BAB 1

12 5 0
                                    

Malam yang penuh dengan bintang, ditemani dengan siur-siurnya angin malam yang menyejukkan. Sangat tenang, dan damai.
Seorang anak lelaki, lahir dengan rasa kebahagiaan. Semua orang gembira, tak ada yang merasa sedih seorang pun. Hingga ia dijuluki sebagai, Dewa Kebahagiaan. Aku pikir, tahun 2071 akan menjadi tahun yang paling membahagiakan. Namun aku salah, dia datang menghancurkan segala rasa kemakmuran.
Dia Dewi Derita, gadis yang akan selalu membuat umat manusia menjadi hancur. Ia lahir tak tahu entah kapan, dimana, dan bagaimana. Ia penyebab kehancuran, kesialan, bahaya, penderitaan. Yah, semua becana timbul darinya. Padahal, tak ada seorang pun yang menginginkannya.
"Aku gak bisa benci denganmu, karena aku memang ditakdirkan untuk selalu berbaik hati dengan semua orang, walau ingin pun tak akan pernah bisa."
-Dewa Kebahagiaan
"Tak ada gunanya, bantah saja takdirmu. Jangan bertindak munafik, jika benci silahkan, tak ada seorang pun yang akan melarangmu"
-Dewi Derita
Pertempuran terus terjadi dikala itu. Segala cara sudah Dewa lakukan, agar pertempuran ini disudahkan saja. Namun Dewi mengelak, dengan alasan...
"Dunia akan terasa hampa tanpa adanya pertempuran. Nikmati saja kesensaraan kalian untuk saat ini, karena jika kalian sudah mati, kalian akan pergi ketempat yang indah juga, bukan? Tidak seperti kaum kami" Dewi Derita tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang lucu, tapi itu sangat menyebalkan bagi Dewa. "Biarkan kami mendapatkan keadilan juga, Dewa!"
****
"Minggir kak!" pekik seorang gadis dengan suara lantangnya. Sontak lelaki yang mendengar teriakan gadis tersebut langsung mengalihkan pandangannya cepat.
BUGH
Selalu saja Ray merasa sial jika sudah bertemu dengan Hana. Sudah berkali-kali, kejadian sial seperti ini selalu terjadi padanya. Ini tak wajar! Padahal disaat Ray belum pernah bertemu dengan Hana, hidupnya selalu damai dan baik-baik saja.
"Maaf kan aku! Karena aku, kepala kakak kena bola lagi. Sekali lagi maaf, ya? Aku gak sengaja" Hana menundukkan kepalanya dalam, tak berani menatap lelaki dihadapannya.
"Gak kenapa-napa, kok! Gak sakit juga. Lain kali hati-hati, oke? Bahaya kalau sampai orang lain yang kamu lemparin bola." ujar Ray mengusap-usap kepalanya yang terlihat kotor.
"Iya, aku bakalan coba hati-hati" gumam Hana masih tak berani menatap wajah lelaki yang kini sedang ia ajak bicara. "Kakak bisa ajarin aku main basket, gak? Aku lagi coba belajar, tapi gak bisa juga sampai sekarang"
Ray berpikir sejenak, mungkin dengan membantu Hana, ia akan mendapatkan keberuntungan yang lebih baik dilain hari.
"Ya udah boleh! Sini aku ajarin" Ray mencoba menangkap bola dari lemparan Hana, namun lagi-lagi tak bisa, dan mala meluncur tepat dikepala Ray untuk kesekian kalinya.
"Kak, maaf! Gak sengaja lagi" pekik Hana mulai berkaca-kaca. Ia sudah berusaha sebaik mungkin agar bisa berhati-hati, tapi kenapa selalu menyebabkan bencana untuk orang lain?
Ray tertawa kecil. Walau merasa kesakitan, namun kebahagiaan semua orang adalah hal yang terpenting untuknya. Dengan begitu, Ray bisa merasakan hal yang sama dengan mereka.
"Gak apa, santai aja. Aku bakalan coba membiasakan diri supaya bisa terlatih dengan lemparan ganas kamu" ucap Rehan masih terkekeh
"Kakak gak marah, kan? Aku gak sengaja suer! Lain kali bakalan coba hati-hati, dan gak ngenain kakak lagi. Kepala orang lain aja deh." Hana menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
"Jangan! Mending kamu lukain aku aja daripada harus mereka yang rasain. Karena bisa-bisa mereka mala nangis, loh. Aku udah terbiasa ditimpah begini sama kamu, jadi welcome-welcome aja" Rehan mengangkat tangannya, mengacungkan jempolnya dengan antusias.
"Oh gitu. Ya udah besok-besok aku bakalan timpahin kakak aja, kalau orang lain kasihan, nanti nangis. Kepala kakak keren, ya? Kayak baja!" Hana tertawa kecil, tanpa ia sadari, sedari tadi ada seseorang yang mengekorinya.
"Ngapain kamu disini sama dia? Bukannya kakak udah pernah larang kamu buat deket sama dia?" kesalnya menarik rambut Hana, kasar.
"I-iya, kak! Maafin aku, tadi aku gak sengaja ketemu sama dia dilapangan. Terus aku minta diajarin main basket sama di-" ucapan Hana terpotong, akibat rasa perih dikepalanya yang mendadak muncul. Sangat sakit.
"Kamu gak usah banyak ngomong! Kakak udah bilang berapa kali, gadis kayak kita gak pantas main beginian. Gak guna! Cuma bisa buang-buang waktu aja!" ujar kakak Hana dengan nada yang semakin meninggi.
"E-enggak kok!"
PLAK
"Gak usah banyak omong! Sekarang pulang sama kakak"
Hana memegang pipinya yang terasa sakit, ditampar lagi. Semua yang ia lakukan, kenapa selalu salah dimata Elsa? Semua orang yang ada dikeluarganya juga sama, selalu menyiksa Hana. Jika sudah sampai dikamar, Hana hanya bisa menangis, merenungkan nasibnya yang kacau seperti ini. Ia seperti seorang keluarga yang tak dianggap.
"Udah, lepasin Hana sekarang. Kepalanya sakit, dan kamu mala menamparnya lagi? Benar-benar gak punya hati" Ray masih tersenyum, walau dalam hati ia terus mengumpati Elsa diam-diam.
"Gak usah sok tau, dia adik saya, jadi saya berhak menyakiti atau memarahinya" Elsa memutar bola matanya, malas melihat wajah Ray yang munafik.
"Berhak? Kamu membicarakan soal hak manusia? Lalu mana haknya sebagai seorang adik? Kamu tidak pantas menjadi kakaknya" lagi-lagi Ray terus tersenyum. Sungguh ia merasa kesal melihat seseorang yang selalu menyakiti orang-orang yang tidak bersalah.
"Diam kamu! Dasar orang luar! Gak tau apa-apa tapi mala sok tau" Elsa menarik paksa rambut Hana, membuat gadis yang ia tarik semakin memekik kesakitan. Sangat kejam, ia selalu saja membuat hidup Hana menderita.
"Kak, tolong berhenti. Lepasin aku, sakit, rasanya sakit! Tolong." Hana mulai meneteskan air matanya. Rambut hitam pekat miliknya terasa lepas dari kepalanya.
"Jangan cengeng! Gadis kayak kita memang harus ngerasain penderitaan! Hapus air mata kamu! Dan cepat ikut kakak pulang" Elsa semakin kasar menarik rambut Hana, bahkan beberapa rambutnya menjadi rontok.
Ray tak dapat mengucapkan apa-apa. Ia hanya diam. Sebenarnya ini memang bukan urusannya, tapi melihat Hana meringis kesakitan, Ray tak tega. Bagaimana jika ia sekarang ada diposisi Hana?
"Lepasin dia, kasihan dia nangis-nangis. Kamu gak boleh memperlakukan Hana dengan tidak berperikemanusiaan seperti itu. Saya bisa melaporkan kamu pada polisi, loh" ancam Ray dengan senyuman manisnya.
Elsa mendecih sinis. "Kamu pikir saya akan takut, begitu? Maaf, tapi keluarga kami memang selalu menentang hukum."
Ray tersentak kaget mendengar ungkapan Elsa. Berarti beberapa anggota keluarga mereka adalah pelanggar hukum? Pantas saja Hana selalu diperlakukan kasar oleh saudara dan keluarganya.
"Kenapa diam? Kamu takut? Ya baguslah kalau gak banyak ngomong lagi. Karena kalau saya hilang kendali, saya bisa saja membunuhmu" ujar Elsa dengan angkuhnya.
"Sebenarnya saya tidak takut dengan ancaman kamu. Tapi jika kamu menyuruh saya untuk diam, baiklah! Setidaknya kalian harus berhenti untuk menyakiti Hana. Karena dia anak perempuan, yang masih membutuhkan kasih sayang keluarganya" Ray mencoba mengulurkan tangannya pada Hana. "Biarkan dia pulang bersama denganku"
Mata Elsa membelalak lebar. Apa yang baru saja ia katakan?! Itu sangat memalukan, mengajak seorang gadis untuk tinggal dirumah lelaki itu menjijikan!
"Gak bisa! Urat malu kamu udah putus atau gimana, sih? Hana ini perempuan, dan kamu lelaki, gak pantas untuk serumah! Apalagi kalian ini gak punya hubungan darah" kesal Elsa yang merasa terhina.
Ray menarik pergelangan tangan Hana. Dengan sigab ia merobek telapak tangannya sendiri. Darah mulai bercucuran tak beraturan. Hana menjadi panik sendiri, jujur saja ia sangat takut dengan darah.
"Minum!" suruh Ray mengulurkan tangannya dihadapan wajah Hana. "Cepetan, kalau kelamaan darah aku bisa habis" ungkap Ray terkekeh.

AntónimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang