6|

7 1 0
                                    

Di sebuah hamparan tanah luas, tiada aneh yang ditonjolkan kala melihat dari sudut pandang biasa. Pohon-pohon yang menjulang tinggi, tak lupa dengan hiasan semak-semak tebal di bawahnya. Kegelapan memang sudah terikat kuat dengan yang namanya hutan. Juga warna hijau tua yang paling banyak mendominasi. Itu benar-benar biasa dari tatapan manusia asing bukan penghuni sana.

Selatan terlihat menyatukan kedua alisnya sedikit, memperjelas kebingungannya. "Maksud kau apa?"

Lagi-lagi penjaga itu tak mengindahkan pertanyaan Selatan dengan melangkahkan kaki lebih awal. Berjalan masuk pada jalan kecil yang menghubungkannya dengan area pohon-pohon itu berdiri. Selatan tak berdiam diri saja kali ini. Ia sudah bergerak cepat, menyusul manusia tinggi itu.

Dua kepala itu tampak saling bertualang pada pohon-pohon tinggi yang terbaris rapi menyerupai lingkaran. Selatan yang bukan manusia asli dari sana, agak terketuk keheranannya akan pola dari penyusunan pohon-pohon itu. Kejadian alam yang tidak biasa menurutnya, karena itu kali pertama.

Sedangkan penjaga itu telah menghentikan gerak kakinya pada pohon paling besar nan tinggi dari pohon-pohon di sekitaran. Kaki dengan tanah itu seolah saling mengikat untuk tetap berpaku tanpa liar ke manapun. Ia menatap lurus ke depan beberapa saat, lalu membentangkan kedua tangannya, seperti siap menerima pelukan.

"Aku datang kembali, Bu."

Tubuhnya ambruk pada pohon kekar di depannya dengan tangan yang melingkar kuat seperti memeluk hangat. Menumpahkan segala beban yang lama dipikul sendiri. Luruh sudah air mata dari pria jantan berbadan perkasa itu. Sangat berbanding terbalik dari sampul luarnya.

Selatan yang memerhatikan dari jarak beberapa langkah ke belakang ternyata ikut terbawa arus kepiluan. Kakinya seolah tertarik untuk bergabung pada awan gelap, hingga hatinya menyetujui hal itu. Ia berjalan mendekat, lalu mendapati sosok hitam kuat itu dengan ekspresi yang sama sekali tidak pantas dilihatnya. Ia tahu persis bahwa jika pria itu menangkap keberadaannya, akan terasa seperti jatuhnya harga diri. Maka ia putuskan untuk agak menjauh menjaga jarak aman, agar sama-sama diuntungkan.

"Ini pohon reinkarnasi dari ibuku."

Tanpa sebab, tanpa indikasi, penjaga itu mendekat ke arah Selatan lalu mengatakan sesuatu yang membuat Selatan semakin diam keheranan.

"Logisnya, enggak ada manusia yang bisa dilahirkan kembali," bantah Selatan yakin.

"Ada! Ini buktinya!" Penjaga itu mengulurkan tangannya ke sembarang arah seperti sedang memperlihatkan sesuatu.

"Pohon tumbuh adalah hal biasa. Alamiah saja kok."

"Aku memang manusia awam, tapi pola penyusunan pohon itu enggak ada yang melingkar seperti ini."

"Iya juga ya."

Selatan mengakui kesalahan, walau lidah itu rasanya ingin tetap mengeluarkan beberapa kata yang sudah dipelajarinya. Ia yakin pasti, ini bisa saja kelakuan manusia di sini untuk menyusun benih-benih pohon. Masuk logika bukan?

"Kita tunggu beberapa saat lagi. Kau akan dibuat bungkam oleh semuanya."

Jadi, penjaga itu tetap menantang pemikiran Selatan yang mengacu pada logika. Padahal sudah jelas-jelas hampir seluruh kejadian alam itu memiliki teori berdasarkan hasil studi yang logis. Manusia macam Selatan yang sudah beberapa langkah lebih maju hanya bisa menyunggingkan senyum menyeringainya. Ia sangat percaya diri, bahwa reinkarnasi itu mustahil bisa terjadi.

Tenanglah!
Tenanglah!
Surga ada di depan mata!

Bangkitlah!
Bangkitlah!
Kami ingin memetik buah!

Heningnya suasana hutan yang mencekam seketika pecah berhamburan saat suara dengan nada menyeru terdengar di ujung barat. Dua manusia yang tadi saling mempertahankan pendapatnya, menoleh bersamaan. Dari ujung sana, terlihat kumpulan manusia yang berjalan menuju keberadaan mereka. Empat orang diantaranya membawa sebuah telur raksasa berwarna putih. Sisanya membawa pohon kecil yang masih berusia muda.

Selatan tak henti-henti menatap sekumpulan manusia itu. Ia merasakan takjub tiada dua. Ukuran telur itu-benar-benar membuatnya menganga heran. Sampai pusat perhatiannya berada tepat di dekatnya pun ia masih bergeming.

"Orang asing tolong menjauh!"

Perintah itu keluar dari tetua desa, yaitu Atuk Sepuluh yang datang bersamaan dengan telur besar itu. Semua orang di sana tahu persis bahwa instruksi itu ditujukan pada orang yang tak lain adalah Selatan.

Sayangnya, manusia itu seperti tiba-tiba berubah menjadi tunarungu. Perintah yang muncul sama sekali tidak berpengaruh pada kakinya untuk melangkah.

"Selatan! Mundur tujuh langkah!"

Sekali lagi, perintah itu keluar dengan nada bicara lebih tinggi. Hingga Selatan sedikit terkejut lalu melangkahkan kaki mundur sesuai instruksi.

"Tujuh langkah kan?"

Karena rasa penasaran yang terus menghantui, Selatan hanya mundur 5 langkah. Dipikir orang awam tidak bisa menghitung.

"Itu lima langkah!" seru penjaga yang sedari tadi mengawasinya.

Sial, kali ini ia yang menjadi pusat perhatian diantara manusia-manusia itu. Semua mata yang ada di sekitarnya seolah memperhatikan dalam, lalu sebentar lagi, diterkam kemudian mati.

Baiklah, Selatan menyerah. Dua langkah lagi ke belakang.

Atuk Sepuluh sedikit marah atas orang yang sudah diselamatkannya. Berusaha membodohi kaumnya, padahal sama-sama bodoh. Agak menyesal karena tidak membuang jauh-jauh kala Selatan menginjakkan kaki di sini.

Para penduduk asli dari sana mulai membentuk barisan, lebih tepatnya saling melingkar renggang. Tiga orang bertugas untuk menggali tanah, lalu dua orang menjaga telur besar itu.

Setelah hampir setengah jam, lubang besar pun tampak muncul. Kedalaman setinggi satu orang dewasa terlihat jelas walau dari jarak jauh mata memandang. Selatan amat sangat penasaran. Kaki jahilnya melangkah maju, untuk memastikan.

Tidak bisa dipercaya, ia benar-benar melihat telur dinosaurus di sini.

"Wah! Ini telur dinosaurus?"

Pemilik mulut ember itupun kembali menjadi tontonan semua kepala di sana. Sampai-sampai Atuk Sepuluh mendengus gusar, menahan amarah yang nyaris meluap. Upacara suci ini tidak mungkin dinodai oleh emosi, hingga semua orang di sana berusaha untuk tidak peduli. Menganggap Selatan lenyap, hilang, benar-benar tidak berwujud.

"Isi telur itu apa?"

Hening. Semua orang kembali menghentikan aktivitas.

"Sialan!" seru salah satu penduduk di sana dengan api emosi yang siap memakan Selatan.

"Ssst, kalian teruskan ini. Biar Atuk saja."

Sebagai tetua, menjadi penengah adalah hal yang bijak. Pria tua itu berjalan mendekat ke arah Selatan, lalu melingkarkan tangannya di bahu Selatan kemudian berjalan menjauh.

"Atuk, aku hanya ingin tahu."

Protes dari Selatan sama sekali tidak didengar. Mereka tetap berjalan, lebih tepatnya Atuk Sepuluh yang menyeret Selatan untuk berjalan.

Setelah diberi jarak beberapa pohon dari keberadaan telur itu, mereka berhenti. Di ujung sana, hanya terlihat orang-orang dengan sebagian tubuh ke atas. Bagian tengah ke bawah tertutup oleh semak-semak.

"Ini kali pertama aku melihat telur berukuran besar seperti itu. Tolong. Izinkan aku mendekat."





1000 words.

ALINEASI 1001 [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang