Bagian 1
Desa Lubuk Sini, tahun 1964.
"Toloong! Tolooong!!" Seorang pemuda berusia sekitar 18 tahun berlari tunggang-langgang.
Hampir serentak warga berlari ke langkan, melihat siapa yang berteriak di pagi hari yang mendung ini.
"Ada apa?" Pakwo Syarif menghentikan langkah pemuda tersebut.
Pemuda itu payah mengatur napas. Pakwo Syarif menepuk perlahan pundak si pemuda. Dia juga memberi kode pada istrinya untuk mengambilkan minum buat pemuda ini.
Warga yang tadi berdiri di langkan, sebagian besar telah turun dan berkumpul di halaman rumah Pakwo Syarif. Lelaki ini adalah orang yang dituakan di desa Lubuk Sini, sekaligus sebagai kepala desa.
Setelah menyesap dua teguk air putih, napas sang pemuda mulai tampak normal, meskipun kekhawatiran di wajahnya masih tampak jelas.
"Pu-Pulung hanyut, Pakwo. Ta-tadi aku lihat a-ada yang menariknya dari dalam sungai. Aku pun sempat ditarik, tapi bisa lolos," terang si pemuda yang kerap dipanggil Ateng sambil menampakkan bekas cakaran di tangan kirinya.
Pakwo Syarif tertegun. Mencerna maksud dari omongan Ateng sembari memperhatikan bekas cakaran itu.
"Ada tangan yang menarik dari dalam? Itu sama dengan kejadian tiga windu yang lalu! Apa kalian masih ingat dengan kematian beruntun 24 tahun yang lalu? Persis seperti yang diceritakan Ateng," cetus Pak Brewok, salah satu warga yang terbilang vokal di desa itu.
Suasana menjadi berisik. Warga mulai mengemukakan pendapat masing-masing.
"Sudah! Jangan banyak bicara, lebih baik kita lekas selamatkan Pulung!" tegas Pakwo Syarif. Dia bergegas mengambil perlengkapan ke dalam rumah.
***
Hampir seluruh kepala keluarga di desa itu ikut ke sungai, kecuali Pak Brewok, Pak Lintang, Pak Usman, dan beberapa kepala keluarga yang berada di kebun. Dua rakit dijalankan, sebagian warga mulai menelusuri arus sungai yang tidak terlalu deras, tetapi sangat dalam. Sebagian lagi berjalan meneliti pinggiran air.
Sungai ini memang sangat dalam. Terdapat beberapa lubuk pula di pinggirnya. Bila seorang dewasa dengan tinggi 170 sentimeter berdiri, maka ujung rambutnya pun tak kelihatan. Desa ini dinamakan Lubuk Sini karena berada di dekat sungai yang banyak lubuknya.
Sebenarnya seluruh penduduk desa sudah diberi tahu bagian mana yang dalam dan yang bisa digunakan untuk mengambil air dan mandi. Namun, belum pasti benar apa sebabnya seorang pemuda bisa tenggelam hari ini. Mungkinkah ia berenang di tempat yang dalam?
Rakit tepat di tengah, tiba-tiba arus sungai menderas. Lima warga di rakit bagian depan terkejut. Rakit sempat oleng, tetapi dibantu oleh rakit di belakangnya.
Semakin lama, arus semakin deras. Riak air makin tinggi.
"Mendarat sekarang!" perintah Pakwo Syarif.
Patuh. Warga lekas menepikan rakit. Bergegas melompat ke tepi sungai seraya menarik rakit ke daratan.
Hujan turun bak air dari ember yang ditumpahkan dari langit. Warga terkesiap. Tak bisa mengelak lagi dari serbuan rintik-rintik hujan.
"Kembali ke rumah masing-masing!" seru Pakwo Syarif. Lagi-lagi warga patuh. Mereka menarik langkah seribu menuju rumah, sementara lelaki itu masih berdiri di pinggir sungai.
Matanya menatap hampir tak berkedip. Sesosok di dalam air sengaja menyembul ke atas. Memperlihatkan taringnya yang tajam, juga mata yang merah.
Sadar diri tak mampu melawan dalam kondisi seperti ini, Pakwo Syarif memutar badan.
***
Hujan sudah reda, meskipun langit masih tampak gelap. Cuaca seperti ini seakan menjadi kebiasaan kalau ada orang yang hanyut.
"Berhenti menangis, Ateng. Baik doakan keselamatan adikmu," nasihat Pakwo Syarif di kamar belakang.
Ateng sengaja disuruh menginap di rumah tetua desa itu sebab bapak dari pemuda tersebut berada di perkebunan. Ateng masih berduka, tidak baik sendirian di rumah.
"Ateng sedih tak bisa bantu Pulung. Apa nanti kata Bapak? Pasti Ateng disalahkan karena tak bisa jaga adik sendiri," ujar pemuda itu penuh sesal.
"Apa tadi kalian berenang di tempat yang dalam? Di lubuk?" tanya Pakwo.
"Tidak, Pakwo. Kami mandi di tempat biasa. Tapi, tiba-tiba Pulung seperti ditarik kakinya ke belakang. Aku sempat tengok rambut yang panjang. Awalnya kukira itu ijuk dari pohon enau. Tapi, waktu rambut itu mengikat kaki Pulung, aku berusaha melepasnya. Saat itulah tanganku dicakar," terang Ateng.
Pakwo menyimak dengan saksama. Tidak salah lagi, itu memang perbuatan Duguk. Namun, sebagai tetua desa dia tak boleh gegabah mengumumkan perihal bangkitnya Duguk sebab bisa memicu kepanikan.
"Apa kalian bercanda berlebihan sewaktu berenang?" selidik Pakwo.
"Tidak, Pakwo. Kalau tahu Pulung mau hilang, lebih baik aku bercanda terus sama dia. Hiks." Ateng kembali menitikkan air mata.
"Kalau kamu mau menangis, menangislah, tapi jangan sesekali meratap."
Pakwo Syarif meninggalkan Ateng sendirian di kamar. Dia membentang sajadah di ruang tengah, menunaikan salat Isya. Baru rakaat ketiga, lelaki berusia hampir 50 tahun itu merasakan rumahnya bergoyang.
Rumah di desa Lubuk Sini berbentuk panggung, sebagaimana adat Bengkulu, begitu juga dengan hunian keluarga Pakwo Syarif. Kayu berderit akibat goncangan. Namun, lelaki itu melanjutkan salat dengan tenang sebab empunya nyawa yang punya kuasa atas segala yang terjadi.
"Rini! Lekas keluar dari kamar!" pekik Makwo Sasmi, istri Pakwo Syarif, pada anak gadisnya.
Rini berlari keluar. Gadis berkulit putih, berambut sepinggang, dan cantik itu tampak pucat. Dia mudah sekali panik.
"Turun! Ayo, lekas turun! Ateng! Keluarlah dari kamar, ada gempa, Nak!" ucap Makwo kemudian berlalu sambil menarik tangan Rini.
Mereka menuruni sembilan anak tangga dengan hati-hati. Rumah ini terbuat dari 90 persen kayu medang kemuning, berbentuk panggung, dengan bubungan limas. Rumah ini sudah ditopang tiang penyangga sebanyak 15 dengan alas batu besar yang datar, bertujuan untuk menahan goncangan gempa.
Sesampainya di bawah, Makwo heran. Hanya mereka yang keluar dari rumah, sedang warga lainnya tidak. Padahal gempa yang tadi mengguncang cukup kuat. Ternyata dari luar rumah tak terlihat bergoyang.
"Naik lagi kita, Rini, Ateng. Gempanya sudah selesai," ujar Makwo.
"Kenapa Makwo?" tanya tetangga dari langkan rumahnya.
"Tak apa," jawab Makwo singkat sambil mendorong Rini dan Ateng naik ke atas.
"Apa naganya cuma lewat rumah ini, ya?" gerutu Makwo. Wanita itu masih memegang mitos yang diceritakan nenek moyangnya kalau gempa itu diakibatkan oleh seekor naga yang berjalan di bawah tanah.
Mereka duduk di langkan, Makwo yang menyuruh, katanya biar menikmati angin malam sejenak. Rini dan Ateng ditinggal ke belakang, sementara Makwo mengambil lemang dan tapai ketan hitam—penganan khas daerah—di dapur.
Duk! Duk!
Makwo terkejut bukan main saat pintu belakang seakan ditubruk sesuatu. Piring tempat lemang terhempas hingga makanan itu berhamburan.
Wanita yang lebih muda dua tahun dari suaminya itu menautkan alis menyaksikan pintu yang terus didorong.
"Hei! Kenapa masuk dari pintu belakang! Siapa kau?!" hardik Makwo sambil berjalan mendekati pintu. Di tangannya tergenggam erat sebatang bambu berisi lemang.
Sepi. Namun, Makwo justru merasa merinding sekujur tubuh. Dia memutar badan karena pintu tak lagi ditubruk.
"Makwo ...."
Wanita sepuh itu spontan menoleh. Dia masih mengenal suara itu. Makwo Sasmi menelan ludah, membasahi tenggorokan yang mendadak kering. Tubuhnya masih tertahan di depan pintu yang kembali bersuara.
Duk! Duk!
KAMU SEDANG MEMBACA
Teror Dugak
HorrorSeluruh penduduk desa Lubuk Sini kerepotan karena penunggu sungai yang merupakan satu-satunya sumber air-mengamuk. Makhluk gaib itu bernama Duguk. Satu demi satu warga mati tenggelam. Kenapa Duguk meneror warga setelah tiga windu lamanya ia bergemin...