4. Kesepakatan?

13 2 0
                                    

Pelajaran sudah berlangsung sejak setengah jam yang lalu. Para murid kelas 12 IPA 2 mendengarkan dengan seksama materi fisika yang sedang dijelaskan oleh Pak Broto. Kecuali Hima, sejak masuk kelas gadis itu tampak diam saja meski berkali-kali Mala dan Dana berusaha mengajaknya berbicara.

Pikiran Hima melayang pada kejadian tadi pagi. Meski sudah tak asing baginya ketika orang-orang memanggilnya cewek aneh, namun tetap saja itu membuatnya terluka. Hima juga bingung, ia membenci dirinya sendiri yang lemah seperti ini.

"Him, lo nggak papa? Seriusan dari tadi gue lihat lo kaya nggak semangat gitu." Mala menoel pelan lengan sahabat yang duduk di sebelahnya, dengan suara yang sangat kecil ia terus berusaha menanyakan keadaan sahabatnya yang tidak karuan.

"Kalau lo mau ke UKS gue izinin ya?"

"Nggak usah."

"Tapi lo-" Tatapan tajam Pak Broto membuat Mala seketika tak bersuara lagi. "Ada apa Mala? Kamu mau keluar dari kelas saya?" tanya Pak Broto.

Mala salah tingkah. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Hehehe, nggak kok pak. Tadi cuma-"

"Sekali lagi saya dengar suara kamu, kamu boleh tidak mengikuti kelas saya selama sebulan." Mala hanya mengangguk patuh. Mana mungkin ia bisa meninggalkan kelas ketika dirinya dituntut untuk selalu menjadi juara oleh kedua orang tuanya.

"Yaudah nanti gue temenin cerita, ya?"

"Malaaa.."

"Hehehehe iya pak."

***

Mala dan Dana dengan sabar menunggu Hima mengeluarkan suaranya. Gadis itu sama sekali tak mau berbicara meski telah dipaksa oleh kedua sahabatnya. Dengan santai ia duduk di bangkunya sembari menikmati mie ayam yang sudah dibelikan Dana tadi. Memang beginilah kebiasaan mereka saat istirahat, Mala dan Dana lah yang pergi untuk membeli makanan dikantin lalu membawanya ke kelas untuk Hima.

"Heh Hima lo diem gini biar ay dan mala khawatir sama lo? Gitohh? Haduhhh mbokk please dehh..."

"Him, kan gue udah bilang, lo bisa cerita ke gue dan Dana kalau lagi ada masalah. Jangan diem gini, ah." Mala pun ikut menyahuti.

"Gue nggak papa."

"Heh jangan bikin ay emosi yehh!" Dana mendelik kesal mendengar tanggapan sahabatnya yang selalu mengatakan tidak apa-apa padahal Hima sedang tidak baik-baik saja.

"Him, lo anggep kita apa sih sebenernya?"

"Ngapain tanya terus? Kalian tau kan kalau kalian itu sahabat gue." Dengan lempengnya Hima menjawab sembari mengedipkan matanya sekali membuat kedua manusia di depannya menggeram kesal.

"Kalau gitu kenapa lo selalu bersikap kaya gini ke kita?! Harusnya lo cerita biar kita bisa bantu, seenggaknya biar lo nggak ngehadapin masalah itu sendirian."

"Gue-"

"Terus kenapa tadi lo bareng sama Ganesha?"

Dana menoleh kaget ke arah Mala, lalu cowok kemayu kembali menatap Hima dengan tatapan selidiknya. "Ayy bener tadi boncengan sama Ganesha? Si cogan itu? Aduhhhh mbokk, iri eike."

"Dana bukan waktunya buat bahas yang itu!" Dana mengangguk sebal mendengar peringatan Mala.

"Kan eike juga mau boncengan sama cogan, sis," protesnya.

"Back to topic." Dana mencibir pelan. "Jadi gimana, Him?"

Hima menunduk. Perdebatan seperti ini sudah sering mereka alami. Bukan ia bermaksud untuk menutup diri dari sahabatnya, hanya saja Hima tidak ingin dirinya menjadi beban bagi mereka. Sudah terlalu banyak ia merasa hidupmu hanya beban saja bagi orang-orang disekelilingnya. Ia tidak mau menambah dengan membuat kedua sahabatnya selalu khawatir dan akhirnya lelah dengan sikapnya, ia tidak ingin mereka meninggalkannya.

HIMALEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang