1|

23 4 0
                                    

Dalam hiruk-pikuk angin bersorak-sorai, udara dingin ternyata lebih mendominasi. Kegelapan malam tidak lagi menjadi misteri, yang ada hanya gemerlapan dari banyaknya bintang yang tersusun abstrak di atas sana. Rasanya tidak asing, jika bertapak pada pelosok negeri seperti ini.

Bangunan yang tercipta dari bahan baku bambu hutan, lengkap dengan obor berbahan dasar minyak tanah menempel pada dua pilar di bagian utama rumah. Daun-daun kering yang dijadikan atap, semakin menambah kesan natural yang ditimbulkan. Bahkan untuk lantai sekalipun, tiada ubin untuk berpijak, yang ada hanyalah hamparan tanah seisi rumah, tanpa ada goresan tembok ataupun sejenisnya.

Rumah-rumah serupa ini banyak berdiri di sekitaran. Hanya saja kegelapan terlalu menelannya habis-habisan. Rumah ini, adalah satu-satunya rumah yang memiliki pencahayaan, lantaran merupakan rumah milik tokoh penting dari golongan ini.

Hari ini, adalah hari pertama pemuda itu dapat berisitirahat tenang, tanpa memikirkan jarak yang akan ditempuh pagi kemudian. Setelah 3 hari 3 malam melangkahkan kaki dari jalan raya, akhirnya pedesaan ini mampu terjamahkan. Bermodalkan peta lusuh milik seorang kakek tua, tanpa sedikitpun bantuan peta lainnya. Itu benar-benar pencapaian terbesar setelah 5 tahun berkelana.

Bukan tanpa alasan pemuda itu jauh-jauh berjuang, merelakan waktu berharganya, bahkan memutus rantai yang sudah terikat kuat dengan gadis di keramaian kota sana. Jaminan bergelimang harta, kedudukan yang tinggi, ia akan meraihnya hanya untuk membuktikan pada semesta, bahwa sampah masyarakat bisa didaur ulang menjadi barang berharga. Dan itu, sedang diproses.

"Saya memberikan kesempatan hanya 1 minggu, tidak lebih dan tidak kurang."

Suara berat yang dimiliki pria tua memecah lamunannya. Pemuda itu memperbaiki posisi berdirinya, lalu menunduk saat pemilik rumah datang menghampiri. Bukan main-main, kesopanan adalah nomor satu dalam golongan suku di sini.

"Jangan gunakan teknologi apapun," tukas pria tua itu sekali lagi.

"Ba-ik."

Pria tua itu kembali masuk pada rumah huniannya, dan itu sangat melegakan bagi pemuda yang masih mematung di luar rumah. Kesepian semakin menjadi-jadi, karena terpaksa ia dipisahkan dari kedua rekan kerjanya.

Tidak diberitahu alasannya mengapa, tapi yang jelas itu adalah hal terbaik bagi penghuni di sini, dan hal terburuk bagi Selatan, pemuda berkulit legam. Hanya dalam kurun waktu satu minggu, ia harus mempelajari banyak hal, tanpa ada satupun yang terlewat. Namun yang paling penting, adalah kembalinya ia ke kota dalam keadaan utuh tanpa sedikitpun yang tertinggal kecuali jejak.

Sebenarnya, itu bukanlah hal sulit jika Selatan terjun ke perkampungan biasa. Ketika semua tugas-tugasnya dapat dijalankan sesuai ekspektasi dan rencananya. Namun ketika menginjakkan kaki pada salah satu suku pedalaman ini, rasanya ada banyak hal yang akan berbelok dari rencana yang sudah tersusun rapi. Atau bahkan kejadian menakjubkan yang tak pernah sedikitpun terlintas dari manusia kota seperti Selatan dapat terjadi di luar dugaan.

Kembali ke tempat asal rasanya perwujudan syukur terbaik ketika sudah terlanjur terjun pada wilayah ini. Tatkala etika sopan di kota sana menjadi etika buruk di sini, pastinya membuat pemuda pemberani itu kewalahan.

"Masuk, sudah larut malam."

Lagi-lagi suara pria tua itu muncul tanpa gelagat, hingga jantung Selatan ingin melompat keluar saja.

Ruangan persegi yang hanya memiliki ukuran 3 meter sudah lebih dari cukup untuk tempat istirahat sementara. Walau lantai yang berlatarkan tanah, dan tidur dengan selembaran alas, Selatan harus bisa menerimanya dengan lapang dada. Bukan perjuangan namanya jika itu menyenangkan.

Selatan duduk di tepi alas tersebut, lalu mengusap-usap tempat yang akan disulap jadi kasur. Ia membaringkan tubuhnya perlahan, permukaan gelombang dari tanah pun menyambutnya. Dengan posisi menyamping ke arah kanan, seketika ia merasakan keberadaan sosok di balik punggung.

"Saya tidur di sini, karena saya tidak memberikan kepercayaan penuh padamu."

Selatan menghela nafas, lalu mengangguk mengartikan persetujuannya. Ia membalikkan badan menjadi tepat berhadapan dekat dengan pria tua itu.

"Kembali posisi tidurmu yang semula! Tidak sopan!" seru pria itu seraya mendorong tubuh Selatan untuk membalik.

Sebentar, bukannya membelakangi seseorang itu tidaklah sopan?

Ada yang terbalik namun bukanlah pakaian. Malam pertama di pelosok negeri, terkesan membingungkan.

Beberapa saat indra penglihatan Selatan tidak lekas menutup. Padahal rasa kantuk sudah tiba di ujung tanduk.

Tidak bisa dipastikan jam berapa untuk saat ini, karena segala perlengkapan sudah dibuang habis-habisan di pintu gerbang. Tersisa sepasang pakaian yang masih melekat di tubuhnya juga secarik kertas kosong lengkap dengan sebuah pena.

~°~


Amat jauh dari keberadaan pemuda itu, seorang gadis berkulit pucat mematung bercengkrama dengan sunyi. Benda-benda mati di sekelilingnya seolah menjadi saksi bisu atas semua kecemasan yang tiada henti. Mungkin, beberapa hari lalu adalah tatap muka terakhir dengan pemuda keras kepala itu. Sampai pada saatnya, janji itu tertunaikan atau tidak, setidaknya munculnya batang hidung pemuda itu adalah rasa syukur terbaik.

Rasanya ingin menyalahkan keadaan saja, terutama pada kakek satu-satunya itu. Pasalnya, semua hal yang terjadi berpusat dari seorang kakek tua, pemberi peta lusuh sebagai modal Selatan melakukan perjalanan.

"Sudahlah Ra, dia pasti kembali, pasti."

Terlihat pria tua muncul dari arah belakang gadis itu, menyamakan posisinya menjadi sejajar dengan Maura.

Maura hanya menoleh sekejap, lalu memalingkan kembali wajahnya pada jalanan kota. Suara dari bisingnya kendaraan yang berlalu lalang tetap tidak dapat mengalahkan jeritan sepi di dalam sana.

"Aku kenal Selatan bukan hitungan hari ataupun bulan Kek. Kakek pun sendiri tahu, bagaimana nekatnya anak itu. Kenapa dipancing lagi?"

Kakek itu hanya tersenyum tipis, seolah yakin akan tindakannya, "Kehidupan jika tidak dibumbui oleh tantangan, akan terasa hambar."

Maura menghela nafas berat, ia semakin menyandarkan tubuhnya pada pilar di sampingnya, "Sudah terlalu banyak tantangan yang telah dia lewati. Aku cuma mau liat dia hidup tenang Kek, itu saja."

Kakek itu menangkap jelas sorot cemas dalam mata teduh milik cucunya, hingga semangatnya pun kian meredup.

"Dia Selatan, bukan kamu yang hanya menikmati hidup mengalir terus seperti air. Datar-datar saja, enggak ada ritme naik turun, atau setidaknya sedikit bergelombang lah."

Tepat sasaran.

Kalimat yang keluar dari mulut seorang kakek tua itu amat menusuk. Sesaat, rasanya kenyataan telah menampar keras-keras alam bawah sadar gadis itu. Semua itu benar, sama sekali tidak ada yang dilebih-lebihkan. Hidup datar, tanpa rintangan. Bahkan tidak memiliki tujuan hidup yang kokoh seperti Selatan.

Pemuda itu, selalu selangkah lebih maju darinya.




988 word.

ALINEASI 1001 [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang