Happy ending 💙
"Pagi semua," sapa Haura.
Haura menarik kursi kosong yang berada disebelah papanya lalu duduk disana.
"Pagi," ujar Anita dan Arian serentak. Wanita itu meletakkan sepiring nasi goreng ke hadapan anaknya, disusul oleh segelas susu putih kesukaan Haura.
Keluarga kecil itu mulai sarapan dengan khidmat. Seketika suasana hening, yang terdengar hanyalah dentingan sendok dan garpu. Anita sangat melarang keluarga nya berbicara ketika makan karena menurut nya tidak sopan.
"Papa, Mama, Haura berangkat dulu."
Setelah mencium tangan kedua orang tuanya Haura pergi.
"Tunggu Haura, kamu berangkat dengan Papa saja kita searah," teriak Arian.
Pria itu berlari kecil menyusul anaknya lalu merangkul bahu gadis itu menuju mobil yang sudah terparkir di halaman rumahnya.
Setelah memasang sabuk pengaman mobil pun melaju meninggalkan rumah.
"Haura, kamu punya pacar?" tanya Arian.
Haura mengalihkan pandangannya dari jendela lalu menatap ayahnya yang sedang menyetir.
"Enggak Pa," jawab Haura.
Arian menepuk puncak kepala Haura seraya tersenyum senang.
"Bagus! jangan pacaran dulu, kamu masih kecil."
"Iya Pa," ujar Haura.
"Kalau yang suka sama kamu ada?" tanya Arian.
Gadis itu mengeleng kecil, "Haura gatau Pa. Tapi kata Aruna, Rean suka sama Haura."
Seketika Arian menatap Haura. Arian terlihat terganggu dengan ucapan Haura tadi.
"Bilang sama Rean jangan suka sama kamu," tegas Arian.
Haura mengangkat sebelah alisnya bingung. "Loh kenapa?"
"Kamu terlalu berharga untuk dicintai Haura, dan dia tidak pantas mencintai kamu."
Haura menghela nafas jengah. Papanya selalu melarang Haura dekat dengan pria tanpa alasan yang jelas. Selama ini banyak pria yang sudah Haura tolak karena papa nya melarang Haura dekat dengan pria manapun selain dirinya dan keluarganya.
Jika saja Haura ketahuan dekat dengan pria, maka esoknya pria itu sudah menjauhinya tanpa alasan.
Pernah sekali dulu Haura kepergok pacaran saat kelas satu SMA, besok nya sang pacar datang lalu memutuskan hubungan mereka berdua tanpa alasan.
Tanpa Haura cari tahu pun, dia tahu. Bahwa orang yang melakukan hal itu adalah papanya.
"Sudah sampai, sana masuk! belajar yang rajin dan jangan coba-coba untuk dekat dengan pria manapun. Ingat, mata papa ada dimana-mana."
Haura hanya mengangguk pasrah.
Arian menciumi kening putrinya lalu tangannya melambai ke arah Haura.
***
Haura memasuki kelasnya dengan lesu. Kedua temannya menatap Haura dengan pandangan bertanya-tanya."Lo kenapa Ra? Pagi-pagi udah asem aja tuh muka!" ujar Aruna.
"Tau tuh! Gak biasanya," sahut Caca.
"Gue badmood, tadi Papa larang gue lagi buat gak deket sama cowok. Kalau gini caranya gimana gue bisa deketin Ardian coba."
Haura melipatkan tangannya diatas meja lalu menelungkup kan kepalanya disana.
Kedua teman Haura saling tatap, mereka memang sudah tahu kalau papa Haura seperti itu makanya sudah tak heran lagi.
"Lo deketin Ardian-nya diem-dieman aja Ra," usul Caca.
Haura menghela nafas.
"Percuma Ca, meskipun gue diem-dieman juga Papa pasti tahu."
"Yaudah sih jangan dengerin omongan bokap lo Ra, sekali-kali lo harus bantah ucapan dia. Atau kalau enggak, lo izin ke nyokap lo. Minta bantuan beliau buat bilang sama Papa biar lo di ijinin pacaran," usul Aruna.
Haura mengangkat kepalanya.
"Gabisa Run, sebelumnya juga gue udah bilang sama Mama tapi Mama bilang 'gapapa turuti aja mau nya Papa' gitu katanya," jelas Haura.
"Hadeuhh... lagian bokap lo posesif amat sih Ra, untung bokap gue gak gitu," ujar Caca.
Aruna menoyor kening Caca pelan. "Yeu dia kek gitu karena sayang sama anaknya!" balas Aruna.
Caca mencebikan bibirnya kesal. "Jadi maksud lo, bokap gue ga sayang gue, gitu?"
"Gue gak bilang gitu ya, lo yang bilang barusan!" ujar Aruna tak terima.
Kedua orang itu sibuk berdebat, sedangkan Haura sibuk menatap seseorang yang sedang duduk di ujung kelas bersama para teman sekelasnya yang lain.
Gadis itu mengerjapkan kedua matanya. Lalu tangannya mencubit pipinya.
"Sakit," ujar Haura, "Berarti ini bukan mimpi."
"Run, Ca, itu cowok yang di samping Aldi siapa? Murid baru?" tanya Aruna.
Kedua manusia itu seketika berhenti berdebat lalu menatap objek yang ditunjuk oleh Haura.
"Dia Rafka, masa lo lupa sama temen sendiri," ujar Aruna.
Caca mengangguk menanggapi. "Parah lo Ra, cowok seganteng Rafka masa dilupain."
Haura menatap kedua nya bingung. Tadi Haura gak salah denger kan? Mereka bisa lihat Rafka? Dan apa katanya? Teman? Sejak kapan dia dan Rafka berteman.
"Lo berdua bisa liat dia?"
Aruna dan Caca kompak mengangguk.
"Bisalah, gue sama Caca kan punya mata. Lo gimana sih? Segitu besarkah efek ucapan Papa lo, sampai-sampai lo gak sadar kalau kita sama Rafka emang sekelas."
Haura menyandarkan tubuhnya ke kursi. Haura bingung kenapa ia baru sadar jika mereka satu kelas? Setahunya mereka berdua tidak pernah sekelas. Lihat muka Rafka saja baru kemarin pagi.
"Sejak kapan?" tanya Haura.
Aruna mengerutkan keningnya tak mengerti.
"Apanya?"
"Kita sama Rafka sekelas, sejak kapan?"
"Satu tahun yang lalu, kita sekelas sama dia dari kelas sebelas," ujar Caca.
Haura memejamkan matanya. Ini aneh, sungguh! Kemarin Mama nya tidak bisa melihat pria itu, tapi sekarang kedua temannya bisa melihat Rafka.
"Makannya jangan Ardian aja yang diperhatiin, temen sekelas juga perlu lo perhatiin," ujar Aruna.
"Tau tuh! Terlalu sibuk sama Ardian sih, sampe temen sekelas aja dilupain. Jangan-jangan lo lupa lagi sama nama-nama siswa yang ada dikelas ini?" tanya Caca.
Haura berdecak, "Ya enggak lah! Gue cuman lupa sama Rafka doang!"
"Wah parah lo Ra," ujar caca.
"Raf! lo dilupain nih sama Haura," teriak Aruna.
"Iya tuh Raf, masa kata Haura lo murid baru!" Sahut Caca.
Rafka tidak menjawab, pria itu hanya tersenyum kecil ke arah mereka berdua.
"Lo berdua apaan sih," kesal Haura.
Gadis itu menatap Rafka yang ternyata sedang menatap dirinya.
Pria itu melemparkan senyum kepadanya. Bagi orang-orang mungkin senyum itu adalah senyuman manis yang penuh dengan ketulusan. Tapi bagi Haura senyum itu adalah senyum yang sangat menyeramkan.
"Kenapa jadi merinding sih," gumam Haura.
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Who is he?
FantasySebenarnya dia itu siapa? *** "Rafka? Rafka siapa?" tanya Anita. Haura menunjuk Rafka yang sedang tertidur di sofa. "Dia." "Apasih Ra, di sana gaada siapa-siapa. Kamu halu kali," ujar Anita. "Ma, Haura gak halu! Haura bener kok. Coba mama lihat c...