2|

9 2 0
                                    

Pagi pertama di populasi manusia hutan. Walau berat, sepasang kelopak mata itu terbuka pelan. Pemandangan pertama yang dilihatnya bukanlah langit-langit putih, namun langsung pada atap daun-daun kering. Seekor cicak pun menghiasi kala retinanya mulai menjelajah.

Cahaya-cahaya dari mentari pagi menyusup menembus celah yang tersedia pada himpitan bambu. Amat tertutup, tanpa satu jendela pun yang terpasang. Udara segar yang seharusnya dinikmati hangat, harus terbengkalai oleh padatnya dinding permukaan.

Selatan kemudian bangun, lalu terdiam sejenak, mengumpulkan nyawa yang masih berhamburan. Pria tua di sampingnya itu, masih terlihat lelap pada tidurnya. Hingga suara dengkuran pun tidak berhenti sampai sepagi ini.

Sepanjang malam tadi, sunyi yang harus didapatkan, menjadi suram karena nyanyian tidur. Rasanya, lebih baik tidur ditemani oleh suara-suara jangkrik hutan, dibandingkan dengan dengkuran tiada tahan.

Walaupun demikian, diam adalah hal terbaik ketimbang harus berulah karena posisinya menjadi tamu tak diundang. Atau bahkan, pengganggu peribadatan.

"Mau kemana?"

Suara itu menghentikan tubuh Selatan yang baru saja akan beranjak, ditambah dengan seonggok daging hidup menarik sebelah tangannya. Perasaan gamang semakin muncul saat suhu tubuhnya berubah menjadi rendah.

"Saya ... mau ke belakang." Ragu-ragu Selatan berucap, padahal getir semakin mencengkram.

"Saat matahari terbit, kami dilarang untuk keluar. Apapun itu, karena berbahaya."

Pria tua itu pun menarik lagi lengan Selatan untuk kembali berbaring. Apa boleh buat, Selatan hanya bisa diam diperlakukan apapun layaknya seorang budak yang harus patuh pada tuannya. Itu semua dilakukannya, hanya untuk keselamatan diri, tidak ada yang lain.

Bahaya di kota sana, pastinya berbeda arti dengan di sini. Lebih gegabah jika melanggar, itu yang Selatan tahu dari narasumbernya sebelum memantapkan diri untuk memulai. Patuh dan diam, adalah sepasang kunci untuk membuka pintu penerangan, lalu terbebas dari populasi ini.

Walau tak bisa dipungkiri, tidur di pagi hari adalah larangan keras yang ia ciptakan pada dirinya sendiri. Dan kali ini, ia sendiri yang melanggarnya. Semakin banyak hari yang dihabiskan di sini, sepertinya akan menimbulkan hal-hal yang berbelok pada kebiasaannya di kota.

"TOLONG!!!!"

Jeritan itu sukses membangunkan seisi rumah. Pria tua itu pun langsung bergegas menuju sumber suara. Selatan tak berdiam diri saja, ia langsung mengikuti si pemilik rumah untuk memastikan tiada hal buruk terjadi.

Tak terbiasa dengan keluar tanpa alas kaki, Selatan berlari sambil sedikit berjinjit. Ia mengikuti arah pria tua itu dari belakang.

Perempuan-perempuan yang dilarang untuk beranjak keluar, pada akhirnya bermunculan juga. Di balik semak-semak tebal dekat dengan sumur utama, seorang remaja perempuan terlihat bercucuran air mata sambil sesekali mengucap sebuah nama. Tatapan perempuan itu tertuju pada pria tua yang terbujur kaku di sampingnya. Ikat kepala berwarna hitam, amat menjelaskan benar bahwa mereka adalah bagian lingkar dalam yang keluar dari perbatasan.

Mereka pun dikelilingi oleh kerumunan orang-orang yang tak sengaja berkumpul. Bahkan anak-anak kecil juga ikut berkontribusi sebagai penonton. Semua orang tidak berani bertindak gegabah, hingga kepala desa itu mulai mendekati untuk memastikan wajah yang tersembunyi di balik semak-semak itu.

Perlahan, dengan sangat hati-hati, kepala desa itu menaruh jari telunjuknya tepat pada ujung hidung. Memastikan bahwa seseorang ini benar-benar masih ada. Ternyata, takdir berkata lain. Nafas itu sudah tidak terdeteksi.

ALINEASI 1001 [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang