap dari ambang pintu. "Lagipula.." Ia terkekeh, "Eiji tidak bisa memainkannya."

Sicheng tersenyum tipis, lalu mengangguk. Lagipula, ia juga sudah pandai bermain gitar, dirinya sangat cepat belajar. Dari Erick tentunya.

Jemarinya mulai menyentuh senar. Sicheng terdiam beberapa saat, hingga terpikirlah sebuah lagu di kepalanya. Lagu yang pernah dinyanyikan oleh Yuta dengan suara lembutnya.

"If.. I ever were to lose you.."

"I'd surely.. Lose myself.."

Hanya sampai disitu, Sicheng selalu tak bisa meneruskan liriknya. Rasanya sangat berat untuk melanjutkan lagu itu hingga selesai. Tenggorokannya kembali tercekat, sedetik kemudian setetes cairan bening jatuh menuruni pipinya.

"Maaf Yuta. Aku tidak bisa menepati janji yang itu." Selama sicheng mencoba, ia selalu gagal. Ia tidak bisa untuk tidak menangisi yuta.

"Tapi.." Sicheng menghapus airmata yang baru saja membasahi pipinya. "Aku mungkin bisa menepati janjimu yang lain."

Sicheng meletakkan kembali gitar itu ke dalam tas. Ia keluar kamar seraya membawa gitar tersebut. Berpamitan pada Nyonya Nakamoto dan meninggalkan rumah mewah itu.

Mungkin Sicheng memang tidak bisa untuk tidak menangisi Yuta. Tetapi, ia bisa melakukan satu permintaan Yuta lagi,

Yaitu move on.

.

.

.

END

YAS! FINALLY!

Kelar satu ff :D

Masih ada bnyk lgi yg harus gua selesaiin :')

Promises •yuwin•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang