BAB 7

8.1K 1.1K 87
                                    

Alya sudah sampai di teras, sementara Dean masih menurunkan barang bawaan mereka dari bagasi mobil. Sore di hari ke-tujuh mereka sah menjadi suami istri, mereka langsung pindah ke rumah baru. Atau lebih tepatnya rumah pinjaman dari Raka. Mereka beralasan pada kedua orang tua Alya jika mereka butuh waktu lebih banyak untuk berdua. Sebenarnya itu alasan Alya dan Dean hanya senyam-senyum menyetujui dengan segala cercaan dalam hati.

"Apa nggak kegedean ini rumah?" tanya Alya sambil mendongak, melihat lantai atas bangunan itu.

"Kecil begini dibilang gede." sahut Dean sambil memasukkan ujung kunci pada lubangnya.

Alya membantu suaminya yang memasukkan koper-koper ke dalam rumah. Ada lima buah koper, satu milik Dean dan sisanya semua miliknya. Alya membawa pakaian, tas, sepatu dan peralatan make-upnya semua. Dean sempat protes tentang barang bawaan Alya yang begitu banyak, tapi kata Alya semua itu penting dan tidak boleh ada yang tertinggal. Daripada bolak-balik untuk membawanya, lebih baik dibawa sekalian. Begitu kata Alya. "Harga sewanya berapa? Gua urunan berapa, nih?" tanya perempuan itu setelah sampai di dalam rumah.

"Gratis." jawab Dean seraya menghidupkan lampu agar ruangan-ruangan di rumah itu tidak gelap lagi.

"Ya kali dua ribu dua puluh ada yang gratis. Pipis aja bayar dua ribu." sahut Alya lalu duduk disalah satu kursi kecil yang berada di ruang tamu mungil itu. Ia melepaskan sepatunya dan menyimpannya dibawah meja.

Pipas, pipis, pipas, pipis... Dean menggeleng agar pikiran kotornya rontok. Satu minggu hidup bersama Alya membuat otaknya yang kotor, semakin kotor. Siapa yang tidak akan berpikir macam-macam apabila disuguhi pemandangan yang indah-indah. Alya selalu memakai pakaian yang bagus dan sangat pas di badannya. Apa yang dipakainya pasti terlihat sangat serasi dengan wajahnya yang cantik. Apalagi jika menjelang tidur, semua yang dipakai perempuan itu pasti bisa membangkitkan Dean.

"Nggak usah lo pikirin. Rumah ini urusan gue." seru lelaki itu menimpali. Ia beranjak naik ke lantai atas membawa kopernya sendiri. Meninggalkan Alya di ruang tamu dengan koper-kopernya yang masih teronggok manis di belakang pintu.

×

Rumah itu adalah rumah bekas tinggal Raka dan Tiara. Dean memang pintar. Dia memilih rumah itu karena di dalamnya masih ada perabotan lengkap. Jadi dia tidak perlu mengeluarkan biaya lebih untuk hal-hal semacam itu. Toh Raka juga tidak mempermasalahkannya. Meski mereka sering saling ejek, tapi Raka tetap sahabatnya yang paling bisa diandalkan. Pria sipit itu dan keluarganya sudah banyak berjasa padanya.

"Gua laper." cicit Alya setelah turun dari lantai atas dan bergabung di ruang keluarga. Duduk di samping Dean yang sibuk dengan gawainya. Perempuan itu melongokkan kepalanya. Mencuri pandang pada layar datar tersebut. Lagi-lagi Dean sedang berperang.

"Laper makan." sahut Dean saat Alya menjauhkan kepalanya. Wangi tubuh perempuan yang baru saja selesai mandi itu menusuk hidungnya. Baunya benar-benar menyegarkan.

Alya melirik Dean sinis. "Nggak lo ajarin gue juga tahu." tukasnya tak mau kalah. Ia hidupkan layar di gawainya sendiri. "Lo mau makan apa? Biar gue pesenin sekalian." lanjutnya saat ia sudah membuka aplikasi pesan antar makanan.

"Terserah lo aja. Yang penting bisa dimakan." sahut Dean sekenanya, tanpa menoleh.

Alya melirik Dean lagi, tatapannya makin sinis. Dimana-mana yang namanya makanan pasti bisa dimakan. Dasar dodol, batinnya. Tak mau bertikai lagi, Alya memilih makanan yang malam ini ingin ia makan. Dia tak meminta persetujuan dari Dean tentang makanan yang akan ia beli. Yang penting bisa dimakan, kan.

Undesirable WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang