BAB 6

10K 1.2K 184
                                    

Saya terima nikah dan kawinnya Alya Savira Wiryawan binti Dedi Wiryawan dengan mas kawin uang senilai dua juta dua puluh ribu rupiah dibayar tunai.

Teringat akan ucapannya yang lantang dan mantap. Dean menggerakkan lehernya yang kaku. Sampai malam ini pun dia masih belum percaya jika statusnya sudah berganti. Dia kini sudah menikah. Dia menjadi suami dari seorang perempuan bernama Alya. Gadis santai yang menurutnya unik dan manis di saat tertentu.

Dean melirik istrinya yang duduk di kursi kecil yang menghadap meja rias. Perempuan itu sedang mengeringkan rambutnya yang basah dengan bantuan hairdryer. Dengan tubuh yang dibalut handuk model kimono. Dean memperkirakan jika di dalamnya belum ada pakaian lain. Dasar memang.

Sementara pria itu sendiri sejak tadi memilih tiduran di sofa sambil memainkan gawainya. Usai acara akad dan resepsi tadi, mereka pulang ke rumah keluarga Alya.

"Lo nggak mandi?" tanya Alya tanpa menoleh.

"Bentar." jawab Dean sekenanya. Dia sedang berperang di layar ponsel.

Hening setelah itu. Alya tidak bertanya lagi dan Dean juga terlihat tak perduli. Masa bodoh saja. Bukankah dalam kontrak perjanjian mereka tertulis poin tidak boleh mencampuri urusan orang lain.

×

Dean keluar dari kamar mandi setelah membutuhkan waktu 15 menit untuk membersihkan diri. Mata lelaki itu membeliak melihat pemandangan yang cukup indah di depan mata. Alya sudah tidur dengan posisi miring dengan satu kaki ditompang guling. Handuknya tadi sudah hilang dan digantikan kemeja putih lengan panjang oversize dan celana pendek setengah paha. Tidak ada selimut yang menutupi badan perempuan itu. Dean menggeleng kecil dan menarik selimut sampai batas pinggang istrinya itu. Dia kemudian mengambil bantal yang tak terpakai dan membawanya ke sofa. Daripada tidur di samping Alya dan tidak bisa terlelap, lebih baik dia tidur di sofa.

Sudah berbaring di sofa, tapi Dean tak kunjung memejamkan mata. Ukuran sofa itu tak terlalu besar dan dia harus menekuk kaki. Letak sofa itu sejajar dengan tempat tidur dan berada tepat di depan pintu kamar mandi. Jadi jika hal pertama yang ia lihat setelah keluar dari kamar mandi adalah tempat tidur dan pemiliknya, maka hal itu juga yang ia lihat kini. Alya tertidur pulas dengan bibirnya yang sedikit terbuka. Entah kenapa malah terlihat cantik dan menggairahkan. Dean menggeleng lagi. Bagaimana bisa malam pertamanya malah seperti ini? Seharusnya kan mereka... Ah sudahlah.

×××

"Sudah bangun, Nak?"

Baru juga keluar dari kamar, Dean sudah disambut pertanyaan oleh ibu mertua. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum kecil. "Sudah, Bu."

"Alya belum bangun?" tanya beliau lagi. Seorang perempuan mungkin seusia ibu Lis. Rambutnya pendek sebatas bahu dan  memakai bando hitam.

"Belum, Bu." jawab Dean lagi, singkat saja. Dia bahkan belum tahu nama ibu mertuanya tersebut.

"Anak itu kalau libur memang sering bangun siang. Maaf, ya, Nak. Nanti biar ibu omelin." ucap beliau lagi sambil menaruh dua cangkir kopi hitam di atas meja makan. "Duduk dulu, Papamu sebentar lagi pasti keluar." lanjutnya. Dan benar saja, tak sampai dua menit setelah beliau berucap. Om Ded-Ded itu terlihat keluar dari kamar.

Dean mengangguk sedikit saat matanya beradu pandang dengan bapak mertuanya. Tidak sopan jika dia melengos begitu saja.

"Pagi, Nak." Sapa Om Ded-Ded itu seraya menepuk pundak Dean yang sudah duduk di kursi meja makan. Kemudian beliau ikut duduk di kursi yang lain. "Alya belum bangun?"

Pertanyaan yang sama lagi. Seharusnya ayah mertuanya itu sudah bisa menyimpulkan sendiri. Jika ibunya saja sudah hapal tentang kebiasaan Alya, tidak mungkin ayahnya tidak tahu. "Belum, Pak." Akhirnya jawaban itu juga yang diberikan oleh Dean.

Undesirable WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang